Mohon tunggu...
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016 Mohon Tunggu... -

Kanal sosial politik BEM FMIPA UI 2016 | Mahasiswa eksak juga bergerak | Narahubung 081314261261 (Afkar)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reklamasi Teluk Jakarta: Menakar Nuansa Politis melalui Perspektif Saintis

12 April 2016   09:07 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 5997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana pro dan kontra mengenai reklamasi Teluk Jakarta kembali memanas. Reklamasi adalah suatu usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, lepas pantai, laut, tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Dalam hal ini, pelaksana reklamasi di Jakarta merencanakan dibentuknya 17 pulau buatan seluas 5 ribu hektare di Teluk Jakarta.

Reklamasi pantai utara Jakarta telah memasuki babak baru. Jika perdebatan sebelumnya sebatas diskursus sosial, ekonomi, dan lingkungan, maka belakangan ini pembahasannya telah meruncing ke sektor politik. Hal itu menyusul ditangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi dan Direktur PT. Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja oleh KPK pada Jumat (01/04) lalu, dalam kasus dugaan suap sebesar Rp 2 Miliar terkait pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Penangkapan itu jelas mengundang kembali sikap skeptis dari berbagai kalangan terkait megaproyek tersebut.

Megaproyek reklamasi Teluk Jakarta bukanlah hal baru dalam rencana perkembangan pembangunan Ibu Kota. Walaupun telah mendapati penolakan dari masyarakat dan nelayan karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kerusakan lingkungan pesisir maupun penggusuran ruang hidup dan penghidupan nelayan di daerah tersebut. Celakanya, meski banyak kajian akademik maupun keluhan warga sekitar, hal itu tidak mampu menghentikan konstruksi yang dipandegani oleh PT Muara Wisesa Samudera anak perusahaan PT Agung Podomoro Land itu. Meski kepemimpinan di DKI Jakarta silih berganti seiring dengan berlangsungnya waktu, megaproyek ambisius tersebut tetap kekeuh dilanjutkan.

Pemerintah DKI Jakarta sendiri telah berulang kali menerbitkan peraturan untuk menjamin kelangsungan reklamasi. Terbaru, sejak pertama dilantik pada 19 November 2014, Gubernur DKI Jakarta ‘Ahok’ Basuki Tjahaja Purnama telah merilis sebanyak 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi. Mulai dari Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2268 Tahun 2015; Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2269 Tahun 2015; dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2485 Tahun 2015. Substansinya senada, memberikan izin kepada beberapa perusahaan untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta.

Reklamasi Teluk Jakarta pada kenyataannya berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan. Sehingga, pembahasannya pun harusnya melibatkan banyak pihak. Dari sektor ekonomi, pemerintah dan pengembang mengeklaim didirikannya pulau buatan itu akan mampu menunjang perekonomian dan memperindah Ibukota. Dari sektor sosial, proses pembangunannya terbukti mengurangi penghidupan warga sekitar yang mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Belum lagi jika ditinjau dari aspek lingkungan atau aspek-aspek lainnya.

Terlepas dari kompleksitas masalah dalam upaya reklamasi Teluk Jakarta, ada beberapa poin yang cukup menarik untuk menjadi pembahasan kita sebagai mahasiswa eksak. Sebagai kaum intelektual ilmu-ilmu alam, reklamasi Teluk Jakarta yang juga bersinggungan langsung dengan alam jelas mempunyai ranah tersendiri yang sesuai dengan disiplin keilmuan MIPA. Selengkapnya, kami akan memaparkan poin-poin tersebut pada penjelasan di bawah ini.

Pendekatan Geografis Pantai Utara Jakarta

Melalui pendekatan spasial, posisi relatif DKI Jakarta sudah menunjukkan permasalahannya tersendiri. Sebab, Jakarta berada di pantai utara Pulau Jawa yang memiliki kecenderungan morfologis landai. Sedangkan di sebelah selatannya, terdapat dataran tinggi dan gunung-gunung, baik yang aktif maupun sudah mati seperti Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan lain-lain. Ketinggian tanah yang lebih rendah dibandingkan daerah di sekitarnya menjadikan Ibukota Indonesia itu sebagai daerah aliran sungai (DAS). Tercatat ada lebih dari 25 anak sungai di dalam kota, 13 di antaranya adalah sungai besar.

Masalah keruangan Jakarta diperparah karena pegunungan di selatannya telah menjadi jebakan uap air dari Laut Jawa. Air laut yang terevaporasi menjadi uap, kemudian terbawa angin menuju ke daratan, salah satunya melalui Jakarta. Angin membawa uap-uap tersebut terus menuju selatan, hingga mencapai pegunungan atau ketinggian tertentu. Dengan karakteristik pegunungan yang suhunya rendah, uap air mengalami kondensasi membentuk titik-titik awan. Titik air inilah yang nantinya terakumulasi dan membentuk hujan. Terjadilah hujan orografis yaitu hujan yang disebabkan karena pengaruh ketinggian dan relief bumi. Itulah sebabnya, daerah pegunungan di selatan Jakarta seperti Puncak dan Bogor memiliki curah hujan yang tinggi. Lalu sebagaimana sifat air yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah, aliran air ini melalui sungai-sungai yang mengular di Jakarta, menuju ke muara-muara sungai di pantai Jakarta.

Melalui pendekatan kelingkungan, sebagai muara sungai, pantai utara Jakarta haruslah bersih dari segala hal yang dapat memperlambat arus sungai. Karena jika tidak, sedimentasi dapat berlangsung lebih cepat mengakibatkan pendangkalan sungai. Residu yang terbawa aliran sungai ini dapat terdeposisi di teluk dan menghambat jalur air. Akibatnya saat musim hujan dan air melimpah, sungai akan meluber menyebabkan banjir di daerah sekitarnya. Di sinilah kita perlu mempertanyakan kebijakan pemerintah DKI Jakarta mengizinkan reklamasi.

Reklamasi akan memperpanjang muara sungai dan memperlambat arus. Setidaknya, proses tersebut akan menahan air dari 13 sungai besar di Jakarta sehingga dapat mengakibatkan banjir yang lebih besar. Hal ini kontra dengan upaya pemerintah dalam menanggulangi banjir, melalui pembangunan dan pembersihan kanal-kanal yang selama ini telah dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun