Obesitas, Diabetes, dan Kelaparan
Setelah ramainya isu omnibus law, tiba-tiba Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, mengusulkan untuk memberikan cukai minuman berpemanis.
*kok udah bahas gula duluan? Kajian omnibus law-nya kapan?"
Sabar ya, lagi dikaji kok, lagian mau serius mengkaji tapi takut dighosting draftnya :(
Menurutnya, dikenakan cukai terhadap minuman berpemanis didasari oleh konsumsi gula yang berlebih dan menyebabkan penyakit seperti diabetes melitus, obesitas, dan sebagainya.
       *heh, mbok kiro seng obesitas dan diabetes piro sih? Seh akeh yo seng kelaparan!
Berbicara kelaparan, tidak lepas dari kemiskinan. Tentu saja orang yang mampu ketika lapar tinggal makan dengan mudahnya. Terhitung sejak Maret 2019, BPS (2019) menyatakan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia telah menurun di tingkat terendahnya sejak tahun 1998 dengan tingkat kemiskinan sebesar 9,41% atau tepatnya sebanyak 25,14 juta jiwa. Sebuah prestasi bahwa tren tingkat kemiskinan di Indonesia selalu turun sejak tahun 2006.
Dengan jumlah 25 juta orang dari sekitar 260 juta populasi di Indonesia terlihat masih besar, di tahun yang sama terdapat 22 juta orang menderita kelaparan kronis. Padahal, nyatanya satu dari lima orang dewasa di Indonesia terkena obesitas.Â
Artinya, sekitar 35,4% dari populasi Indonesia atau tepatnya sekitar 92 juta orang terkena penyakit obesitas. Hampir empat kali lipatnya dari jumlah orang kelaparan di Indonesia.
Tren penderita obesitas sejak 10 tahun terakhir selalu mengalami kenaikan. Diikuti pula dengan jumlah orang dewasa yang menderita penyakit diabetes sebanyak 10,2 juta orang dari total 166 juta populasi orang dewasa di Indonesia. Faktanya, lebih banyak orang yang obesitas dibanding kelaparan di Indonesia.
Cukai Minuman Berpemanis, Urgensikah?
Sebagai manusia pada umumnya, ketika bosan dengan air mineral dan hendak merasakan sensasi lain dengan meminum minuman ringan dan sebagainya. Terkadang minuman kopi atau minuman ringan di pasaran seperti minuman berkarbonasi, minuman isotonik, minuman teh dan lain-lain. Se-ngetren apapun itu es kopi juga mengandung gula.Â
Belum pula es teh manis, minuman sachetan, dan boba. Sekiranya minuman tersebutlah yang memicu timbulnya penyakit turunan seperti penyakit jantung, diabetes, dan obesitas. Penyakit tersebut merupakan penyakit progresif dan sulit ditangani.
Ardiansyah (2017) dari Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi minuman ringan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 selalu mengalami peningkatan drastis dari 10 ribu juta liter menjadi 30 ribu juta liter per tahunnya.Â
Adapun Susenas (2014) menyebutkan bahwa total konsumsi minuman ringan berpemanis yang meliputi dari air teh kemasan; minuman ringan mengandung CO2; sari buah kemasan; dan minuman kesehatan berenergi, sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 selalu meningkat dari 260 juta liter menjadi 760 juta liter.
Ardiansyah (2017) dari BPJS menyebutkan bahwa data tanggungan BPJS pada penyakit kencing manis dan gangguan metabolisme termasuk diabetes sejak tahun 2014 hingga tahun 2016 selalu terjadi kenaikan. Pada tahun 2014, tanggungan BPJS pada penyakit tersebut sebesar Rp430 miliar. Di tahun 2016, meningkat menjadi Rp568 miliar.
Konsumsi minuman berpemanis selalu meningkat seiring dengan peningkatan penderita obesitas dan diabetes. Walaupun konsumsi minuman berpemanis cukup berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.Â
Akan tetapi, pemerintah melihat bahwa terdapat eksternalitas negatif yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengintervensi konsumsi tersebut sesuai dengan pigouvian tax, yakni sebuah pemberian cukai ke dalam harga jual barang untuk melakukan perlindungan akibat eksternalitas negatif yang terjadi.
Bagaimana dengan Negara lain? Baik atau Buruk?
Melihat minuman berpemanis secara umum merupakan barang inelastis. Pengenaan tarif cukai sebesar Rp1.500 per liter pada teh kemasan dan minuman berpemanis lainnya sebesar Rp2.500 per liter diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat dalam mengurangi konsumsi minuman berpemanis.Â
Harapannya dapat mengurangi tanggungan BPJS agar dapat dialokasikan menutup defisit yang lain, serta berkurangnya penderita penyakit diabetes agar terciptanya masyarakat Indonesia yang lebih sehat.Â
Kita tidak ingin sekitar 23,1% kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit jantung, kanker, diabetes, dan pernapasan terus meningkat. Jauh dibanding negara tetangga kita seperti Singapura (10,5%); Thailand (16,2); dan Malaysia (19,6%).
Denmark sebagai negara pertama yang menerapkan sugar tax, diikuti pula oleh Meksiko, Perancis, Finlandia, Inggris dan lainnya, memiliki hasil yang beragam terhadap penetapan cukai minuman berpemanis.
Pada negara Denmark misalnya, sejak tahun 1930 diterapkannya sugar tax, di tahun 2013 dapat meraup sebesar €60 juta pendapatan negara dalam setahun. Akan tetapi, pemerintah Denmark juga mengestimasikan mereka kehilangan sebesar €38.9 juta pendapatan akibat penjualan minuman ringan yang ilegal.
Sejak tahun 2014, Meksiko telah menerapkan sugar tax dengan pengenaan sebesar 1 peso per-liter atau sekitar 9% dari harga produk. Latar belakang penerapan kebijakan fiskal tersebut juga dikarenakan penderita obesitas yang sangat tinggi. Dampaknya menurut Briggs (2016) bahwa penerapan kebijakan tersebut dapat menurunkan konsumsi minuman berpemanis sampai 12% per kapita per hari.
Pada Akhirnya, Perlukah Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis?
Melihat bahwa terdapat begitu banyak latar belakang mengapa perlunya intervensi pemerintah dalam mengontrol konsumsi gula. Tentunya kita semua ingin hidup lebih panjang dengan sejahtera dan penyakit yang biasa saja.
Mengkonsumsi gula seringkali memberikan utility yang lebih dibanding sebatas air mineral. Terkadang mengkonsumsi suatu hal yang kita suka dapat mengembalikan mood yang hilang agar dapat kembali produktif lagi.
Demikian penerapan tarif cukai terhadap minuman berpemanis diharapkan menjadi sebuah solusi. Mudahnya, jika sosialisasi diabetes dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh gula berhasil. Maka intervensi pemerintah terhadap minuman berpemanis tidak akan ada.Â
Mengkonsumsi minuman berpemanis tidak akan membuatmu terlihat lebih keren kalau ternyata berujung pada terkena penyakit. Atau makan di fast food sebenarnya tidak membuatmu terlihat kaya di saat kebanyakan orang miskin di Amerika Serikat hanya mampu makan fast food. Kalau memang ingin sok hedon seharusnya kalian makan makanan yang mahal dan sehat seperti sebagian besar orang kaya di Amerika Serikat.Â
Pada akhirnya, tidak ada yang tahu apa yang terjadi pasca kenaikan harga pada minuman berpemanis. Bagaimana dampak terhadap industri minuman ringan? Apakah akan terjadi PHK dan inflasi? Atau akan memunculkan perdagangan minuman ringan illegal?
Sekiranya semua kembali kepada tiap individu. Apakah ingin sehat atau tidak? Asalkan dapat menjaga konsumsi pada gula tidak masalah. Tidak lupa diiringi dengan pengendalian stress yang baik dan olahraga yang cukup.Â
Tentu kita semua ingin masyarakat yang sehat dan jauh dari kata miskin. Bicara kemiskinan tidak selalu tentang butuhnya uang, dengan masyarakat yang sehat kita dapat mengurangi kemiskinan.
Karena secara tidak langsung, seperti yang dikatakan peraih nobel ekonomi, Amartya Sen, "Poverty is not just a lack of money; it is not having the capability to realize one's full potential as a human being". Dengan kesehatan, kita dapat mewujudkan seluruh potensi dan kapabilitas sebagai seorang manusia.
Oleh Muhammad Faiz Zaidan AlharkanÂ
Daftar Pustaka
Ardiansyah, Benny Gunawan. "Analisis Fisibilitas Pengenaan Cukai Atas Minuman Berpemanis (Sugar-Sweetened Beverages)." Kajian Ekonomi dan Keuangan 1, no. 3 (December 31, 2017): 229--41. https://doi.org/10.31685/kek.v1i3.291.
Audriene, Dinda. "Ancaman Penurunan Daya Beli di Balik Cukai 'Teh Botol' Dkk." ekonomi. Accessed February 23, 2020.
"Badan Pusat Statistik." Accessed February 23, 2020.
Briggs, Adam. "Sugar Tax Could Sweeten a Market Failure." Nature 531, no. 7596 (March 2016): 551--551.
"Death Rate - Country Comparison." Accessed February 23, 2020. .
The Spectator. "Denmark Tried Osborne's Sugar Tax. Here's What Happened," March 26, 2016. .
"Indonesia Death Rate 1950-2020." Accessed February 23, 2020. .
"Indonesia, Kematian Akibat Penyakit Jantung, Kanker, Diabetes, dan Pernafasan Cukup Tinggi | Databoks." Accessed February 23, 2020. .
"Institute for Health Metrics and Evaluation, Global Burden Deases Country Report Indonesia.Pdf," n.d.
WorldAtlas. "Leading Causes Of Death In Indonesia." Accessed February 23, 2020. .
Media, Kompas Cyber. "Sri Mulyani Usulkan Minuman Berpemanis Kena Cukai, Ini Produknya Halaman all." KOMPAS.com. Accessed February 22, 2020. .
"Members." Accessed February 23, 2020. .
Our World in Data. "Number of Deaths by Cause." Accessed February 23, 2020. .
Our World in Data. "Annual Number of Births by World Region." Accessed February 22, 2020. h.
Our World in Data. "Annual Number of Deaths by World Region." Accessed February 22, 2020. .
Los Angeles Times. "Op-Ed: Why Do Poor Americans Eat so Unhealthfully? Because Junk Food Is the Only Indulgence They Can Afford," February 7, 2018. .
Post, The Jakarta. "22 Million Indonesians Endured Chronic Hunger in Jokowi's First Term: ADB Report." The Jakarta Post. Accessed February 23, 2020. .
---------. "One in Five Indonesian Adults Obese: National Survey."Â The Jakarta Post. Accessed February 23, 2020. .
Sen, Amartya. Development as Freedom. 1st. ed. New York: Knopf, 1999.
World Health Organization. Global Status Report on Road Safety 2018. Geneva: World Health Organization, 2018. .
"World Health Organization - Noncommunicable Diseases (NCD) Country Profiles, 2018." Accessed February 23, 2020. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H