Alhamdulillah, acara pun berlangsung sukses. Bapak dan Emak lebih banyak duduk dari pada bekerja. Sebab semua pekerjaan sudah diambil alih oleh tetangga dan sanak family. Tuan rumah memang di larang bekerja lebih.
Saat malam hiburan berlangsung, semua masyarakat juga saling menjaga keamanan dan ketertiban. Tua, muda dan anak-anak berbaur menikmati malam hiburan berupa orgen tunggal.
Hebatnya, walaupun malamnya sudah pulang larut malam menyaksikan hiburan, pagi-pagi sebagian dari mereka sudah kembali lagi berkumpul untuk membersihkan sisa-sisa dari acara tersebut.
Barang-barang pinjaman, seperti papan untuk panggung, dikembalikan kepada pemiliknya beramai-ramai. Siap dari situ, dilanjutkan makan siang bersama. Suasana kekeluargaan dan silaturahmi begitu kental terasa.
Dalam hati berguman: ternyata budaya gotong-royong seperti ini masih terjaga dengan baik di sebuah desa bernama Teluk Pulau Hilir ini. Mungkin beberapa desa tetangga lainnya di wilayah Rokan Hilir, juga masih memegang teguh budaya serupa, mungkin juga beberapa daerah lainnya di Riau.
Selama saya tinggal di Pekanbaru, pemandangan seperti ini memang terasa langka. Kalau ada acara resepsi pernikahan atau acara-acara lainnya, semua kebutuhan selalu sudah siap saji.
Kalau kebutuhan makan, tinggal hubungi catering dan hasilnya tinggal beres. Untuk persiapan acara, tinggal hubungi event organizer dan seterusnya. Apalagi kalau helatannya berlangsung di hotel, semuanya sudah beres. Yang punya gawe cukup siapkan piti-pitinya saja, hehehe.
Memang lebih praktis dan efisian, tapi nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan terkikis habis.
Makin ke sini, sikap individualisme masyarakat kita memang makin terasa sekali. Tapi paling terasa itu di lingkungan elit masyarakat perkotaan. Untuk masyarakat di kampung-kampung, budaya gotong royong secara umum masih terjaga dengan baik, contohnya di Kepenghuluan Teluk Pulau Hilir tadi, yang layak untuk ditauladani.
Dulu waktu masih kecil-kecil, melihat orang bekerja ramai-ramai (gotong-royong) sudah lazim. Kalau ada warga bangun rumah, selalu dikerjakan dengan gotong-royong. Dalam sehari rumah panggung yang terbuat dari kayu sudah berdiri.
Begitu juga kalau musim berladang tiba. Warga bergantian bergotong-royong membuka persawahan untuk ditanami padi. Apalagi kalau membuka akses-akses umum, seperti jalan, rumah ibadah atau sekolah, pasti dikerjakan dengan beramai-ramai dengan masyarakat sekitar.