Pulau Hatta, kawasan yang dulu menjadi bagian dari ibu kota Provinsi (Goverment van Banda) Banda Naira itu, hanyalah pulau kecil dan terpencil yang hampir tak telihat dari peta Indonesia.Â
Pulau ini berada posisi timur Kepualan Banda sekitar 25 kg, dengan jarak tempuh kurang lebih 15-30 menit dari pusat kota Banda Naira, bila mengunkakan pok-pok (motor laut bermesin jonson).
Sebagai titik pusat produsen pala dan fuli (bunga pala), di masa lampau, Banda termasuk Pulau Hatta menjadi daerah incaran para pedagang, baik pedagang lokal maupun mancanegara.Â
Potensi sumber daya alam yang melimpah ruah yang di miliki kawasan ini merupakan nikmat dan anugrah Tuhan yang harus disyukuri. Pelaut Portugis Tom Pires (1512-1515) dalam pelayarannya di Kepulauan Banda ketika itu mencatat, bahwa Tuhan menciptakan Banda untuk pala dan tanaman endemik itu tidak ditemukan di tempat lain.
Banda pada abad ke-17 di masa kuasa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berstatus daerah provinsi dan menjadi pusat pemerintahan admistrasi VOC yang dipimpin seorang gubernur Jenderal. Kemudian pada abad ke-19 satatus wilayah itu diturungkan menjadi daerah setingkat kabupaten oleh pemerintah Hindia Belanda lalu dikecilkan lagi menjadi wilayah kecamatan pada abad ke-20.
Ironisnya, sejak Indonesia Merdeka sampai saat ini status wilayah itu belum juga berubah, masih tetap daerah Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tenggah, Provinsi Maluku.Â
Meski belakangan perubahan status dari daerah kecamatan menjadi kebupaten/kota, kembali disuarakan anak daerah ini, tetapi belum kunjung direspon oleh pemangku kepentingan. Eantah apa kurang syaratnya?
Itulah sekelumit persoalan yang membuat Pulau Hatta sebagai bagian dari kecamatan Banda Naira itu, hingga kini masih berstatus daerah terpencil. Saking terpencilnya, hanya untuk megupdate satatus dilaman fecebook pun, sulit dilakukan oleh karena sinyal terkomsel di kawasan itu teryata timbul- tengelam. Â
Padahal boleh dikata pulau kecil ini merupakan kawasan parawisata yang memiliki pantai dan pasir putih yang sangat indah. Laut pesisir yang menjadi tempat Spot Diving terbaik di Indonesia, dan diakui  oleh para Turis dari berbagai negara di dunia, khususnya mereka yang pernah merasakan sensasi alam bawah laut di kawasan pesisir itu.Â
Namun sayang, kurangnya publikasi dan promosi sehingga belum tercatat dalam lembaran resmi negara, bahwa Laut Banda selain sebagai Kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN) juga menjadi tepat "Spot Diving" terbaik yang di miliki Indonesia saat ini.
Sebagai kawasan yang paling diminati oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara, Pulau Hatta diperlukan banyak publikasi dan promosi oleh setiap orang yang berkunjung, meski dengan cara mereka masing-masing.Â
Apalagi dalam era digital saat ini, fecebook dan sosial media lainnya, menjadi media paleng efektif untuk promosi parawaisata. Olehnya itu, diperlukan kemudahan akses transportasi, telkomoniskasi dan jaringan internet. Namun, semua itu terjadi bila ada perhatian penuh dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan strategis di negari ini.
Kembali ke Pulau Hatta, mengunjungi pulau ini mengingatkan kita pada nama wakil Presiden Republik Indonesia pertama Mohammad Hatta. Ya Bung Hatta, saapaan akrab sang proklamator itu. Namanya telah diabadikan untuk menyebut gugusan pulau terluar dari Kepulauan Banda Naira, Maluku Tenggah.
Pengabadian nama pulau terdepan dari Kepulauan Maluku Tenggara itu, adalah wujud kecintaan orang Banda terhadap orang buangan Belanda tersebut.Â
Mereka yang punya hak ulayat atas tanah dan air relah membuang nama Rozengain, nama yang sebelumnya disandikan untuk menyebut pulau ini. Kemudian mempopulerkan dengan nama pahlawan kemerdekaan itu merupakan pembuktian nasionalisme mereka, maka dari itu jangan pernah meragukan nasionalisme orang Banda?
Karena tampa Banda tak ada penjajahan, tak ada kemerdekaan dan boleh jadi tak akan ada Indonesia. Pasalnya dari pulau kecil inilah, kaum penjajah Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda rela mengitari dunia, melakukan penjelajahan hanya untuk menguasai pala dan fuli.Â
Rempah yang turut memberikan sumbangsi terbesar untuk pembangunan kota para kaum penjajah di masa lalu. Pala dan Fuli adalah rempah, yang tak ada di belahan dunia lainnya waktu itu. Dari penjelajahan itulah, sehingga lahirlah penjajahan.
Beberapa abad kemudian Bung Hatta bersama tokoh nasionalis lainnya dari tanah Banda menemikirkan "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan," gagasan besar itulah memicu semangat juang merebut kemerdekan Indonesia.
Bung Hatta, Bung Sjahril, Cipto Mangkusumo, Iwa Kusumantri adalah pejuang Kemerdekaan Indonesia yang pernah menjadi bagian dari orang Banda.Â
Pahit dan maisnya buah pala telah mereka rasakan saat diasingkan di pulau kecil terpencil, jauh dari cahaya indah kota Jakarta. Itulah cara Belanda membunuh gagasan sang pejuang itu, sehingga tidak bisa lagi berjuang untuk nasib kemerdekaan bangsanya.Â
Tetapi siapa sangka, dari tanah Banda semangat juang untuk Indonesia merdeka justru berkobar dalam jiwa dan raga kaum nasionalis itu. Pencerahan melalui pendidikan kepada anak-anak Banda ditularkan oleh para pejuang itu, untuk menyadarkan kepada mereka bahwa tanah, air dan pohon pala Banda sedang dijajah.Â
Menyadarkan kepada mereka bahwa penjajalah yang membunuh leluhur mereka saat mempertahankan tanah, air dan pohon pala, yang direbut Kompeni Belanda.
Penduduk di Pulau Hatta, sangat ramah menyabut setiap tamu yang datang berkunjung di pulau kecil ini. Senyum akrab memancar dari raut wajah penduduk. Itulah cara mereka memanjakan tamu, penghargaan kepada tamu lebih tinggi daripada sesama mereka yang bermukim di kampung itu.
Sebelum Covid-19 melanda negeri ini, pendapatan penduduk sebagian berasal dari kunjungan para tamu. Pulau ini tersedia banyak homestay dengan harga seragam, yakni Rp 250 ribu per malam.Â
Layaknya Bali, Para Bule yang datang berwisata sering menamakan pakayan seksi sembari meninikmati hamparan pasir putih dan karang laut yang indah. Namun oleh penduduk setempat penampakan seperti itu, bukanlah hal baru dan sudah dianggap biasa-biasa saja.
Pengalaman hidup secara internasional maupun regional sejak lampau hingga kini menjadikan masyarakat terbiasa dengan kehidupan kosmpolitan, majemuk dan pluralistik.Â
Bagi mereka, hidup dan menggantungkan hidupnya dengan orang asing adalah modal utama dan menjadi tambahan modal berusaha. Sebab, semakin terbuka, semain banyak relasi, semakin banyak konseksi dan semakin banyak pula pendapatan.
Hamparan pohon pala yang tumbuh membiru di samping kiri dan kanan sepanjang jalan stapak dari Kampung Baru menunju Kampung Lama, Negeri Pulau Hatta itu, membuat Saya yang baru pertama berkunjung di pulau ini terkagum-kagum, dan ingin sekali mengabadikan momen itu, tapi sayang Saya dan tim safari Ramadhan STP- STKIP Hatta Sjahir Banda Naira melewatinya di malam hari.** (KR).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H