Mohon tunggu...
Kavin Ashfiya
Kavin Ashfiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

pengkaji filsafat, bahasa, dan agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cacat Logika Demonstran: Kritik Nalar Demonstrasi dan Terminologi Anarkisme

10 April 2023   20:53 Diperbarui: 10 April 2023   21:32 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya ini adalah kritik pribadi saya terhadap sebagian para demonstran terutama yang memiliki latar belakang mahasiswa yang identik dengan intelektualitasnya dan bukan kritik kepada seluruh demonstran, kritik ini saya luncurkan terhadap para pelaku demonstrasi yang mengandalkan kekerasan dan tidak memperhatikan demonstrasi yang sehat.

Penyelewengan Demonstrasi

Demonstrasi pada peradaban kuno disebabkan oleh kekecewaan sebagian orang yang tidak mendapatkan status quo, kebebasan, dan wewenang dari otoritas yang lebih tinggi. Demonstrasi terjadi sudah sejak peradaban Yunani kuno, bahkan di Romawi kuno demonstrasi muncul di tangan Spartakus yang memimpin gerakan protes dari kaum kecil yang terjadi sekitar abad  73- 71 SM.

Jika di Yunani kuno demonstrasi yang dipimpin Helots dan Spartiates muncul disebabkan karena agama, maka di Romawi demonstrasi muncul karena ketidakpuasan para wanita yang tidak mendapat hak politik yang sama dengan lelaki pada saat itu.

Demonstrasi di indonesia berarti sebuah unjuk rasa atas ketidakpuasan terhadap suatu kebijakan yang dilandasi oleh asas hak kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Selain itu demonstrasi juga mencirikan masyarakat feodal. namun di Indonesia demonstrasi dilindungi UU nomor 9 tahun 1998. Hal itu merupakan wujud demokrasi Indonesia yang mendukung kebebasan para warga negaranya. Tetapi bukan berarti demonstrasi dilakukan secara sewenang wenang, ada aturan aturan khusus yang wajib diperhatikan sebelum mengadakan demonstrasi.

Lalu yang sebenarnya harus diperhatikan dalam demonstrasi yang banyak dilakukan selama ini adalah objek dari penolakan dalam demonstrasi. Jika demonstrasi dimaknai sebagai penolakan maka cakupannya cukup luas. Mudahnya Jika penolakan terhadap suatu yang konkrit seperti barang, orang, dll, maka yang harus ditolak adalah barang atau orangnya. Dan jika penolakan terhadap suatu ide atau pendapat maka yang harus ditolak adalah ide atau pendapatnya, dan tentunya realisasi penolakannya dengan mengkritik ide atau pendapat dan menunjukkan inkoherensi nalar yang ada dibelakangnya.

Maka di dalam demonstrasi seharusnya ada keselarasan antara objek penolakan dan bentuk penolakannya. Penolakan terhadap kolonialisme bisa terealisasikan dengan penolakan yang bersifat fisik, misalnya dengan peperangan. Analoginya jika anda di tengah jalan dibegal maka bentuk perlawanan atau penolakan anda seharusnya penolakan atau perlawanan fisik. Jika anda dibegal lalu anda menolak dengan mendebat begal perihal perilakunya, maka perlawanan anda tidak mendatangkan efek apapun bagi begal. Lain halnya jika anda ingin menolak suatu kebijakan atau pendapat yang idealis maka bentuk penolakannya jugalah bersifat idealis. Karena dengan itu anda dapat meruntuhkan basis argumen pendapatnya sehingga ia bisa runtuh. Jadi yang harus diperhatikan dalam penolakan adalah objek dan bentuk penolakan, keduanya harus memiliki keserasian.

Demontrasi sebagai penolakan yang banyak dilakukan di Indonesia terkadang luput dalam memandang objek dan realisasi bentuk demonstrasinya. Demontrasi terhadap kebijakan pemerintah seharusnya direalisasikan dengan menunjukkan inkoherensi kebijakan lalu mengkritiknya atau dengan mengemukakan kebijakan yang lebih rasional dan lebih bisa diterima oleh masyarakat, Dengan begitu tujuan demonstrasi bisa terwujud dan dan lebih menggambarkan etika dan rasionalitas para demonstran.

