Dewasa ini istilah freelance atau pekerja lepas telah ramai beredar di masyarakat. Model pekerjaan baru yang menawarkan fleksibilitas dan efisiensi serta efektivitas waktu pekerjanya membuat model ini banyak diminati oleh masyarakat. Tentu saja, layaknya dua sisi pada koin yang sama, gig economy memiliki suka dan dukanya tersendiri.
Hal itulah yang dirasakan oleh ilustrator freelance, Tuhfahtu Hasanah. Gadis yang kerap disapa Uhfa itu merupakan mahasiswa semester 3 Program Studi Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta. Di samping berkuliah, Uhfa juga aktif dalam bagian Media Komunikasi Klub Bahasa Jerman di kampusnya.Â
Selain pegiat freelance kreatif, pengemudi ojek online juga mengalami suka dan duka dari gig economy. Nurachman, yang sudah menggeluti pekerjaannya sebagai pengemudi ojek online selama 3 tahun, juga memiliki berbagai kisah tersimpan dalam setiap perjalanannya.
Bulan Oktober (2023) lalu, Tim Kajian Departemen Kastrat BEM FEB UNAIR berkesempatan langsung untuk bertukar cerita bersama kedua pelaku gig economy itu dan mencari tahu tentang bagaimana gig economy berjalan di lapangan.
Menginjakkan Kaki dalam Dunia Pekerjaan Lepas
Media sosial menjadi pemantik bagi Uhfa untuk merintis karirnya di dunia freelance. Dari X (dulunya Twitter) ia dikenalkan pada sistem tagar khusus yang mengekspos para penggunanya kepada dunia bisnis yang nyaris tidak terbatas. Dalam tagar itu, para pengguna menjajakan jasanya melalui akun-akun bisnis, mulai dari jasa yang rumit, seperti desain dan ilustrasi, hingga yang paling sederhana, seperti jasa penjualan pulsa dan aplikasi premium.
Uhfa, yang notabenenya telah menggeluti skill desain sejak SMP, memutuskan untuk mencoba terjun dalam sistem bisnis itu. Rezeki memang tidak kemana, jasa yang ia tawarkan mendapat perhatian pengguna X dan sejak saat itu ia tekun mengembangkan skill dan jasanya.
"Sebenarnya awalnya aku hanya iseng, tetapi akhirnya berkembang juga sampai sejauh sekarang," ujar Uhfa.
Berbeda dengan Uhfa, sebelum menjadi pengemudi ojek online, Nurachman sempat bekerja di Holland Bakery sebagai petugas administrasi yang kesehariannya meng-input berbagai informasi. Akan tetapi, dikarenakan adanya satu dan lain hal, Nurachman terpaksa keluar dari pekerjaannya itu dan beralih menjadi pengemudi ojek online.
"Mau enggak mau saya harus cari sumber penghasilan lagi," tukas Nurachman.
Sistem Upah yang Sering Jadi Perdebatan
Platform ojek online, seperti Grab dan Gojek, sudah kondang dengan sistem bagi hasil untuk para pekerjanya. Nurachman menceritakan bahwa menurut sistem Gojek, ia akan dikenakan potongan dalam setiap pesanan yang ia lakukan. Kepada kami Nurachman menunjukkan untuk perjalanan berongkos Rp26.000,00 ia hanya mendapatkan bagi hasil sebesar Rp19.500,00.
Nurachman juga sebutkan bahwa Gojek akan langsung memotong saldo Gopay-nya sesuai nominal yang seharusnya didapatkan. Andai kata pelanggannya membayar secara tunai, Gojek akan secara otomatis memotong saldo Gopay yang ia miliki saat ini. Akan menjadi masalah ketika Nurachman tidak memiliki saldo Gopay pada saat itu.
"Makanya, kadang saya harus selektif pilih-pilih pesanan karena kalau (pelanggan) bayar tunai, saya tidak ada saldo untuk dipotong oleh Gojek," jelas Nurachman.
Berbeda dengan sistem bagi hasil Gojek, Uhfa menentukan upah yang akan ia dapat melalui kesepakatan dengan kliennya. Upah yang akan ia terima bergantung pada tingkat kesulitan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Seandainya dihadapkan pada revisi-revisi yang menambah beban kerja, hal itu sudah harus disepakati secara jelas baik oleh pihak klien maupun Uhfa sendiri.
"Kadang klien juga kasih tip buatku kalau mereka puas dengan hasil kerjaku," tambahnya.
Lika-Liku yang Mengharu-biru
Tidak adanya batasan dan perlindungan khusus dari pemberi kerja membuat pekerja gig seringkali menghadapi pelanggan atau klien yang berlaku semena-mena. Dalam 3 tahun pengalamannya, Uhfa sudah sering menemui klien yang membuatnya geleng-geleng kepala. Mulai dari yang sering menambahkan revisi, hingga yang manipulatif bahkan eksploitatif.
"Dalam freelance juga banyak sekali penipu. Beberapa bulan lalu aku sempat tertipu 5,1 juta rupiah." katanya.
Hal yang serupa dialami pula oleh Nurachman dalam kesehariannya menjadi pengemudi ojek online. Menurut pengalamannya, ia pernah menerima pesanan Gofood untuk diantar ke daerah Gubeng, Surabaya. Ketika Nurachman meminta uang parkir, pelanggan Gofood itu marah dan tidak mau memberikan uang parkir. Nurachman tidak membesarkan hal itu, tetapi ternyata ia dilaporkan kepada pihak Gojek oleh si pelanggan.
"Akhirnya saya kena suspend. Tidak bisa narik 4 hari," tukas Nurachman.
Terlepas Segala Lika-Likunya, Tetap Ingin Melanjutkan Pekerjaan yang Ditekuni
Ketika ditanya perihal apakah ingin mencari pekerjaan lain, Nurachman sontak menjawab akan menjadi pengemudi Gojek saja. Mengingat mencari pekerjaan baru di waktu sekarang ini juga bukanlah suatu tugas yang mudah.
Nurachman juga merasa menjadi pengemudi Gojek tidaklah seburuk yang dipandang oleh orang awam. Kepada kami ia menceritakan bahwa ia pernah memperoleh pendapatan lebih dari upah minimum regional (UMR).
"Saya jadi Gojek tidak ada tekanan, jadi, ya, saya bahagia-bahagia saja meskipun hanya bekerja menjadi pengemudi Gojek." kisahnya.
Tak jauh berbeda dari Nurachman, Uhfa juga sampaikan niatnya untuk tetap menggeluti dunia freelance terlepas dari segala duka yang mengiringinya. Uhfa sampaikan bahwa ia tetap geluti pekerjaannya berdasarkan passion. Ia mempercayai bahwa berbagai pengalamannya akan berguna untuk mempercantik portofolionya nanti.
"Aku yakin kalau aku tekuni ini bertahun-tahun, suatu saat pasti berguna buatku." tambah Uhfa.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H