Jika selama ini belanja APBD dilakukan secara tunai dan pelaporannya hanya manual atau hanya dengan modal invoice fiktif sudah bisa menjadi laporan, bahkan penerimaan Pendapatan Daerah dari retribusi seperti pajak maupun parkir bisa secara transparan dan maksimal bisa masuk ke kas daerah. Tidak lagi bocor kemana-mana.
Sederhananya, SIPD membuat ruang-ruang gelap selama ini yang menjadi celah untuk korupsi dibuat terang benderang agar tidak ada lagi kebocoran anggaran di daerah karena kesempatannya untuk korupsi ditutup rapat dan diperkuat dengan sebuah aplikasi sistem pelaporan digital yang transparan dan akuntabel.
Istilah zaman now: jejak digital itu kejam. Karena kecanggihan teknologi yang serba digital, semua akan meninggalkan jejaknya. Meskipun data yang sudah terinput dihapus, sistem akan membacanya.
Karena itu, akan menjadi RESISTEN bagi Pemda yang belum siap secara infrastruktur perangkat digitalisasi maupun yang belum ada kesungguhan hati merevolusi mentalnya: hijrah dari cara pelaporan konvensional dan dari belanja-belanja APBD yang masih bertransaksi tunai.
Digitalisasi keuangan daerah ini juga akan dengan berat hati dijalani bagi Pemda yang belum siap bertransformasi dari kebiasaan memanipulasi SPPD fiktif, markup proyek, atau membiasakan membuat pelaporan keuangan dan perencanaan pembangunan melalui platform digital yang TRANSPARAN.
Oknum Pejabat di Pemda yang terbiasa korup akan canggung jika diharuskan bertransaksi secara NON TUNAI. Dengan digitalisasi keuangan daerah, tidak akan ada lagi yang berani MEMANIPULASI perjalanan dinas fiktif karena setiap satu Rupiah anggaran daerah akan termonitor dalam sistem bernama SIPD.
Oleh: Reza Fahlevi, S.IP -- Direktur Eksekutif The Jakarta Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H