oleh : JSP
Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 sudah selesai, namun kelihatannya jalan menuju perubahan yang damai dan makmur masih jauh, akibat partai-partai politik memainkan peran politik pragmatis, politik kepentingan yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginan ataupun menjegal yang tidak diinginkan. Kubu Prabowo yang dikuntit oleh partai-partai gemuk melakukan beberapa manuver yang meresahkan kehidupan berbangsa, diantaranya melakukan pengunduran diri dari pencalonannya sebagai Presiden didukung oleh partai-partai pendukungnya dan menggugat penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU serta meminta pemilihan ulang. Sementara di sisi Parlemen, mereka sudah lebih dulu membuat "kaki-kaki" untuk mengamankan kedudukan mereka di masa depan, dengan mengeluarkan Revisi Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang dibuat setelah pemilihan legislatif selesai dan mengetahui bahwa partai lawan mereka menguasai ruangan.
Melihat keadaan yang kemungkinan di masa depannya menjadi carut marut, maka kemungkinan yang bakal dihadapi oleh Jokowi sebagai Presiden adalah tidak mudah, apalagi mengingat Pemilu sekarang ini benar-benar demokratis dan diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan masyarakat. Yang jadi masalah adalah, akibat pertarungan Capres yang ketat dan cenderung mempengaruhi masyarakat, sehingga timbul perbedaan paham yang keras di tengah masyarakat. Apabila kemungkinan buruk di atas terjadi, bukan tidak mungkin rakyat akan berhadap-hadapan dan timbul perpecahan. Jadi kemungkinan terburuk dari kekacauan itu adalah chaos; parlemen dan rakyat dalam keadaan tegang, negara dalam keadaan darurat. Dalam keadaan seperti ini Jokowi sebagai Presiden akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang pahit, salah satunya adalah keluarnya Dekrit.
Dekrit (dari bahasa Latin decernere = mengakhiri, menutuskan, menentukan) ialah perintah yang dikeluarkan oleh kepala negara maupun pemerintahan dan memiliki kekuatan hukum. Dekrit Presiden adalah produk politik. Jadi tinggal kemauan dari pemimpinnya kalau berniat untuk menyelamatkan rakyat, harus dikeluarkan. Dekrit adalah wewenang Subyektif Presiden dan merupakan salah satu hak prerogatif presiden.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Maklumat Gus Dur tertanggal 22 Juli 2001pada hakikatnya adalah dekrit sebagaimana Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Kedua dekrit itu dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven staatsnoodrecht).
Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden pribadi selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum per-undangan. Karena itu, dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi dengan hukum yang tidak normal pula (abnormale recht voor abnormale tijd).
Lebih dari itu, isi dekrit pun "wajib" bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria-kriteria obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau geschreven staatsnoodrecht).
Karena sifat keistimewaan dan penyimpangan itulah maka, dekrit hanya dapat berujung pada dua kemungkinan, penyelamatan negara sebagaimana tujuannya atau sebaliknya hancurnya negara karena lahirnya pemerintahan baru yang otoriter. Keselamatan negara akan terwujud bila subyektivitas presiden dalam mengukur negara dalam keadaan bahaya betul-betul didasarkan pada kondisi nyata ancaman bahaya dan lepas dari kepentingan politik sang presiden sendiri. Sebaliknya, bila kepentingan-kepentingan pribadi presiden mendominasi alasan keluarnya dekrit, maka dekrit itu akan menjelma menjadi upaya politisasi negara darurat hukum untuk kepentingan politik presiden semata.
SEPUTAR DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
Latar Belakang Dikeluarkannya Dekrit
1. UUDS 1950 yang bersifat Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia
2. Konstituante gagal membuat UUD yang menjadi dasar pelaksanaan pemerintahan, sehingga timbul kekacauan akibat tidak ada pijakan yang jelas