Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Antisipasi Hoaks dalam Pilkada di Masa Pandemi

15 Agustus 2020   10:42 Diperbarui: 15 Agustus 2020   11:39 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kompas/Heru Sri Kumoro

SEBAGIAN persoalan belakangan ini dalam layanan informasi dan komunikasi antara lain semakin tidak terjaminnya kepastian informasi yang diterima publik atas informasi yang beredar lewat media online terlebih lewat media mainstream, terutama media sosial.

Penulis masih merasakan adanya bahaya yang mengancam Bangsa Indonesia di tengah pelaksanaan Pemilihan umum setiap tahunnya, termasuk penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 yang ditunda hingga 9 Desember 2020 dikarenakan pandemi Covid-19.

Pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 sekarang, ada 2 tantangan besar yaitu Penularan Virus yang mana masyarakat harus betul-betul disiplin mentaati anjuran Protokol kesehatan, dan yang kedua berita hoaks yang mengancam kita semua.

Terlebih, Pilkada diungkapkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri 

Berikut penulis uraikan ada 6 bahaya Hoaks yang menghantui Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, Antara lain;

1. Berita hoaks mengancam kredibilitas penyelengara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

2. Berita hoaks mengancam menurunkan kualitas pemilihan umum. Masyarakat menganggap tidak penting adanya pemilihan ditengah Negara Demokrasi

3. Berita hoaks merusak rasionalitas pemilih.

4. Menimbulkan konflik sosial, peningkatan Eskalasi ujaran kebencian, provokasi, agitasi dan propaganda.

5. Dampaknya bisa menjadi blueprint atau cetak biru pada gelaran Pemilu-Pemilu berikutnya

6. Tentu menimbulkan disintegrasi sosial di tengah kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Pemerintah harus mengambil langkah Preventif agar penyebaran Hoaks di sosial media tidak terlalu luas menyebar dan mampu ditekan angka sebarannya. Jika dibiarkan, berita hoaks ini bisa menimbulkan salah persepsi di masyarakat dan menimbulkan perselisihan yang mendalam.

Penggunaan teknologi untuk kampanye hitam bukan hanya tindak pidana pemilu. Namun, lebih parah hal itu juga mengancam bangsa secara keseluruhan. Belum lagi hoaks yang disebarkan mengedepankan politik identitas yang cenderung menggunakan SARA.

Dengan kondisi demikian, upaya yang harus dilakukan penyelenggara Pemilu adalah membangun kepercayaan, kerjasama antar lembaga harus dilakukan, lembaga pemerintah juga swasta dan para pegiat hoaks juga Internet dan sosial nedia, dimana ujung penyebaran hoaks ada di internet dan sosial media, agar pengguna internet di Indonesia dapat mendorong proses demokrasi sesuai harapan.

Kerjasama ini harus diikuti dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah, terutama daerah sebagai pelaksana Pilkada Serentak 9 Desember 2020 mendatang.

Penulis meyakini juga antar lembaga saling terintegrasi satu sama lain, pesta demokrasi yang kita hadapi akan berjalan sesuai harapan dan menghasilkan pemimpin daerah yang baik.

Melihat data Penyebaran Hoaks Politik tahun 2018 dan 2019, Masyarakat anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat penyebaran berita hoaks Politik tahun 2018, ada 107 berita hoaks, Atau rata-rata 9,6 berita hoaks per bulan.

Sedangkan Jabar Sapu Bersih Hoaks (Jabar Saber Hoaks) mencatat ada 5880 Informasi Hoaks sepanjang 2019 dan 1746 diantaranya Hoaks dengan kategori politik yang paling tinggi, kemudian penyebaran paling banyak ada di Platform Media Sosial WhatsApp dan Instagram.

Melihat data di atas penyebaran berita hoaks terkhusus dengan kategori politik, sara dan ujaran kebencian masing tinggi ada di level lebih dari 51%.

Data di atas diperkuat oleh pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebut terbuka peluang yang besar jika berita bohong atau hoaks akan lebih banyak bertebaran di media sosial pada saat Pilkada 2020 ini dibandingkan Pemilu 2019 yang lalu.

Menurut Ketua KPU, Pilkada 2020 tanggal 9 Desember, sebagian besar tahapan pelaksanaannya termasuk kampanye banyak dilakukan secara virtual, sehingga penggunaan media sosial akan meningkat dibanding Pemilu 2019. Mengingat, pesta demokrasi tahun ini harus digelar di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, banyak pertemuan-pertemuan secara fisik yang akan berkurang.

Kami berharap tulisan ini mampu memberikan penyadaran mengenai bahaya internet dan sosial media bagi pelaksanaan Pemilihan umum di tingkat pusat maupun daerah, jika kita tidak sama-sama mencegahnya dengan berbagai cara, agar pemilu damai, kondusif, partisipasi pemilih meningkat dan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah terbaik yang membawa perubahan kebaikan bagi Indonesia. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun