Akhirnya, saya juga tidak bisa mengelak untuk tidak menonton video mirip artis itu. Setelah membiarkan satu hari visualisasi itu mengendap di dalam memori ingatan. Saya mencoba bertanya di dalam hati, "apa yang mendorong saya untuk mau menonton video yang membuat Ariel kini ditahan dengan status sebagai tersangka?"
Umumnya, faktor luar biasa menjadi pertimbangan mengapa saya ikut serta melakukan suatu hal sebagaimana umumnya dilakukan oleh banyak orang. Apakah karena yang melakukan adegan percintaan itu artis maka saya sudah bisa memastikan bahwa video itu sudah masuk katagori luar biasa?
Oke, mereka memang artis. Tapi sejauhmana prestasi keartisan mereka sehingga membuat mereka benar-benar artis yang luar biasa? Setelah memperlajari rekam jejak dari tiga artis yang diduga ada di video dimaksud sama sekali belum menunjukkan bahwa mereka adalah artis yang hebat.
Karena itu, faktor keartisan mereka tidaklah cukup mendorong saya untuk mau berusaha menontonnya. Harus ada faktor lain untuk membuatnya bisa disebut luar biasa. Misalnya adegan percintaan yang terekam dalam video itu sesuatu yang menakjubkan. Sampai disini pun sungguh saya tidak menemukan unsur kebaruan dalam adegan percintaan dari dua video yang ada. Sangat biasa dan sama sekali belum bisa disebut bisa mengalahkan adegan percintaan indah yang pernah ada dalam imajinasi saya sebagai diri yang sangat menyenangi bacaan-bacaan seni bercinta.
Kalau memang faktor video tidak mendorong saya untuk ikut menonton sebagaimana yang dilakukan oleh orang banyak maka faktor apa juga yang telah mendorong saya untuk mau menontonnya? Harus ada faktor pendorongnya. Jika faktor teknis video ternyata tidak membuat saya mau ikut menonton maka pasti karena dua hal berikut:
Bisa jadi saya sudah mengidap apa yang disebut penyakit suka atau senang atau mengalami kesenangan dengan mengintip aktivitas percintaan orang lain atau yang sering juga disebut dengan vouyerism. Dengan penyakit ini saya pasti akan memburu semua video yang memiliki lebel seks dan porno. Soal siapa pemerannya dan bagaimana adegannya hanya soal bagaimana saya mengklasifikasikannya saja di ruang prioritas pengintipan. Jika dia artis saya akan menempatkannya di urutan nomor satu. Baru berikutnya video dengan pemain biasa.
Karena saya merasa bukan sosok yang senang dengan mengintip. Malah sudah beberapa kali sempat diintip di ruang ganti pakaian. Maka saya jadi berpikir jangan-jangan ini semata karena pengaruh komunikasi. Sesuatu yang terus diwartakan secara berulang-ulang, ditambah dengan bobot-bobot tertentu atas warta yang ada maka warta yang ada mendorong siapa pun yang mendengar untuk ikut ambil bagian dalam arus warta yang ada. Keikutsertaan minimal adalah keinginan untuk mengetahui subjek dan atau objek yang sedang menjadi pewartaan.
Sekarang saya jadi bertanya sendiri. Jika video yang dibuat untuk mengabadikan "momentum" percintaan mereka yang mirip itu mempengaruhi perilaku atau moralitas saya sebagai anak bangsa dan sebagai hamba siapa yang harus saya salahkan? Mereka yang sudah mengabadikan kenangan bercinta itukah atau mereka yang telah mewartakan dengan gegap gempita tiga anak manusia yang memilih rekaman jejak percintaan mereka.
Setelah memutuskan untuk mendelete video yang ada saya menjadi malu hati melayangkan ingatan kepada tiga sosok yang baru saja saya tonton kemarin. Pelan-pelan saya memeriksa kamar tidur dan memperhatikan setiap dinding jangan sampai ada lubang yang membuat tangan negara melalui UU Pornografi bisa menjangkau hingga ke ruang milik pribadi saya.
Salam Kompasiana
KATA
"Dengan kata sebuah ingatan bisa dilupakan atau dikuatkan dan dilupakan kembali."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H