Oleh: Sabina Adwina Oktovidonna
Autism is about having a pure heart and being very sensitive... It is about finding a way to survive in an overwhelming, confusing world... It is about developing differently, in a different pace and with different leaps.
-- Trisha van Berkel --
Definisi Autisme
Autisme merupakan gangguan neurologis atau gangguan fungsi otak dan saraf kompleks yang mempengaruhi perilaku dan proses berpikir manusia (Puji, 2016). Hal tersebut biasanya muncul pada anak usia dini yang ditandai dengan kesulitan berinteraksi, berkomunikasi verbal dan nonverbal, juga berlaku repetitif. Gangguan tersebut dapat terjadi pada berbagai jenis kelamin, ras, atau status sosial ekonomi.
Pada usia awal, anak yang menderita autisme dapat berkembang secara normal tetapi perkembangan mereka akan berhenti pada usia tiga tahun. Kemudian, beberapa kemunduran tumbuh kembang anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme akan muncul (Kemenpppa.go.id, 2018). Menurut Dr. Tjin Willy (2018), terdapat beberapa gejala yang muncul, yaitu gejala komunikasi dan interaksi sosial dan gejala pola perilaku.
Dalam aspek gejala komunikasi dan interaksi sosial, sekitar 25-30% penyandang autisme kehilangan kemampuan berbicara dan sekitar 40% penyandang bahkan tidak berbicara sama sekali. Gejala-gejalanya adalah:
- Tidak merespons saat namanya dipanggil dan lebih suka menyendiri.
- Menghindari kontak fisik dan berbicara dengan orang lain.
- Tidak pernah mengungkapkan emosi dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
- Tidak bisa meneruskan percakapan dan cenderung tidak memahami pertanyaan. sederhana.
- Sering mengulang kata (echolalia) dengan nada bicara yang tidak biasa.
Untuk aspek gejala pola perilaku, terdapat gejala-gejala yang kerap terjadi sebagai berikut:
- Sensitif terhadap cahaya, sentuhan, atau suara, tetapi tidak merespons rasa sakit.
- Rutin menjalani aktivitas yang sama dan marah apabila terdapat perubahan.
- Kelainan pada sikap tubuh atau gerakan.
- Melakukan gerakan repetitif, seperti mengayunkan tangan atau memegang bagian belakang telinga.
- Hanya memilih makanan tertentu.
Empat dari sepuluh penyandang autisme tidak menyukai suara tertentu sehingga ada beberapa anak yang mengamuk apabila mendengar suara tersebut. Misalnya, seorang anak membenci suara sepeda motor, anak tersebut akan selalu mengamuk atau merengek apabila mendengar bunyi tersebut.Â
Di sisi lain, terdapat beberapa penyandang autisme yang tampak seperti orang tuli karena tidak merespon berbagai suara yang ada di sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena penyandang autisme mengalami gangguan pada satu atau lebih indranya, seperti pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, keseimbangan, penciuman, dan vestibular (pengindraan pada otot, urat, sendi, dan organ keseimbangan yang mendeteksi gerakan dan posisi tubuh serta anggota badan) (Kemenpppa.go.id, 2018).
Menurut Koegel dan Lazebnik (Tin Suharmini, 2009), penyebab anak menyandang autisme adalah gangguan neurobiologis atau sistem saraf. Menurut Nakita Pamuji (2007), gangguan autisme dapat disebabkan oleh empat faktor, yaitu faktor keturunan, faktor prenatal (ibu yang terkena virus menularkannya ke janinnya), faktor neonatal (permasalahan dalam melahirkan), atau faktor neonatal (faktor lingkungan).Â
Menurut Galih Vesakriyanti (2008), faktor penyandang autisme dapat berasal dari faktor internal atau faktor eksternal. Dari beberapa pengertian para ahli diatas, maka dapat disimpulkan dua faktor penyebab autisme yaitu:
- Faktor Internal
- Gangguan atau kelainan sistem saraf otak.
- Virus atau jamur yang ditularkan ibu terhadap janinnya.
- Anak yang bermasalah saat melahirkan, seperti kekurangannya oksigen atau nutrisi (Handojo, 2003).
- Â Faktor eksternal
- Lingkungan luar yang terkontaminasi zat beracun seperti polusi udara, air, dan makanan (Handojo, 2003).
Penyandang Autisme
Sebelum tahun 2000, prevalensi autisme berada pada 2-5 hingga 15-20 per 1.000 kelahiran, 1-2 per 1.000 penduduk dunia. Menurut data ASA (Autism Society of America) pada tahun 2000, prevalensi autisme mencapai 60 per 10.000 kelahiran, dengan jumlah 1:250 penduduk.Â
Menurut data CDC (Centers for Disease Control and Prevention, USA) pada tahun 2001, prevalensi autisme mencapai 1 per 150 penduduk. Menurut data CDC tahun 2012, prevalensi autisme mencapai 1:88 anak. Pada tahun 2014, angkanya pun meningkat sebanyak 30%.
Sementara itu, angka prevalensi masyarakat Indonesia masih belum mempunyai angka pasti. Menurut Dokter Rudy Sutadi, salah satu penggiat autisme, mengacu pada Incidence dan Prevalence ASD (Autism Spectrum Disorder), kasus baru autisme berada pada 2 per 1.000 penduduk per tahun, serta 10 kasus per 1.000 penduduk (BMJ, 1997).Â
Menurut data BPS tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237,5 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14%. Jadi, prevalensi ASD di Indonesia adalah 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru 500 orang/tahun. Dari data-data diatas, dapat disimpulkan bahwa prevalensi autisme di berbagai belahan dunia semakin lama semakin meningkat.
Â
Hari Peduli Autisme Sedunia
Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati tanggal 2 April setiap tahun. Pada 18 Desember 2007, hari tersebut pertama kali ditetapkan oleh Majelis Umum PBB.Â
Dengan lahirnya Hari Peduli Autisme sedunia, PBB berharap agar terjadi peningkatan kesadaran terhadap autisme di seluruh negara. Hal tersebut bertujuan untuk melakukan diagnosis pada dini hari untuk pemberian intervensi dini.Â
Selain itu, hari autisme sedunia juga berguna untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan dari masyarakat atas hak penyandang autisme dalam menentukan arah perkembangan diri, mandiri dan otonomi, serta mengakses pendidikan dan pekerjaan berdasarkan kesetaraan.Â
Hari Peduli Autisme mempunyai tema yang berbeda setiap tahunnya. Pada peringatan tahun 2016, tema yang dipersembahkan adalah "Autism and the 2030 Agenda: Inclusion and Neurodiversity."Â
Tema tersebut dipersembahkan untuk mengedepankan hak-hak individu dengan autisme dan memastikan orang-orang dengan autisme dapat ikut berpartisipasi penuh dan inklusi dalam berkontribusi untuk masa depan yang lebih baik. Sementara itu, tema yang dibawa pada peringatan tahun lalu adalah "The Transition of Adulthood" yang diharapkan membawa kesadaran remaja dan orang dewasa terhadap autisme.Â
Penanganan AutismeÂ
Apakah seorang penyandang autisme dapat disembuhkan? Sebagian ahli berkata tidak, sebagian lainnya berkata iya. Anak penyandang autisme tentunya memerlukan penanganan yang tepat untuk membantunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar supaya tidak menghambat perkembangan anak.Â
Penanganan yang tepat dapat dipahami melalui dokter atau tenaga medis khusus. Dengan begitu, orang tua atau keluarga terdekat mengetahui cara penanganan yang tepat pada kondisi tersebut. Â Penanganan medis pada usia yang lebih dini tentunya akan lebih baik karena anak autisme mampu tumbuh dan berkembang secara optimal seiring berjalannya waktu.Â
Penyandang autisme umumnya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan berperilaku tidak biasa. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dilakukannya berbagai jenis terapi sebagai berikut (Puji, 2016):
- Terapi okupasi, yaitu terapi pengajaran keterampilan berpakaian, makan, mandi, dan menjalin hubungan dengan orang lain.
- Terapi integrasi sensoris, yaitu terapi membantu pengolahan informasi dari pemandangan, suara, sentuhan, dan bau.
- Terapi wicara, yaitu terapi peningkatan keterampilan berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal (bahasa dan gerak tubuh).
Apabila menjalani terapi terlihat sulit bagi penyandang autisme, masih ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain:
- Buatlah rutinitas yang teratur di rumah
- Mengikuti pengobatan sesuai arahan dokter
- Buatlah kegiatan rumah yang bermanfaat
- Mengikuti komunitas autis
Selain itu, penyandang autisme dapat mengonsumsi obat-obatan yang mengendalikan gejala-gejala autisme pada anak, seperti obat antidepresan untuk mengurangi kecemasan, obat anti kejang, atau obat untuk membantu meningkatkan konsentrasi (Puji, 2016).Â
Sementara itu, dukungan dan perhatian orang tua, masyarakat, dan lingkungan terdekat penyandang autisme juga sangatlah penting karena pada umumnya dunia luar akan menganggap mereka sebagai sosok yang aneh sehingga dapat terjadi kekerasan atau diskriminasi terhadap penyandang tersebut.Â
Lalu, apa saja yang dapat masyarakat lakukan dalam mencegah terjadinya diskriminasi terhadap penyandang autisme?Â
Tentunya hal pertama yang kita lakukan adalah meningkatkan kesadaran akan autisme sehingga khalayak ramai memahami seluk beluk dari autisme itu sendiri.Â
Kedua, kita dapat mendukung para penyandang autisme dalam mendapatkan kesetaraan kehidupan, kesejahteraan, pendidikan, dan pekerjaan. Terakhir, kita dapat melaporkan kasus perundungan terhadap penyandang autisme ke pihak penegak hukum, seperti pihak kepolisian.Â
 REFERENSIÂ
HARI PEDULI AUTISME SEDUNIA: KENALI GEJALANYA, PAHAMI KEADAANNYA. (2018, April 2). Retrieved from KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA.
Puji, A. (2016, September 22). Autisme. Retrieved from Hello Sehat.
Ramadhani, Y. (2021, Maret 30). Hari Peduli Autisme Sedunia 2 April: Melawan Bullying Pengidap GSA.
Rosmala Dewi, I. R. (288-301). PENGALAMAN ORANGTUA DALAM MENGASUH ANAK AUTIS DI KOTA BANDA ACEH. Psikoislamedia Jurnal Psikologi Volume 3 Nomor 2, 2018.
Willy, D. T. (2018, Agustus 27). Autisme-Gejal Autisme. Retrieved from Alodokter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H