Untuk kali pertama dalam hidup pria kelahiran Bogor 2 November 1970 yang pernah menjabat Direktur Utama PT Steady Safe Tbk ini menggunakan kendaraan umum untuk mengantarkannya ke tempat tujuan. Karena selama ini Mulyadi ke mana-mana selalu menggunakan sopir.
Pertama kali ia naik bis ya itu dari depan hotel Mandarin menuju Al Azhar. Ia shalat Maghrib dan mendengar publikasi dari pengurus masjid tentang adanya tausiah. Ia pun beriktikaf di Masjid Agung Al Azhar hingga waktu Isya tiba. Setelah shalat Isya berjamaah Mulyadi mengikuti pengajian yang malam itu menampilkan dai muda Ustadz Yusuf Mansur sebagai penceramah.
''Ia sempat terkejut, ketika dalam tausiyah YM mengatakan, 'Mungkin di antara jamaah yang hadir di sini adalah orang yang tidak sama sekali berniat untuk datang ke Al Azhar bahkan mendengarkan tausiyah dari saya. Tapi, jamaah tersebut saat ini sedang dilanda kesulitan yang luar biasa''.
Inti dari tausiah sang ustadz mengatakan bagaimana cara mengatasi kesulitan dan mengharapkan pertolongan Allah. Caranya adalah dengan bersedekah dan lebih utama adalah benda yang paling dicintainya. Tanpa pikir panjang, Mulyadi pun mengikhlaskan jam tangan merek Bvlgari yang melingkar di tangannya seharga 3.000 dolar AS untuk disedekahkan.
''Waktu itu, yang paling berharga yang dipunya Mulyadi hanya jam tangan karena di dompet hanya ada uang Rp 110 ribu. ATM saldonya sudah sangat minim, Kartu Kredit sudah over limit. Waktu itu ia pikir kalau saya sedekahkan Rp 100 ribu uang saya tinggal Rp 10 ribu. Sejenak ada rasa berat. Jam tangan itu memang tipe jam yang diidam-idamkannya dari dulu. Namun ia segera menepisnya. Saat dilelang, jam itu dibeli seorang jamaah seharga Rp 200 ribu. Ia merasa enteng sepulang dari masjid. Ia mengaku berada di puncak kepasrahan tertinggi selama hidupnya.
Suami dari Nurasiah Jamil ini siap untuk menerima keputusan apapun, termasuk hilangnya semua aset yang dimilikinya. Tak lama kemudian, teleponnya berdering. Jauh sebelum krisis melanda dirinya, ia pernah mengajukan sebuah proposal proyek kepada sebuah lembaga. Suara telepon di ujung sana menanyakan proposalnya dulu, apakah berminat untuk meneruskan atau tidak.
Subhanallah...Allah menggerakkan hatinya untuk mengakomodasi proposal saya, pikirnya penuh suka cita. Senin, hanya berselang dua hari setelah mensedekahkan jam Bvlgari-nya, Mulyadi diminta datang ke kantor rekannya bersamaan dengan rencana eksekusi lelang. Mereka sepakat bekerja sama. Tak sampai seminggu, ia sudah meneken surat perjanjian kerja sama. Uang muka honorarium segera dikirim ke rekening, begitu kata mereka. Di hari batas terakhir ia harus melunasi hutangnya, ia pergi ke bank. Subhanallah, sudah ada jumlah uang yang sangat-sangat cukup untuk menyelesaikan semua kewajibannya, kisah Mulyadi kepada Republika dengan mata berbinar.
Ia tak akan pernah melupakan kisah itu. ''Inilah pengalaman batin yang paling berkesan sepanjang hidup saya. Apa yang kita sangka, tak selalu seperti itu yang Allah kehendaki. Ia pun teringat, boleh jadi, keajaiban itu datang karena sebelumnya ia berikhtiar, berdoa tanpa putus, ibadah puasa Senin-Kamis, shalat dhuha setiap hari, iktikaf di masjid, dan selalu mendoakan orang tua.
Mulyadi bersyukur Allah memberinya kesulitan hidup, karena itu adalah momentum untuk melihat keperkasaan Allah. Allah mengintervensi kehidupan manusia selama manusia berada di jalan Allah dan mengikhtiarkan sesuatu yang benar-benar mengharap ridha Allah total tidak berkehendak atau tidak tergantung selain Allah. ''Jika kita bersedekah, ternyata itu yang mengundang intervensi Allah lebih cepat lagi,'' tandas Mulyadi berfilosofi.
“Allah menjanjikan balasan yang berlipat kenapa kita sibuk ngurusin yang selipat”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H