Baru-baru ini muncul isu yang dikemukakan oleh Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia tentang rencana perubahan nama produk-produk dari perbankan syariah. Hal tersebut dikemukakan oleh Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad di Palangkaraya Kalimantan Tengah beberapa waktu yang lalu. Hal tersebut sebagai upaya sosialisasi OJK dalam rangka memperkenalkan produk-produk perbankan syariah yang menurut beliau kurang familiar ditelinga masyarakat Indonesia, sehingga nantinya dapat berpengaruh kepada pangsa pasar perbankan syariah secara global.
Seiring dengan perkembangan itu, berbagai persepsi dari masyarakat Indonesia dan perdebatan dari para kalangan ahli ekonomi Islam mengenai sistem opeasional bank syariah muncul dikarenakan adanya isu-isu bahwa bank syariah hanya mengganti nama dari bank konvensional, yaitu “bunga“ diganti dengan “bagi hasil”. Kesalahpahaman terhadap perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah lainnya menunjukkan belum meratanya sosialisasi informasi perbankan syariah dan lembaga Keuangan Syariah lainnya. Banyak masyarakat yang belum memahami secara benar apa itu Lembaga Keuangan Syariah, sistem yang dipakai, jenis produknya, serta apa keunggulan Lembaga Keuangan Syariah bila dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional, sehingga pertumbuhan lembaga keuangan syariah tidak cukup signifikan.
Secara umum bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola bagi hasil yang merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan, pembiayaan, maupun dalam produk lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
Sebenarnya telah banyak sekali produk perbankan syariah yang telah diaplikasikan sebelumnya. Produk-produk tersebut berasal dari banyak akad yang ada dalam fiqh muamalah. Istilah ”akad” dalam hukum Islam disebut ”perjanjian” dalam hukum perdata. Akad berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Terdapat tiga substansi pokok pada pengertian akad : Pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak pertama. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena merupakan pertemuan ijab dan kabul. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.
Dalam dunia perbankan syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan itu berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu berdasarkan hukum positif saja. Tetapi tidak demikian dalam Islam, perjanjian tersebut memiliki pertanggung jawaban hingga yaumil qiyamah.
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong (tabarru’). Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al bai’) yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya.
Transaksi untuk mencari keuntungan dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu transaksi yang mengandung kepastian (natural certainty contracts/ NCC), yaitu kontrak dengan prinsip nonbagi hasil (jual-beli dan sewa), dan transaksi yang mengandung ketidakpastian (natural uncertainty contracts/NUC), yaitu kontrak dengan prinsip bagi hasil. Transaksi NCC berlandaskan pada teori pertukaran, sedangkan NUC berlandaskan pada teori percampuran. Semua transaksi untuk mencari keuntungan tercakup dalam pembiayaan dan pendanaan, sedangkan transaksi tidak untuk mencari keuntungan tercakup dalam pendanaan, jasa pelayanan (fee based income), dan kegiatan sosial.
Bentuk utama produk bank syariah terutama menggunakan pola bagi hasil, sesuai dengan karakteristiknya. Selain pola bagi hasil, bank syariah juga mempunyai produk-produk pendanaan dan pembiayaan dengan pola non bagi hasil. Dalam produk pendanaan, bank syariah dapat juga menggunakan prinsip wadi’ah, qardh, maupun ijarah. Dalam produk pembiayaan, bank syariah dapat juga menggunakan pola jual beli (dengan prinsip murabahah, salam, dan istishna) dan pola sewa (dengan prinsip ijarah dan ijarah wa iqtina).
Selain itu, bank syariah juga menyediakan berbagai produk jasa perbankan berupa jasa keuangan, jasa nonkeuangan, dan jasa keagenan. Produk-produk jasa keuangan yang ditawarkan antara lain wakalah, kafalah, hiwalah, rahn, qardh, sharf, dan ujr. Produk-produk jasa nonkeuangan yang ditawarkan antara lain wadi’ah yad amanah (safe deposit box ‘kotak penitipan barang’). Sementara itu, produk jasa keagenan yang ditawarkan antara lain mudharabah muqayyadah (investasi terikat).
Pembahasan mengenai produk-produk bank syariah tidak terlepas dari jenis akad yang digunakan. Jenis akad yang digunakan oleh suatu produk biasanya melekat pada nama produk tersebut. Sebagai contoh, tabungan wadi’ah berarti produk tabungan yang menggunakan akad wadi’ah. Hal ini berarti segala ketentuan mengenai akad wadi’ah berlaku untuk produk tabungan ini.
Upaya untuk merubah nama produk pada perbankan syariah tidak bisa sekaligus, butuh kesiapan dari berbagai pihak untuk mencapai hal tersebut. OJK telah menyerahkan sepenuhnya rencana merubah nama produk perbankan syariah kepada para ahli ekonomi syariah. Rencana tersebut haruslah melibatkan para perbankan syariah terlebih dahulu untuk menyepakati perubahan nama produk pada perbankan syariah. Hal ini dirasa positif dalam rangka untuk meningkatkan prestasi perbankan syariah Indonesia.
Terkait akan hal tersebut, wakil presiden Jusuf Kalla memberikan komentarnya. Beliau mengomentari istilah-istilah yang dipakai oleh perbankan syariah tersebut saat ini masih hanya sebatas simbol-simbol saja. Misalkan dari segi bahasa, digunakan istilah-istilah umum saja, tidak perlu serba memakai bahasa Arab. Lanjut beliau, para pelaku harus bisa menyesuaikan istilah-istilah dalam ekonomi syariah ke masyarakat umum, untuk menghilangkan paradigma perbankan syariah hanya untuk umat Islam saja. Terlebih beliau juga mengutarakan gagasannya untuk melokalkan istilah-istilah yang dipakai dalam produk perbankan syariah. Dengan pendekatan lewat budaya seperti halnya yang dilakukan oleh Walisongo inilah yang diharapkan mampu untuk menarik pangsa pasar lebih besar lagi.
Menurut hemat penulis, hal tersebut perlu untuk dilakukan supaya produk perbankan syariah lebih dikenal oleh masyarakat luas, terlebih sebagai sarana untuk memahamkan kepada masyarakat bahwa perbankan syariah itu tidak sama dengan perbankan konvensional. Nama-nama produk diperbankan syariah yang hanya sebagai simbol saja juga diamini oleh penulis. Pasalnya dalam tataran aplikasi yang selama ini dilakukan oleh perbankan syariah di Indonesia tidak sepenuhnya menggunakan prinsip dan ketentuan dalam akad yang dipakai. Misalnaya, produk mudharabah yang dipraktikkan pada perbankan syariah di Indonesia telah keluar dari prinsip dasar mudharabah itu sendiri. Tidak ada loss sharing disana. Bahkan yang lebih parah lagi ketika nasabah tidak mendapatkan keuntungan dalam kegiatan usahanya, maka nasabah tersebut dianggap rugi, dan bank akan menindak lanjuti akan hal itu
Perlu diingat bahwa dalam melihat produk-produk bank syariah, selain bentuk atau nama produknya, yang perlu diperhatikan adalah prinsip syariah yang digunakan oleh produk yang bersangkutan dalam akadnya (perjanjian), dan bukan hanya nama produknya sebagaimana produk-produk bank konvensional. Hal ini terkait dengan bagaimana hubungan antara bank dan nasabah yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, suatu produk bank syariah dapat menggunakan prinsip syariah yang berbeda. Demikian juga, satu prinsip syariah dapat diterapkan pada beberapa produk yang berbeda.
Yang lebih penting bagi perkembangan perbankan syariah tidak hanya mengganti nama produk saja, akan tetapi justru terletak pada prinsip-prinsip yang mengharuskan transaksi riil, bagi hasil, dan tidak manipulatif. Bagaimana kita bisa membawa sistem ekonomi syariah menjadi sistem yang umum, dan bukan bicara tentang halal dan haram saja. Artinya perbankan syariah harus meningkatkan persaingan, harus lebih baik, lebih murah, lebih inovatif, lebih cepat dalam pelayanan, dan bukan cuma menjadikan ekonomi konvensional menjadi mualaf saja. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H