Namun bukan berarti gerakan demonstrasi yang anarkis tidak bisa mewujudkan tujuan demonstrasi. tentunya bisa seperti yang terjadi pada peradaban kuno, hanya saja jika keserasian objek dan bentuk demontrasinya tidak diperhatikan lagi maka terjadi fallacy pada nalar demonstran. Cacat logika atau logical fallacy dalam demonstrasi sama seperti cacat logika dalam berargumentasi, keduanya menimbulkan sesuatu yang buruk. Demonstrasi idealis yang direalisasikan dengan gerakan anarkis mendatangkan keburukan seperti kerusakan fasilitas umum dan lainnya. Dengan hal itu kebijakan yang mendatangkan keburukan bagi masyarakat bertambah dan meluas keburukannya karena demonstrasi anarkis.

Argumentum ad hominem adalah salah satu istilah cacat logika (logical fallacy) di dalam ilmu logika, cacat logika yang demikian ini menggambarkan bagaimana penyelewengan ratio legis dari objek argumen kepada subjek atau argumentator. Memang fallacy yang seperti ini pada dasarnya terletak pada ranah argumentasi, namun di dalam kajian logika sebenarnya tidak ada pembatasan untuk memperluas cakupan pembahasannya. Saya kira demonstrasi anarkis tidak jauh beda dengan argumentum ad hominem karena keduanya sama sama menyelewengkan objek kritiknya. Jika argumentum ad hominem menyerang pribadi subjek ketimbang argumentasi subjek, maka demonstrasi anarkis menyerang ranah paradigmatis (yang berkonotasi dengan objek demonstrasi) ketimbang basis argumentasi dari suatu kebijakan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, demonstrasi anarkis tidaklah selalu gagal dalam mencapai tujuannya, hanya saja anarkisme yang tampak sudah cukup menjadi representasi dari bobroknya logika para pelakunya yang mengabaikan kritik tajam pada aspek inkoherensi dari suatu kebijakan.
 
Hal ini bukanlah gagasan yang ingin menghilangkan distingsi antara suatu lembaga dan para pemerintahannya, melainkan sebagai gagasan yang mendorong untuk lebih menjaga esensi dari suatu kebebasan yang dilegalkan dan mendorong intelektualitas bangsa ini. Kebebasan yang mutlak di negara demokrasi sebenarnya adalah suatu utopia dan bahkan telah dibatalkan sejak sistem itu berlaku. Kebebasan yang berlaku di dalam negara demokrasi adalah kebebasan yang berlaku untuk mendukung kemajuan sistem demokrasi. Maka determinasi dari otoritas pemerintahan dan demokrasi yang memberlakukan kebebasan para warga negaranya, memunculkan semacam desublimasi represif, maka tidaklah mengherankan jika selama ini para masyarakat tidak sadar terhadap determinasi yang membatasi hak kebebasannya.

Terminologi Demonstrasi Anarkis

Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa istilah demonstrasi anarkis konotasinya merujuk pada makna pemberontakan atau penolakan yang mengandung kekerasan fisik. Namun istilah anarkis, saya kira selama ini kurang cocok dan mengalami penyalahgunaan. Karena jika kita telaah historisitas genesis dari anarkisme adalah sebuah istilah teori filsafat yang menggambarkan anti kepemimpinan atau anti hierarkis dari suatu wilayah dan kelompok, teori ini berpendapat bahwa manusia secara alamiah dapat menciptakan harmonisasi sosial tanpa penindasan dengan tanpa aturan dari otoritas apapun. Artinya seorang anarkis tidak akan menghendaki adanya otoritas kepemimpinan dalam bentuk dan sistem apapun. Anarkisme sangat menjunjung tinggi kebebasan individual tanpa suatu batasan apapun, karena suatu batasan merupakan tanda akan adanya determinasi dari otoritas hierarkis yang lebih tinggi.

Anarkisme sangat mengandaikan sebuah sistem kebebasan tanpa aturan dari bentuk otoritas apapun, hal ini tentunya disebabkan pandangan mereka terhadap manusia yang sangat berbeda jika kita bandingkan dengan pelbagai perspektif. Kaum anarkis cukup radikal dalam memandang sifat alamiah manusia yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan kebaikan sosial, meskipun pada faktanya pengandaian pengandaian tersebut sangat jauh dari fakta sosial. Anarkisme dalam politik, ekonomi, dan administrasi memang sangat utopis. Dilihat dari historisitas kemanusiaan pun sangat sulit ditemui, mungkin bisa ditemukan pada khayalan platon tentang Atlantik. Keduanya seakan tidak puas dan muak dengan sistem pemerintahan apapun sehingga terlalu dalam menyelami pengandaian pengandaian sempurna tanpa melihat kompleksitas manusia yang sulit diidentifikasi.

Anarkisme yang muncul di Indonesia secara paradigmatik bergandengan dengan kekerasan fisik yang menjadi representasi dari gagasan anarkisme. Tentunya hal itu adalah penyelewengan terminologi yang diakibatkan oleh ketidakpahaman beberapa penggunanya. Seakan selama ini tidak ditemukan distingsi antara anarkisme dan kekerasan. Padahal jika kita lihat sejarahnya anarkisme merupakan gagasan perlawanan melawan eksploitasi manusia dalam bentuk apapun, dan tentunya bukan sebuah gerakan perlawanan dengan kekerasan yang menentang hierarki.

Anarkisme yang sebenarnya menentang dehumanisasi seperti penindasan manusia, eksploitasi, dan ketidakadilan, demi mewujudkan kehidupan emansipatoris sosial tanpa hierarki. Tentunya berbeda dengan anarkisme di Indonesia yang masih berharap pada hierarki lalu menginginkan dan menuntut koherensi kebijakan atau regenerasi pemerintahan. Tentu sangat kontras jika kita mengerti genesis dari anarkisme.

kekerasan sebenarnya bukanlah postulat dasar dari anarkisme, dan konotasi tersebut mengkaburkan gagasan murni dari anarkisme. Seorang pemikir anarkis yang bernama Alexander Berkman dalam bukunya what is communist anarchist bersuara dan menentang kekerasan yang waktu itu menjadi paradigmatik istilah anarkisme. Menurutnya anarkisme bukan suatu peperangan satu melawan semua, bukanlah gerakan kekacauan dan huru hara, bukan suatu tindakan kekerasan seperti kaum barbarisme. Anarkisme adalah lawan dari itu semua, ia merupakan gagasan tentang perlawanan terhadap eksploitasi dan tentunya perlawanan terhadap dehumanisasi. Sehingga kebebasan manusia menjadi faktor utama dalam merealisasikan kehidupan sosial yang emansipatoris dan lebih sejahtera. Di dalamnya tidak ada penindasan, kekerasan, kemiskinan, dan monopoli, semuanya sama dalam kehidupannya. Mereka memiliki kesetaraan hak harmoni dan kesejahteraan.

Jelaslah dari pernyataan Alexander di dalam bukunya sebagai wakil dari pemikir anarkis menolak paradigmatik kekerasan pada terminologi anarkisme. Dan istilah demonstrasi anarkis saya rasa kurang cocok digunakan sebagai suatu istilah gerakan perlawanan dengan kekerasan fisik. Karena bagaimanapun juga kekerasan bukanlah ciri dari intelektualitas, sehingga demonstrasi dengan kekerasan saya kira butuh suatu istilah yang lebih biadab dari tindakannya, misalnya "Demonstrasi Rimba". dan tentunya hal ini sebagai perlawanan kaum intektualitas terhadap penyelewengan intelektual, sehingga ke depannya lebih bisa melengkapi kekurangan yang ada dan bukan menjatuhkan ambisi ambisi perlawanan. terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun