Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Lagi Fasisme!

9 Mei 2020   16:05 Diperbarui: 10 Mei 2020   21:32 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Arise, you mighty motherland. Arise for Sacred War. To crush the evil fascist hordes. Unite and drive them back! And noble anger leads us to victory against the fascist scum. Arise, our mighty land. Arise for Sacred War!" [Terjemahan Bahasa Inggris dari bait pertama lagu "The Sacred War" (Rusia: Svyashchennaya Voyna) karya komponis Rusia, Aleksandr Aleksandrov]

Pandemi COVID-19 yang tengah melanda seluruh dunia mengubah banyak hal, salah satunya adalah ditundanya Parade Hari Kemenangan di Rusia yang biasanya diadakan tanggal 9 Mei setiap tahun oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin (BBC, 2020). 

Namun hal itu tidak menutup fakta bahwa 75 tahun yang lalu, dunia merayakan kemenangan demokrasi yang diwakili Blok Sekutu seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet (sekarang Rusia) dalam Perang Dunia II di wilayah Eropa atas kekuatan fasisme berupa Blok Poros yang dikomandoi oleh Nazi Jerman. 

Teror fasisme telah berakhir dengan menyerahnya Nazi Jerman pada tanggal 7 Mei 1945, dimana hal itu dirayakan melalui Hari Kemenangan di Eropa Barat (8 Mei) serta di Rusia dan negara bekas Uni Soviet (9 Mei). Menjadi pertanyaan bagi kita semua, mengapa ideologi fasisme bisa begitu menakutkan dan apakah fasisme telah hilang selama-lamanya?

Sebelum berbicara mengenai kengerian ideologi fasisme, terlebih dahulu kita perlu mengetahui tentang fasisme itu sendiri. Fasisme merupakan bentuk politik sayap kanan yang otoriter dimana ideologi tersebut pertama kali muncul dan berkuasa di Italia melalui Partai Fasis yang dipimpin Benito Mussolini sebelum menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, termasuk ke Jerman melalui Partai Nazi dengan pemimpin Adolf Hitler (Davies dan Lynch, 2020). 

Kaum fasis percaya bahwa demokrasi liberal sudah ketinggalan zaman sehingga perlu adanya pemerintahan di bawah negara satu partai secara totaliter yang diperlukan untuk mempersiapkan negara dalam menghadapi konflik bersenjata dan kesulitan ekonomi (Horne, 2002). Fasisme menolak klaim bahwa kekerasan pada dasarnya bersifat negatif dan memandang kekerasan politik, perang, dan imperialisme sebagai cara untuk mencapai kejayaan nasional (Payne, 1995).

Akar ideologi fasisme sendiri dapat dilacak hingga tahun 1880-an, dimana menurut sejarawan Zeev Sternheln, muncul kelompok fin de siecle (end of the century/akhir abad ini) di Prancis sebagai pemberontakan terhadap rasionalitas dan demokrasi (Sternhell, 1998). 

Kelompok ini dipengaruhi oleh ajaran Nietzche mengenai konsep keinginan mayoritas untuk berkuasa sebagai naluri alamiah setiap manusia (Payne, 1995). Ideologi ini semakin berkembang setelah Perang Dunia I (1914-1919), khususnya di Italia ketika Mussolini dan Partai Fasis-nya mengambil alih kekuasaan atas seluruh Italia melalui gerakan March on Rome pada bulan Oktober 1922. 

Adanya The Great Depression saat terjadi resesi ekonomi berkepanjangan yang melanda seluruh dunia pada tahun 1930-an juga berkontribusi pada menyebarnya ideologi fasisme ini, terutama yang terjadi di Jerman pada tahun 1932, di mana Adolf Hitler dengan Partai Nazi pimpinannya berhasil mengambil alih kekuasaan atas seluruh Jerman melalui pengangkatan Adolf Hitler sebagai Pemimpin Tertinggi (Fuhrer).

Sesuai sifat ideologinya yang otoriter, fasisme merupakan ideologi yang anti demokrasi dan mendukung munculnya diktator seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler (Griffin, 1991). 

Efek dari fasisme sendiri sungguh mengerikan. Ideologi fasisme menjadi dasar bagi diskriminasi ras dan pembantaian etnis tertentu atas dasar kebencian rasial, terutama dalam hal ini adalah pembantaian etnis Yahudi (Holocaust) yang terjadi di wilayah Jerman dan Italia. Ideologi fasisme juga yang pada akhirnya menyeret seluruh dunia dalam Perang Dunia II dengan skala kerusakan yang lebih besar dibandingkan Perang Dunia I.

Kengerian yang ditimbulkan oleh ideologi fasisme memaksa seluruh dunia bersatu dalam satu panji Blok Sekutu yang dimotori Amerika Seriat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet untuk mengakhiri perang dan mengenyahkan fasisme selama-lamanya. 

Namun, harga yang harus dibayar untuk mencapai hal itu sangat mahal. Diperkirakan sekitar 60 juta orang di seluruh dunia meninggal dunia akibat perang ini, dengan rincian 20 juta personil militer dan 40 juta warga sipil (White, 2011). Banyak kota-kota yang mengalami kehancuran, terutama yang terletak di wilayah pertempuran atau yang sering mendapat serangan bom pesawat terbang, seperti kota-kota di Italia, Prancis, Jerman, dan lainnya.

Salah satu negara yang mengalami kehancuran terparah akibat Perang Dunia II ini adalah Uni Soviet. Jumlah penduduknya yang meninggal dunia akibat perang tersebut mencapai sekitar 27 juta jiwa, dengan rincian 8.7 juta personil militer dan 19 juta warga sipil (Hosking, 2006). 

Angka tersebut menjadikan Uni Soviet sebagai negara dengan jumlah penduduk yang paling banyak meninggal dunia akibat Perang Dunia II dibandingkan negara mana pun di dunia. Banyak kota di wilayah Uni Soviet yang mengalami kehancuran akibat perang tersebut, termasuk kota-kota yang menjadi wilayah pertempuran antara Uni Soviet melawan Nazi Jerman seperti Moskow, Leningrad (sekarang St. Petersburg) dan Stalingrad (sekarang Volgograd).

Namun sekali lagi, semua itu adalah harga yang harus dibayar untuk mengakhiri perang tersebut dan mengenyahkan teror fasisme oleh Sekutu. Di front Barat, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis mencanangkan kampanye V for Victory  melalui pelipatgandaan produksi mesin perang dan pengerahan pasukan untuk mengalahkan Blok Poros yang menguasai Eropa Barat dan Afrika Utara. 

Sementara di front Timur, Uni Soviet dibantu perlengkapan perang dari negara-negara yang bertempur di front Barat berjuang mengusir Nazi Jerman dan sekutunya yang menyerbu negara tersebut atas dasar kampanye Lebensraum atau penyediaan ruang hidup bagi bangsa Jerman. 

Lagu The Sacred War yang digubah oleh komponis Rusia, Aleksandr Aleksandrov, dan sebagian baitnya tercantum pada awal tulisan ini merupakan lagu paling populer di Uni Soviet selama Perang Dunia II di front Timur, atau sering disebut juga sebagai "Perang Patriotik Raya" karena perang ini ditujukan untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, yaitu fasisme (Marples, 2014).

Semua usaha itu membuahkan hasil gemilang, dimana kejayaan Blok Poros dengan fasismenya ketika berhasil menguasai sebagian besar wilayah Eropa seakan terhenti melalui kekalahan pada pertempuran Stalingrad pada tahun 1943 (Bellamy, 2007). 

Rentetan kekalahan Blok Poros berikutnya melalui pertempuran Kursk (1943), pertempuran Normandia (1944), dan pertempuran lainnya yang berujung pertempuran Berlin (1945) memaksa Blok Poros bertekuk lutut. Hal itu ditandai melalui pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Italia pada tahun 1943 dan Nazi Jerman pada tahun 1945 kepada Sekutu.

Dengan pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Nazi Jerman kepada Sekutu pada tanggal 7 Mei 1945, maka secara resmi Perang Dunia II di wilayah Eropa berakhir (Ziemke, 1990). 

Sebagian besar penjahat perang dari Blok Poros diadili dan mendapat hukuman yang setimpal dengan kejahatan mereka melalui Pengadilan Nuremberg pada tahun 1946. Sekilas, Eropa telah terbebas dari teror fasisme yang telah membelenggu benua itu selama bertahun-tahun. Akan tetapi, apakah ideologi fasisme lantas mati selama-lamanya?

Ternyata tidak demikian. Partai dan kekuasaan boleh mati, tapi ideologi fasisme tak pernah mati. Saat ini, muncul kembali potensi kekuatan fasis dalam wujud partai sayap kanan yang anti imigran di Eropa, seperti Partai Alternatif untuk Jerman di wilayah Jerman, Gerakan Lima Bintang di Italia serta Front Nasional di Prancis (BBC, 2019). 

Kejadian politik dunia yang terjadi akhir-akhir ini, seperti Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) serta terpilihnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang anti imigran menambah ketakutan meningkatkan nasionalisme sempit dan meningkatkan peluang terjadinya Perang Dunia III dengan skala yang lebih besar.

Hal ini menjadi alarm bahaya bagi kita semua. Menjadi kewajiban generasi kita di masa sekarang untuk menjaga perdamaian dunia dan mencegah perang akibat nasionalisme sempit dan fasisme muncul. 

Dengan mengembangkan sikap toleransi dan bela rasa terhadap sesama, kita turut menutup celah bagi fasisme untuk berkembang. Cukuplah tulisan pada batu peringatan di luar bangunan di Braunau Am Inn, Austria, tempat dimana Adolf Hitler lahir, menjadi pengingat bagi kita semua akan kengerian Perang Dunia II dan bahaya fasisme:

"Fur frieden, freiheit, und demokratie. Nier wieden faschismus. Millionen tote mahnen" [Untuk perdamaian, kebebasan dan demokrasi. Jangan lagi fasisme. Jutaan korban mengingatkan (kita)]

Oleh: Gerhard Mangara | Ilmu Hukum 2019 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2020

Referensi

BBC. (2020, April 16). Coronavirus: Putin postpones Russia's WWII Victory Parade. Diakses dari bbc.com

BBC. (2019, November 13). Europe and right-wing nationalism: A country-by-country guide. Diakses dari bbc.com

Bellamy, Chris (2007). Absolute War: Soviet Russia in the Second World War. New York: Alfred A. Knopf & Random House.

Davies, Peter; Derek Lynch. (2002). The Routledge Companion to Fascism and the Far Right. England: Routledge.

Griffin, Roger. (1991). The Nature of Fascism. New York: St. Martin's Press.

Horne, John. (2002). State, Society and Mobilization in Europe During the First World War. Cambridge: Cambridge University Press.

Hosking, Geoffrey A. (2006). Rulers and Victims: The Russians in the Soviet Union. Cambridge: Harvard University Press.

Marples, David R. (2014). Russia in the Twentieth Century: The quest for stability. England: Routledge.

Payne, Stanley G. (1995). A History of Fascism, 1914--1945. Wisconsin: University of Wisconsin Press.

Sternhell, Zeev. (1998). Crisis of Fin-de-sicle Thought. International Fascism: Theories, Causes and the New Consensus. Oxford: Oxford University Press.

White, Matthew (2011). Source List and Detailed Death Toll for the Twentieth Century Hemoclysm. Diakses pada necrometrics.com

Ziemke, Earl F. (1990), "Chapter XV: The Victory Sealed: Surrender at Reims", The U.S. Army in the occupation of Germany 1944--1946, Center of Military History, United States Army, Washington, D. C., Library of Congress Catalog Card Number 75-619027

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun