Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meninjau Kembali Gerakan Nasional Revolusi Mental: Komparasi dengan Restorasi Meiji dan Analisis Kondisi Sosial di Indonesia

1 Mei 2019   17:37 Diperbarui: 1 Mei 2019   17:47 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Mental di Indonesia pada dasarnya bermula dari keinginan kuat Presiden Soekarno untuk melanjutkan perjuangan terhadap penjajahan, keterbelakangan, dan ketidaksetaraan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, tidak ditemukan kesamaan dengan Restorasi Meiji di Jepang. Tidak ada kesadaran kolektif yang kuat akan bahaya nyata penjajahan pikiran. Akibatnya, hingga Presiden Joko Widodo mengumandangkan kembali Revolusi Mental sebagai Gerakan Nasional Revolusi Mental, sistem dan pemikiran warisan kolonial semakin mendarah daging serta menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari nilai-nilai yang sudah melebur dalam diri.

GERAKAN NASIONAL REVOLUSI MENTAL DAN KONTRIBUSI TERHADAP KONDISI SOSIAL, EKONOMI, DAN POLITIK DI INDONESIA

Menilik kembali pada nilai-nilai yang diusung Gerakan Nasional Revolusi Mental, yaitu Integritas, Etos Kerja, dan Gotong Royong, jika diamati dari kondisi sosial masyarakat di Indonesia sekarang, pencapaian yang diraih dari ketiga nilai tersebut patut dipertanyakan. Mengingat besarnya jumlah anggaran yang telah digelontorkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pelaksanaan program ini, minimnya pencapaian seolah menjadi tantangan dari gerakan nasional ini.

Pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung berjalannya Gerakan Nasional Revolusi Mental. Pemerintah melalui kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter yang dilaksanakan di sekolah-sekolah telah melakukan sosialisasi kepada 188.646 sekolah atau 86,14% dari total 218.989 sekolah hingga tahun 2018. Jika ditinjau dari manfaat yang dihasilkan dari program ini, harus diketahui bahwa pendidikan karakter merupakan program yang hasilnya akan terealisasi dalam long-run. 

Akan tetapi, bila meninjau kembali kurikulum-kurikulum pendidikan yang diterapkan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa pendidikan Indonesia masih bertipe result-oriented hingga ditetapkannya Kurikulum 2013 yang lebih menekankan pada proses pembelajaran dan keaktifan siswa. Dalam jangka pendek, dapat dikatakan bahwa Kurikulum 2013 belum menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap karakter pelajar di Indonesia. Kondisi ini timbul dari maraknya kasus kecurangan dalam ujian, baik pada skala lokal maupun nasional sebagai salah satu indikator negatif karakter pelajar Indonesia. 

Gambar 1 : Infografis program PPK                Sumber : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Gambar 1 : Infografis program PPK                Sumber : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Output pendidikan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari hingga sekarang juga masih menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang diusung, baik oleh Gerakan Nasional Revolusi Mental maupun Penguatan Pendidikan Karakter. Sebagai contoh, integritas akademik di lembaga-lembaga pendidikan masih ternoda oleh adanya kebocoran soal dan kunci jawaban Ujian Nasional. Selain itu, terdapat pula kecenderungan dari sisi siswa untuk dapat memperoleh akses soal-soal bocoran maupun kunci jawaban. 

Dalam beberapa kasus, perbuatan ilegal secara kolektif di kalangan siswa adalah hasil dari bandwagon effect atau lebih dikenal sebagai "ikut-ikutan". Justifikasi atas suatu perbuatan akan membuat pelaku menjadi lebih toleran ketika melakukan perbuatan yang sama, dengan justifikasi yang sama. Seseorang akan melakukan tindakan yang tidak bermoral untuk mencari keuntungan dan pada waktu yang sama, masih dapat menjustifikasi tindakannya sebagai tindakan yang bermoral (Shalvi et al, 2015).

Minimnya peran pendidikan dalam membentuk suatu paradigma berpikir dan berperilaku sebagaimana yang telah dinyatakan melalui gagasan Revolusi Mental baik oleh Presiden Soekarno maupun Presiden Joko Widodo telah menjadi pusaran permasalahan negara dan bangsa. Bagaimana masyarakat Indonesia berpandangan politik, merespon suatu isu, berkeinginan untuk berdikari, berintegritas, bertanggung jawab, berlaku etis, dan bertindak asertif serta toleran terhadap lingkungannya masih sangat jauh dari tujuan yang ingin dicapai Revolusi Mental.

Dalam hal sosial politik, bila ditilik melalui kondisi terkini dari kontestasi untuk kursi kepresidenan lima tahun mendatang, cara berpandangan politik di Indonesia sedang berada dalam tingkatan "ketidakdewasaan berpolitik". Tujuan pesta demokrasi yang pada esensinya merupakan ajang pembuktian untuk mencari pemegang kemudi Indonesia terbaik selama 5 tahun kedepan telah terdegradasi menjadi arena politik golongan dan identitas. 

Presiden Soekarno pernah menyatakan bahwa kontestasi politik baik dalam Pemilu maupun Pemilukada merupakan wadah untuk menunjukkan totalitas kepada negara, bukan kepada kepentingan partai maupun golongan. Kemudian, potensi radikalisme agama di kalangan millenial maupun Generasi Z juga merupakan hal yang berpotensi merupakan hasil dari politik golongan. Menurut IDNTimes Indonesia Millenial Report 2019, sebanyak 1 dari 5 millenial atau sebanyak 19,5 % memiliki kemungkinan telah terpapar radikalisasi atas pandangan mereka yang lebih menyetujui sistem pemerintahan dan negara khilafah dibandingkan pemerintahan konstitusional NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun