Mohon tunggu...
Kavin Ashfiya
Kavin Ashfiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

pengkaji filsafat, bahasa, dan agama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta Segitiga sebagai Konsekuensi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre

2 Maret 2023   21:03 Diperbarui: 2 Maret 2023   22:26 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Wikimedia Commons/Xinhua

Konsep kebebasan dalam filsafat eksistensialme Sartre didasari pemikirannya tentang kontingensi (berubah-ubah), pour-soi (subjek kebebasan), dan l'autre (yang lain, ensoi). Kesadaran manusia sebagai subjek kebebasan tertinggi selalu menidak terhadap cengkraman objektivasi l'autre (tatapan orang lain). Objektivasi orang lain terhadap manusia yang memikiki kesadaran atas kebebasannya akan selalu menyebabkan kejatuhan psikologis dirinya, sehingga  manusia hendaknya merumuskan sendiri arti dirinya tanpa campur tangan pandangan orang lain, karena campur tangan pandangan orang lain dalam perumusan arti diri menyebabkan kejatuhan yang menyakitkan, dan hal tersebutlah yang menyebabkan kejatuhan diri Sartre.

Kejatuhan diri Sartre dimulai pada masa kecilnya tatkala wajahnya yang semula tampan berubah seperti kodok (matanya juling), lalu kejatuhan setelahnya ia alami setelah ibunya menikah lagi, ayah tirinya menganggap Sartre anak yang bodoh karena tidak mampu menyelesaikan persoalan matematika dan geometri. Kejatuhan yang ketiga ia alami saat umurnya 20 tahun ketika masih menjadi mahasiswa Ecole Normale Siperieure ( sekolah elit filsafat), saat itu Sartre didekati wanita cantik dan pintar di kampusnya yang bernama Simone Camille. Tentunya Sartre dan teman-temannya di ENS tak habis pikir karena gadis secantik Simone Camille menyukai Sartre yang wajahnya jelek. Akan tetapi perjalanan cintanya berujung pada kejatuhan diri Sartre yang ketiga kalinya, ia dicampakkan begitu saja oleh Simone Camille, dan dari semua pengalaman kejatuhan dirinya,Sartre belajar untuk mulai melindungi dirinya pada petualangan selanjutnya.

Setelah tiga tahun dari kejatuhan ketiga Sartre, ia bertemu dengan Simone de Beauvior (mahasiswi ENS 3 tahun dibawahnya), Simone de Beauvior dan Sartre yang sama-sama mahasiswa cerdas di ENS maju bersama-sama dalam ujian agregation filsafat. Keduanya menyiapkan ujian lisan bertema "kebebasan dan kontingensi", dari banyaknya peserta ujian Sartre menempati peringkat pertama dan Simone de Beauvior menempati peringkat kedua. Simone de Beauvior yang selalu bersama Sartre mulai menerima konsep pemikiran eksistensialisme Sartre yang menjunjung tinggi kebebasan manusia.

Teori Cinta Segitiga Sartre

Pemikiran Sartre pada akhirnya bermuara pada konsep percintaannya, ia memandang dua orang yang saling mencintai akan terjebak dalam pembatasan kebebasan masing-masing dari keduanya, pria yang mencintai wanitanya pada dasarnya mengobjektivasi dan mengekang kebebasan pasangannya, begitupun juga wanita yang mencintai pasangan prianya. Dua sejoli yang berpasangan menurut Sartre sebenarnya merupakan hubungan yang saling mengekang kebebasan satu sama lain, tentunya hubungan yang seperti itu berlawanan dengan konsep kebebasan eksistensialisme yang ia rumuskan, dimana manusia yang memiliki kebebasan hendaknya menjadi subjek yang mengobjektivasi dan memberontak terhadap objektivasi orang lain terhadap dirinya.

Pada akhirnya dalam hubungan percintaan, Sartre Merumuskan konsep percintaan yang memasukkan orang ketiga dalam hubungan dua orang yang saling mencinta, ia memandang bahwa dengan konsep itu manusia sebagai subjek kebebasan tidak akan mengalami objektivasi dan pengekangan kebebasan dirinya oleh orang lain. Dalam terminologinya ada dua cinta; pertama, amour necessaire ( cinta yang tidak bisa tidak, cinta yang dibutuhkan); kedua, amours contingentes (cinta yang kontingen, yang dapat berubah sewaktu-waktu).

Simone de Beauvior yang telah menerima pemikiran Sartre dipandang menjadi cintanya yang tidak bisa tidak (amour necessaire). Selanjutnya untuk merealisasikan pemikirannya, Sartre atau Simone mencari orang ketiga untuk dimasukkan ke dalam hubungan percintaan keduanya. Dan hal itulah yang menjadikan salah satu konsekuensi filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.

Cinta Segitiga Sartre

Sekitar tahun 1939 Bianca Lamblin gadis muda keturunan Yahudi dari Polandia yang berusia 16 tahun mulai dimasukkan Simone ke dalam hubungan percintaan Sartre -Simone. Awal pertemuan Bianca dengan Simone dimulai ketika Simone mengajar filsafat di sekolah Bianca pada tahun 1937. Saat itu Bianca terpesona dengan kharisma dan kecerdasan Simone dalam menjelaskan filsafat, waktu ke waktu hubungan mereka bukan hanya guru dan murid. Keduanya mulai saling berjalan bersama menikmati keindahan kota Paris.

Dengan intensnya hubungan mereka berdua, Bianca mulai belajar dari Simone tentang cinta bebas termasuk kewajaran homoseksualitas. Simone juga mulai mengisahkan tentang keunikan kepribadian Sartre yang menjadi alasan mengapa ia memilih Sartre dari pada pria-pria lainnya yang jau lebih tampan. Dari cerita-cerita Simone tentang cinta bebas, Bianca mengetahui bahwa hubungan Simone dan Sartre sangat luar biasa dan ia juga mulai menerima pandangan-pandangan Simone.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun