“Kan nyanyi dan doa orang di gereja?” katanya lagi.
“Tadi lihat gak, ada syair yang diproyeksikan ke dinding mihrab (?).” Saya ceritakan improvisasi saya di atas.
“Terus waktu berdoa”?
“Itu gampang. Teman-teman si Mem (panggilan untuk gurunya) berdoa menghadap Tuhan mereka, ayah juga berdoa menghadap Tuhan kita.
Emangnya gak boleh?” saya tanya dia kembali.
Untuk pertanyaan ini dia tidak tidak menjawab, dia lebih memilih pergi ke kamarnya untuk bersalin pakaian.
Dia pun tidur, saya pun menggeletakkan diri di tempat tidur.
Paginya, saya masih bertuhankan Allah SWT sebagaimana yang tercetak KTP yang tentunya tidak akan berubah jika belum diubah pada penggantian KTP berikutnya.
Syukur alhamdulillah, Allah membantu umatnya berimprovisasi dalam suasana “tadosak” (terdesak, Melayu. Si guru dan teman-temannya senang, anak saya mendapat pembelajaran bagaimana berbaur di masyarakat yang multi-segalanya. Ini pun sangat patu disyukuri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H