Lebih lanjut, Kontras juga mengatakan bahwa persoalan HAM adalah persoalan universal, sebagaimana kita juga membahas dan memberi keberpihakan terhadap kasus Rohingya dan Palestina, seharusnya Indonesia dapat bersikap lebih transparan dan tidak melulu menggunakan prinsip non-intervensi sebagai tameng untuk menyangkal kenyataan (Halim, 2020).
Dasar dan Perjalanan Vanuatu dalam Menyuarakan Persoalan HAM di Papua Barat
Republik Vanuatu adalah negara kepulauan dengan luas 12 ribu kilometer persegi yang terletak di kawasan Samudera Pasifik bagian selatan. Negara dengan populasi penduduk 270 ribu jiwa dan beribukota di Port Vila tersebut memiliki bangsa dengan ras yang sama dengan masyarakat asli Papua Barat, yakni melanesia.Â
Bagi Vanuatu, orang-orang Papua mempunyai ikatan identitas yang dekat untuk mereka saling mendukung satu sama lain. Solidaritas rumpun Melanesia inilah yang melandasi kepedulian Vanuatu terhadap nasib masyarakat Papua.
 Hal ini juga dapat ditinjau secara historis dimana sejak negaranya merdeka, PM pertama Vanuatu menyampaikan tekad besarnya bahwa Vanuatu tidak merdeka sepenuhnya sampai seluruh bangsa Melanesia terbebas dari kolonialisme.Â
Tidak hanya Vanuatu, enam kepala pemerintahan di kawasan Pasifik, antara lain Kepulauan Solomon, Tonga, Republik Nauru, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu, sebelumnya juga pernah menyampaikan keberpihakannya terhadap ketidakadilan yang terjadi di Papua Barat. Namun yang hingga tahun ini konsisten menyampaikannya dalam sidang PBB adalah Vanuatu.Â
Vanuatu juga pernah mengajukan permintaan kepada ICJ (International Court of Justice) untuk memberi klarifikasi atas legalitas peristiwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) Papua tahun 1969.Â
Vanuatu meyakini, pihak Indonesia telah berlaku tidak adil dan memaksa Papua Barat untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Mereka meminta agar Pepera dilakukan ulang dan melibatkan pengawasan internasional sesuai dengan peraturan yang berlaku (Abdulsalam, 2019).
Tahun 2016 menjadi awal mula Vanuatu mengkritik Indonesia dalam Sidang Umum PBB. Vanuatu dan beberapa negara pasifik lainnya berpidato mengenai bagaimana Indonesia telah melanggar HAM masyarakat Papua Barat.Â
Posisi diplomat Indonesia yang saat itu ditempati Nara Masista Rakhmatia, merespon pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa pernyataan Vanuatu dan negara-negara pendukung lainnya adalah motif politik agar dapat mengalihkan perhatian dari isu di negara mereka masing-masing (Hidayat & Raditya, 2019).Â
Sidang-sidang PBB berikutnya hanya mengulangi lagi pola yang sama. Vanuatu terus menyatakan bahwa warga Papua Barat mempunyai hak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri dan mengingatkan perihal kapan kunjungan Komisi HAM PBB ke Indonesia, sementara Indonesia selalu menyangkal dan menyerang balik pernyataan Vanuatu.Â