Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Tantangan Akademisi Berpartisipasi Sukseskan Pilkada

19 Agustus 2020   11:49 Diperbarui: 19 Agustus 2020   11:54 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita seringkali berpikir bahwa keterlibatan kita dalam berbangsa dan bernegara sudah cukup tajam. 

Padahal banyak sekali itikad kita secara pribadi yang tidak mencerminkan hal tersebut. Misalnya dalam menyuarakan pendapat. 

Salah satu wujud dalam menyuarakan pendapat adalah berpartisipasi dalam pemilu. Wujud protespun bisa dilakukan dengan cara menyumbangkan suara dalam pemilu. 

Artinya jika pilihan kita sesuai dengan mufakat, maka pelanggaran-pelanggaran akan terminimalisir. Protespun tidak akan terjadi. 

Kemufakatan disini hanya bisa dilaksanakan jika semua berpartisipasi dalam pemilu. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah pemikiran kita bisa seperti itu?

Jangankan di masyarakat luas, kita hanya bicara di aspek akademisi pun masih terasa minim. 

Misalnya, dalam dunia perguruan tinggi, dosen jarang sekali menghimbau mahasiswanya akan pentingnya menggunakan hak pilih. 

Dilansir Kompas.com, pada Pemilu 2019, penduduk Indonesia yang menggunakan hak pilihnya berada di angka 81%. 

Hal tersebut berarti ada sekitar 19% atau 42 juta penduduk tidak menggunakan hak pilihnya. 

Meskipun ada peningkatan yang signifikan dari pemilu 2014, bisa dibayangkan jika 90% penduduk indonesia yang sudah berhak menggunakan hak pilih berpartisipasi dalam Pemilu, maka akan lebih obyektif pula proses pemilihan umum. 

Ironis juga jika para akademisi baik tenaga pengajar maupun mahasiswa yang notabene menjadi tolok ukur pendidikan global termasuk dalam angka 19% tersebut di atas.

Berbagai macam alasan tersebar. Banyak yang merasa calon pemimpin tidak sesuai dengan keinginan. 

Banyak juga yang merasa kecewa atas pilihannya yang telah lalu. Dan tidak sedikit juga berpikiran bahwa bagaimanapun hasilnya tidak akan berpengaruh terhadap kesinambungan. Hal yang sangat fatal sebenarnya. Padahal konsep mufakat seharusnya adalah konsep dasar yang harus dimiliki oleh akademisi.

Tahun 2020 ini adalah tahun dimana akan diadakan pilkada serentak. Seyogyanya, kita perlu memahami bahwa dalam berpartisipasi di Pilkada tersebut tidak hanya sekadar memeriahkan jalannya pilkada. 

Akan tetapi lebih kepada sejauh mana jiwa patriot kita terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Bagi banyak orang, menggunakan hak pilih adalah suatu penjiwaan akan berbangsa dan bernegara. Jika kita bertambah kesadarannya akan hal tersebut, maka bukan tidak mungkin pemimpin yang terpilih nantinya akan lebih amanah.

Akhir-akhir ini terjadi peristiwa besar yang menguras fokus dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. 

Wabah Covid-19 merajalela dan menyebabkan aktifitas kehidupan terbatasi. Demi menekan persebaran wabah tersebut, protokol kesehatanpun dijalankan. Mulai dari, social distancing, phsycal distancing, pemakaian masker pada saat diluar rumah, peningkatan intensitas mencuci tangan, dll. 

Hal tersebut terbukti menghambat semua kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat luas. Fakta di atas mengindikasikan bahwa, ada kemungkinan banyak masyarakat akan enggan berpartisipasi dalam Pilkada tahun ini dikarenakan adanya rasa khawatir akan penularan wabah Covid-19. 

Yang perlu kita pahami, dengan menjalankan protokol yang sudah ditetapkan, pelaksanaan Pilkada akan sangat mungkin dilaksanakan dengan lancar tanpa perlu adanya kekhawatiran yang berlebihan. 

Jangan sampai, kita sebagai akademisi memberi contoh yang tidak tepat dalam menyuarakan pendapat kita. Justru sebagai akademisi, sumbangan pemikiran kita untuk memberi solusi-solusi atas adanya pandemi ini dipertaruhkan. 

Karena tanpa disadari, pemikiran kitalah yang menjadi tolok ukur atau masukan-masukan yang dipakai untuk kemajuan negeri ini.

Kancah Pilkada tidak bisa dihindari, pandemi bukan suatu hambatan untuk terselenggaranya Pilkada. 

Pun demikian dengan peran dari akademisi sebagai komponen esensial yang menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, salah satunya pengabdian masyarakat. Karena itu, tantangan akademisi dalam konteks mensukeskan Pilkada ialah memberi pencerahan kepada mahasiswa dan masyarakat dengan membangun narasi penuh optimisme.

Para akademisi bisa mengisi ruang publik, sebagai kaum intelektual dengan menggiring opini, mengcounter segala framing negatif atau pemberitaan hoaks yang berupaya menggagalkan Pilkada Serentak 2020.

Dengan bersinerginya semua pihak, Pilkada serentak yang akan dilaksanakan tahun ini akan berlangsung secara obyektif, jujur, dan adil. Bersama kita berpartisipasi dan saling mengawasi jalannya Pilkada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun