Manusia dalam kehidupannya selalu lekat dengan nilai baik dan buruk, suatu nilai pada suatu komunitas memiliki distingsi dengan nilai pada komunitas lain. Nilai karakter-karakter manusia selalu ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku, manusia yang menerjang aturan moralitas yang didasari nilai-nilai tertentu dianggap buruk atau jahat oleh yang lainnya. Begitupun sebaliknya, manusia yang menjaga perilaku etisnya sesuai moralitas yang berlaku maka dianggap baik.
Deferensiasi nilai-nilai yang berlaku di berbagai tempat seakan memberitahukan kepada kita bahwa nilai yang berlaku diciptakan melalui konsensus suatu komunitas dengan pertimbangan-pertimbangan yang berbeda-beda di semua tempat lalu dibentuklah suatu moral yang berlaku untuk menentukan baik atau buruknya seseorang. Penalaran terhadap nilai yang seperti ini menyebabkan anggapan bahwa nilai yang absolut dan universal tidak pernah ditemukan di sepanjang sejarah manusia, dan dengan hal itulah kebenaran secara interinsik adalah suatu ilusi. Nalar yang seperti inilah yang diadopsi oleh Friedrich Wilhelm Nietzsche yang merupakan salah satu filsuf modern terkemuka dari Jerman.
Atheisme Nietzsche yang muak dan selalu mengkritik moral-moral tradisional Kristiani (dan semua moral agama) menganggap agama (terutama Kristianisme dan Brahmanisme) telah menjungkir balikkan moralitas dan menggeneralisasi nilai-nilai kebenaran yang seharusnya berlaku. Nietzsche menganggap bahwa agama dengan doktrin "menyejahterakan manusia" sebenarnya telah menjinakkan sifat-sifat hewani dari manusia. Seluruh makhluk hidup termasuk manusia menurut Nietzsche memiliki kehendak untuk berkuasa "will to power" yang menjadi dasar kebebasan manusia untuk mengatur dan berkehendak dengan dirinya sendiri.
Dari genealogi moralnya, Nietzsche membagi moralitas menjadi dua: pertama, Moralitas Tuan (herdenmoral/ slave morality); kedua Moralitas Budak (herrenmoral/ master morality). Moralitas Tuan dianggap Nietzsche adalah moralitas yang sebenarnya baik dan harus berlaku, pengertian baik dalam Moralitas Tuan adalah perasaan jiwa yang tinggi, yang bangga, dan megah, moralitas seperti ini menurut Nietzsche awalnya dimiliki oleh kaum Aristokrat atau bangsawan. Adapun moralitas yang kedua (Moralitas Budak) adalah suatu perasaan rendah diri, sesuatu yang menyebabkan kedamaian, tidak merugikan, dan menaruh belas kasihan. Moralitas yang seperti ini adalah moralitas yang dimiliki oleh kaum rendahan atau kaum miskin.
Transvaluasi nilai yang dilakukan Nietzsche menyebabkan terjadinya keterbalikan nilai-nilai yang selama ini berlaku atau lebih khususnya yang nilai-nilai dogmatis yang diadopsi para penganut agama. Dengan transvaluasi nilai tersebut ukuran-ukuran baik dan buruk telah hilang dan mengalami keterbalikan yang disebabkan oleh dogma agama.
Pada awalnya menurut Nietzsche moralitas tuan lah yang baik dan berlaku dengan dasar kehendak berkuasa yang dimiliki setiap manusia. Lalu datanglah agama dengan dogmanya yang mengaku ingin menyejahterakan manusia dengan dukungannya terhadap moralitas budak. Moralitas Kristiani yang membenci moralitas tuan menyusupkan moral-moral budaknya kepada kaum aristrokrat, sehingga moralitas tuan yang tadinya baik mulai dianggap buruk. Dari sinilah kebencian Nietzsche terhadap agama terutama Kristen dimulai. Sejak adanya agama, para pemilik moralitas tuan didoktrin untuk untuk mengadopsi moralitas budak. Sebaliknya, para kaum lemah juga mengadopsi moralitas tuan, sehingga dengan keterbalikan moral yang disebabkan oleh dogma agama, kini yang baik dianggap buruk dan yang buruk dianggap baik.
Akibat pemikirannya Nietzsche mendapat berbagai kecaman terutama datang dari umat Kristiani, para pemuka agama Kristen mengkritik Nietzsche bahwa di depan tuhannya (Kristus) semua sama, dan di dalam ajaran Kristen tidak ada pandangan sebelah mata terhadap kaum aristokrat dan kaum miskin, moral-moral Kristiani dianggapnya telah final sehingga patokan-patokan moral di dalamnya (ajaran Kristen) bersifat absolut. Menurut Nietzsche mereka yang murka dan mengecamnya tidaklah keliru, sebab moralitas tersebut adalah patokan yang dibuat Nietzsche sendiri, meskipun dalam kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari distingsi tersebut tetaplah ada.
Meskipun demikian Nitezsche tidak memungkiri bahwa agama-agama adalah bentuk manifestasi tertinggi dari kehendak berkuasa, namun kehendak berkuasa yang digaungkan Nietzsche tidaklah bersifat politis. Dengan generalisasi moralnya Nietzsche menganggap bahwa manusia yang kuat adalah manusia yang mampu mengatur dirinya sendiri dan menemukan ketenangan dengan kehendak berkuasa yang dimilikinya. Namun menurutnya kaum lemah yang tidak bisa mengatur dirinya sendiri merupakan manusia yang tidak mampu merasakan kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mereka akan mencari kekuasaan di luar dirinya (termasuk kekuasaan agama) yang mampu mengatur dirinya dan membantunya menemukan ketenangan. Dengan demikian moralitas budak yang dimiliki kaum rendahan disebabkan oleh kelapangan mereka dalam menerima kehendak berkuasa di luar dirinya, para pemilik moralitas budak menurutnya layaknya seekor keledai yang menerima begitu saja beban-beban yang ditimpakan terhadap diri, mereka tidaklah bebas karena menelan mentah-mentah aturan-aturan di luar dirinya.
Kegeraman Nietzsche terhadap kaum lemah disebabkan oleh perilaku yang mereka terapkan, Nietzsche heran mengapa manusia yang memiliki kehendak berkuasa memilih bertindak etis dari pada bertindak estetis. Nietzsche geram karena manusia hanya mematuhi adat istiadat yang diturunkan dari pendahulunya sehingga mereka tidak bebas. Kegeraman itu terlihat pada tulisannya dalam human all to human :
" Menjadi bermoral, bertindak sesuai adat istiadat, menjadi etis berarti membiasakan kepatuhan kepada hukum atau tradisi dari tempo dulu. Seseorang dibilang baik karena dia melakukan apa yang biasanya dilakukan."