Korupsi merupakan penyelewengan dari adanya kekuasaan. Di samping itu, kita tidak dapat memungkiri bahwa keinginan untuk menguasai adalah hukum alam dan menjadi hakekat dasar manusia.
"The so-called theory of the will to power is one of the most contested aspects of Nietzche's writings, and rightly so. The theory presses the idea of a naturalistic moral psychology to startling extremes."
Namun, dalam bidang humanisme, kekuasaan dan transparansi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Transparansi juga merupakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Tidak adanya transparansi dalam kekuasaan akan mengakibatkan kepemimpinan yang tidak ideal.
Max Weber, berpendapat bahwa salah satu ciri negara modern adalah asas memisahkan kekuasaan jabatan dari kepentingan pribadi pejabat. Selanjutnya, asas tersebut disebut sebagai "Asa Pemisahan". Asas ini menyebutkan bahwa kepentingan pribadi tidak dibenarkan untuk mendapat manfaat dan keuntungan personal dari kekuasaannya. Pejabat publik tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan perseorangan. Pemisahan atas kekuasaan dan kepentingan pribadi tentunya mengisyaratkan adanya transparansi dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintah.
Demokrasi partisipatif merupakan salah satu prasyarat yang diperlukan dalam usaha peningkatan kualitas transparansi dalam proses penyelanggaraan negara. Banyaknya pihak yang terlibat, dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan transparansi di Indonesia. Artinya, semakin banyak pihak yang mendapat informasi yang faktual terkait jalannya pemerintahan, semakin meningkat kualitas transparansi dalam roda pemerintahan Indonesia.
Rekomendasi
Melihat aspek sejarah dan kemanusiaan, kita dapat mengetahui akar permasalahan korupsi di Indonesia-tidak adanya transparansi pada pihak elitis kepada msyarakat. Jika masih terdapat anggapan bahwa masyarakat harus tunduk kepada raja, hal tersebut tetap dapat dilaksanakan sebagai bentuk eksistensi tradisi. Namun, bentuk kerajaan tersebut memerlukan transparansi kepada publik. Transparansi adalah langkah yang dipandang solutif sebagai bentuk pencegahan korupsi di Indonesia. Dengan adanya transparansi, maka rakyat dapat mengawasi secara langsung tindakan elit politik di pemerintahan-dalam kasus ini pelibatan PPATK dalam fit and proper test calon KAPOLRI. Pentingnya transparansi dalam konteks ini dapat merujuk pada pembelajaran pengalaman Pemilu 2014 yang lalu, yaitu ketika warga diberikan akses terhadap data C1. Akses tersebut dapat dikatakan membuka ruang bagi warga untuk terlibat secara aktif dalam proses pengawalan rekapitulasi suara (merujuk pada contoh kasus inisiatif KawalPemilu.org). Dalam kata lain, akses terhadap data dan informasi pada dasarnya membuka ruang bagi warga untuk melakukan pembelajaran berpartisipasi secara substantif, suatu ruang bagi warga untuk mendidik dirinya. Dengan demikian, pelibatan-dalam hal ini-PPATK menjadi kebutuhan yang mendesak untuk mendorong partisipasi warga secara luas dalam demokrasi di Indonesia. Keterlibatan PPATK menjadi salah satu langkah maju untuk membuka ruang eksperimen keterlibatan rakyat yang partisipatif, khususnya dalam hal ini, untuk mendapat akses data dan informasi dalam proses pemilihan Kapolri-Wakapolri.
Dalam kasus pemilihan Kepala POLRI, pelibatan PPATK dalam fit and proper test adalah rekomendasi yang BEM FIB UI 2015 ajukan. Terlebih lagi dalam Undang-undang nomor 28 tahun 1999, menyebutkan bahwa keterbukaan adalah hal krusial yang harus ada dalam sebuah negara. Berdasarkan asas keterbukaan, masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Dengan adanya transparansi, akan timbul kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Selanjutnya, transparansi diharapkan dapat menjadi pilar berdirinya pemerintahan ideal di Indonesia yang demokratis.
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM FIB UI 2015
FIB Harmonis