"Tapi anehnya, tatib yang sudah disahkan lewat paripurna, kok bisa hilang tanpa penjelasan yang jelas. Itu yang saya pertanyakan pada malam itu. Tapi bagaimana lagi, kawan-kawan tetap sepakat melanjutkan sidang," ujarnya.
Abu Khoiri juga mengaku paham dengan pengaturan UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut.
"Kata kawan-kawan, nanti dikonsultasikan lagi ke mendagri. Mestinya tak perlu lagi (konsultasi) karena semuanya sudah jelas. Tapi mau bagaimana lagi, kawan-kawan tetap sepakat lanjut," tambahnya.
Kemudian saya coba singgung soal gugatan Legal Standing atas langkah dewan tersebut, Abu Khoiri memang tidak terlalu banyak berkomentar, tapi menurutnya bisa saja dilakukan dan posisi dewan tak dinapikkan cukup lemah.
Saya pun coba-coba berdiskusi dengan praktisi hukum, Yadi Utokoy SH. Menurutnya, legal standing itu adalah gugatan publik yang bisa dilakukan oleh organisasi.
Terkait kasus dugaan pelanggaran UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melibatkan DPRD Rokan Hilir itu, menurutnya bisa dilegalstandingkan, baik di PTUN atau di Pengadilan Negeri (PN). Sebab wakil bupati itu bekerja untuk kepentingan masyarakat (publik).
Gugatannya adalah supaya proses tersebut dibatalkan dan diproses lagi dari awal sesuai ketentuan hukum berlaku. Artinya jangan ada lagi calon yang tidak memenuhi syarat hukum.
"Kalau wakil bupatinya cacat hukum, maka semua keputusannya kelak, punya dampak hukum. Ini jelas masyarakat yang dirugikan. Untuk menghindari itu, perlu ada langkah-langkah hukum dari publik," sarannya.
Yadi juga menyebutkan, objek gugatannya adalah DPRD Rokan Hilir. Sebab secara institusi mereka yang bertanggungjawab. "Silahkan kalau ada publik yang menggugat, karena sangat bisa dilakukan," katanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H