Mohon tunggu...
Metanoia Abelard Numinous
Metanoia Abelard Numinous Mohon Tunggu... Mahasiswa - Artikel Opini Metanum

Artikel Opini Metanum

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kontroversi Vaksin Booster: Paling Tepat untuk Siapa?

15 Oktober 2021   20:00 Diperbarui: 15 Oktober 2021   20:05 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hampir dua tahun Indonesia berada dalam kondisi pandemi COVID-19. Pemerintah pun sudah mulai membicarakan kembali mengenai "new normal" dalam bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan bidang lainnya. New normal tentunya dibarengi dengan mulai "normal" nya aktivitas masyarakat, seperti  work from office, dibukanya mall, dan aktivitas pembelajaran di sekolah secara tatap muka. Hal ini dilatarbelakangi oleh sudah tingginya angka vaksinasi di Indonesia yang diharapkan mampu membatasi penularan virus COVID-19 meskipun masyarakat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.

Berbicara tentang vaksin, banyak sekali berita yang berhubungan dengan vaksin di Indonesia, baik mengenai hoax tentang vaksin, bahaya vaksin merek a, b, atau c, dan - yang baru-baru ini ramai diperbincangkan - vaksin ke-3 yaitu vaksin booster yang, menurut banyak penelitian, dapat meningkatkan sistem imun tubuh. 

Namun, kebijakan pemerintah mengenai vaksin booster hingga saat ini hanya bisa dipergunakan oleh tenaga kesehatan. Hal ini sudah ditegaskan oleh Juru Bicara Vaksinasi COVID-19, dr. Siti Nadia Tarmidzi dalam laman Kementerian Kesehatan, yaitu suntikan ketiga atau booster hanya diperuntukan untuk tenaga kesehatan, termasuk tenaga pendukung kesehatan.

Sayangnya, dimulainya vaksinasi booster bagi tenaga kesehatan pada 23 Juli 2021 tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Kurangnya persebaran vaksin dan tingginya keinginan beberapa pihak untuk mendapatkan vaksin booster secara mendahului masih menjadi isu yang harus segera diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 

Buktinya, sudah ditemukan aksi penyerobotan jatah vaksin booster di kalangan masyarakat. Ironisnya, penyerobotan tersebut justru dilakukan oleh sejumlah pejabat non tenaga kesehatan sehingga menyalahi aturan peredaran vaksinasi booster yang sudah dirilis oleh Kemenkes RI (Ramadhan, 2021).

Sayangnya, tindakan mencuri start ini masih belum ditangani secara seharusnya oleh pemangku kebijakan. Padahal, curi start dalam vaksinasi booster tersebut sangat bertentangan dengan kaidah etis dalam tindakan pelayanan kesehatan, yaitu justice sebab tenaga kesehatan di Indonesia belum seluruhnya mendapatkan booster secara 100%.

Pro Kontra Alokasi Vaksin Booster

Di tengah polemik curi start vaksin booster oleh kalangan pejabat yang dianggap tidak etis, beberapa kaum awam hingga pemerintah justru memiliki pandangan bahwa vaksinasi booster seharusnya diberikan kepada masyarakat umum dengan sesegera mungkin. Meskipun, menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) menjelaskan bahwa tidak ada "kebutuhan mendesak" untuk pemberian dosis ketiga dari vaksin Pfizer dan Moderna (booster) kepada masyarakat umum yang sudah divaksinasi secara lengkap (ECDC, 2021). 

Selain itu, merujuk pada penelitian CDC dan WHO ditemukan rekomendasi bahwa pemberian dosis ketiga (booster) dari vaksin COVID-19 perlu diberikan kepada tenaga kesehatan dan populasi yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti pasien dengan penyakit autoimun, ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), pasien transplantasi organ, hingga diabetes mellitus. 

Pemberian booster kepada masyarakat yang mengalami gangguan kekebalan tubuh, memang mendapat banyak pertentangan, tetapi berdasarkan riset tersebut dosis vaksin pertama dan kedua yang diberikan kepada masyarakat immunocompromised tidak dapat memberikan kekebalan yang maksimal sehingga perlu diperkuat dengan pemberian dosis ketiga mengingat individu dengan immunocompromised lebih rentan untuk terinfeksi COVID-19. 

Sayangnya, populasi masyarakat dengan immunocompromised (gangguan kekebalan tubuh) tersebut cenderung terlupakan dalam program vaksinasi. Padahal, masyarakat immunocompromised lebih rentan terinfeksi COVID-19 dibandingkan masyarakat umum yang tidak mengalami gangguan kekebalan tubuh. 

CDC dan WHO mengimbau masyarakat dengan gangguan kekebalan tubuh tetap perlu untuk diberikan akses vaksinasi lengkap dan dosis ketiga yang disupervisi oleh dokter spesialis dan konsultan imunologi untuk memastikan apakah individu immunocompromised tersebut layak mendapatkan vaksin (ECDC, 2021). 

Dengan demikian, semua individu yang memenuhi syarat dengan regimen dosis yang dianjurkan oleh WHO dan CDC harus tetap menjadi prioritas dalam program vaksinasi booster, bukannya dengan melakukan generalisasi distribusi vaksin booster kepada masyarakat umum secara sembarangan tanpa pertimbangan ilmiah yang tepat.

Penolakan terhadap vaksin booster telah dikeluarkan oleh WHO sebab hal tersebut dipandang tidak etis untuk dilakukan ketika masih banyak negara yang masih memiliki akses terbatas terhadap vaksin COVID-19 (Vogel and Duong, 2021). Meskipun terjadi penolakan, Kemenkes RI  menyusun rencana untuk menyalurkan alokasi booster menuju masyarakat Indonesia secara general di tahun 2022 mendatang. 

Alokasi booster tersebut akan diberikan kepada 93,7 juta masyarakat Indonesia secara berbayar. Rencana booster berbayar tersebut menjadi kontroversi sebab para ahli epidemiologi memandang bahwa realisasi booster pantas diterapkan jika cakupan vaksinasi di Indonesia secara keseluruhan sudah melampaui ambang batas 60% sebab masih banyak masyarakat daerah di Indonesia belum terjangkau oleh akses vaksinasi (Saptoyo, 2021). 

Sedangkan, kondisi di Indonesia per 29 September 2021, cakupan vaksinasi dosis lengkap di Indonesia masih 24.21% dari total sasaran yang sudah ditentukan. Berkaca dari situasi tersebut, tentunya sudah seharusnya pemerintah lebih mempertimbangkan kembali rencana vaksin booster berbayar sebab kesenjangan akses distribusi vaksin dosis pertama dan kedua saja masih terjadi di Indonesia. 

Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan permasalahan kesenjangan distribusi vaksin antar daerah satu dengan daerah lainnya untuk memaksimalkan percepatan laju vaksinasi ke masyarakat Indonesia yang belum melakukan vaksinasi dibandingkan dengan menyusun skenario booster berbayar yang belum relevan juga dengan kondisi Indonesia terkini.

Selain itu, mekanisme pendistribusian booster secara berbayar juga sangat berisiko dalam menciptakan kemungkinan kesenjangan antara masyarakat ekonomi ke bawah dan ekonomi ke atas sebab akses vaksin booster berbayar dikhawatirkan tetap tidak terdistribusi merata ke seluruh lapisan masyarakat mengingat masyarakat dengan ekonomi ke atas jauh lebih memiliki privilege (lebih mampu) untuk membayar vaksinasi tersebut dibandingkan dengan masyarakat ekonomi ke bawah. 

Privilege masyarakat menengah ke atas ini perlu lebih dikontrol dengan mempertimbangkan kembali aturan teknis pelaksanaan vaksin booster berbayar agar masyarakat menengah ke bawah tidak terabaikan haknya dalam mendapatkan booster. Menanggapi kemungkinan kesenjangan tersebut, Kemenkes RI memang sudah merancang skenario untuk menanggung biaya vaksin booster yang akan diberikan kepada masyarakat penerima bantuan iuran. 

Tetapi rencana tersebut tetap saja memerlukan pertimbangan dan analisis yang lebih lanjut agar tujuan dalam menciptakan kekebalan populasi menjadi tidak gagal hanya karena ketimpangan akses vaksinasi antara masyarakat mampu dengan tidak mampu yang dapat saja terjadi melalui wacana booster berbayar yang tidak dikawal secara komprehensif.

Antara Booster dan Masyarakat

Melalui semua hal yang sudah direkomendasikan, diharapkan vaksin booster berbayar dan pengalokasiannya kepada masyarakat umum perlu dikaji kembali agar sesuai dengan bukti ilmiah dan kondisi Indonesia terkini. Kebijakan yang ada harus dapat mengakomodasi rakyat yang rentan bukan hanya rakyat yang dekat dengan pemangku kebijakan. Evaluasi serta monitoring perlu dilakukan dan didengar oleh pengada booster agar pengadaannya dapat dilakukan secara maksimal dan sesuai dengan tujuan pengadaannya. 

Kalau bukan masyarakat sendiri, siapa lagi yang memperjuangkan hak hidup sehat masyarakat Indonesia?

Artikel Ini ditulis oleh Jane Onyinye, Made Natasya Restu dan Octiana Syeira 

Referensi

Dewi, R. K. (2021) Pernyataan Menkes soal Vaksin Booster Berbayar Tahun Depan. (Accessed: 27 September 2021).

Kementerian Kesehatan (2021) Kemenkes Tegaskan Vaksinasi Booster Hanya Untuk Tenaga Kesehatan. (Accessed: 29 September 2021).

ECDC (2021) EU Medical Authority Denies 'Urgent Need' for Third Dose of COVID-19 Vaccine. (Accessed: 27 September 2021).

ECDC (2021) ECDC and EMA Highlight Considerations for Additional and Booster Doses of COVID-19 Vaccines. (Accessed: 27 September 2021).

Ramadhan, A. (2021) Pejabat Mengaku Sudah Dapat Vaksinasi 'Booster', Anggota DPR: Curi Start, Harus Ditindak. (Accessed: 27 September 2021).

Saptoyo, R. D. A. (2021) Pemerintah Berencana Adakan Vaksin Booster Berbayar, Ini Kata Epidemiolog. (Accessed: 27 September 2021).

Vogel, L. and Duong, D. (2021) What's The Evidence for COVID-19 Booster Shots? doi: https://doi.org/10.1503/cmaj.1095959.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun