Pendidikan tinggi saat ini makin dianggap penting. Hal yang menjadikan pendidikan tinggi dianggap penting adalah karena makin berpengaruhnya teori human capital sebagai dasar pengembangan negara. Sebelum pengenalan teori human capital sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, maka pendidikan tinggi adalah konsumsi kaum elit.
Teori human capital sangat berpengaruh dan banyak mendapat perhatian mulai dikembangkan setelah perang dunia kedua. T. W. Schutz, salah satu pioner di bidang teori human capital memberikan bukti yang sangat baik tentang Jerman dan Jepang. Kedua negara yang hancur karena kekalahan telak di perang dunia kedua mampu bnagkit dengan sangat cepat, sementara Inggris yang merupakan pemenang malah tertinggal dari negara tersebut.Â
Dari hasil penelitiannya, dia memberikan kesimpulan bahwa tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dan sehat adalah jawabannya. Tenaga kerja yang terdidik memiliki tingkat produktivitas yang baik. Jepang dan Jerman memiliki modal besar dalam bidang tenaga kerja manusia yang terdidik sangat tinggi. Kehancuran dalam perang berupa infrastruktur sangat mudah dan cepat untuk dibuat kembali.Â
Namun, modal berupa manusia dengan pendidikan yang baik sehingga memiliki produktivitas tinggi sangat sulit untuk dipupuk, dan kedua negara tersebut walaupun kalah dalam perang sehingga kehilangan banyak faktor produksi fisik tetapi sumber daya manusianya yang baik dengan cepat bisa memberikan modal bagi pembangunan.
Esther Duflo adalah salah satu ekonomis yang memiliki reputasi baik di bidang pemberantasan kemiskinan. Tesisnya yang sangat berpengaruh adalah penelitian tentang SD Inpres. Dia memberikan bukti empiris bahwa pembangunan SD Inpres pada akhir 70an memberikan kontribusi kenaikan pendapatan kepada masyarakat. Hasil yang diakui sebagai karya monumental dalam pemberian bukti bahwa pendidikan dapat mengentaskan kemiskinan di negara berkembang.
Teori human capital menjadi makin berpengaruh belakangan ini sebagai faktor utama pertumbuhan ekonomi dengan makin majunya industri digital. Kemampuan negara untuk mampu bersaing dipasar global adalah kemampuan di bidang infomasi bukan faktor produksi yang lazim disebut knowledge economy. Di sini, human capital sekali lagi lebih penting, dan itu bukan jumlah tapi kualitasnya yang menjadi makin penting. Kualitas yang ditentukan dengan pendidikan.
Hal yang menjadi penting adalah pendidikan bukan sekedar jumlah orang yang ikut sekolah, tetapi kualitas pendidikan itu sendiri. Ketika pendidikan hanya sekedar ikut sekolah tanpa memberikan kemampuany yang dibutuhkan yaitu kemampuan berpikir kritis dan kreatifitas maka sekolah menjadi sekedar tempat mencari selembar kertas ijazah yang tidak berguna selain untuk dibingkai dan dijadikan modal untuk cari kerja.
Kualitas pendidikan yang bisa dibilang merupakan kelemahan negara kita. Jumlah tenaga kerja dengan kualitas baik sekaligus memiliki kualifikasibpendidikan tinggi sangat rendah. Suatu ironi yang besar adalah perusahaan besar di Indonesia melaporkan kesulitan mencari tenaga kerja dengan kualifikasi yang cukup seementara pada sisi lain jumlah pengangguran dengan kualifikasibpendidikan tinggi malah sangat besar. Hal yang menjadi perhatian adalah tidak sinkronnya lulusan dan permintaan dunia kerja. Namun sebenarnya ada satu hal yang luput dari perhatian yaitu pendidikan tinggi kita kekurangan dana.
Hal yang sangat aneh jika saya mengatakan pendidikan kita kekurangan dana di tengah keluhan masyarakat bahwa biaya pendidikan terlalu mahal serta pengeluaran negara untuk pendidikan sudah mencapai 20% dari anggaran sehingga sangat sulit menambahnya. Dasar hipotesisnya sebenarnya sangat sederhana.Â
Jika dilihat dari pekerja baru di BUMN kita bisa dapatkan gaji mereka di 9.5 juta, maka untuk gaji dosen bisa kita genapkan di 10 juta. Dengan tingkat dosen dibandingkan mahasiswa 1:15 maka nilai per mahasiswa sekitar 700 rb per mahasiswa. Maka biaya per semester bisa dibilang 4.2 juta. Hal ini belum dihitung biaya tenaga kependidikan dan gedung serta bahan ajar. Normalnya nilainya sama maka kita bisa dapatkan di angka 8.4 juta biaya kuliah per semester. Berapa banyak menurut anda kampus yang biaya kuliahnya sebesar itu?
Jumlahnya tidak banyak. Rata-rata hanya sebesar seperempat dari nilai diatas. Hal yang sangat berat adalah nilai diatas pasti lebih besar jika program studinya di bidang teknologi. Biaya laboratorium serta peralatan akan lebih mahal lagi. Jika kampus mengurangi biaya diatas maka pastinya yang akan dilakukan adalah memperbanyak jumlah mahasiswa di banding dosen serta menggajinrendah dosennya.Â
Selain itu tentu saja mengurangi fasilitas pengajaran yang sekali lagi berdampak pada kualitas serta kualifikasi mahasiswa yang dihasilkan. Maka jangan heran bahwa akan ditemukan sarjana lulusan IT yang tidak bisa menulis kode. Tenaga akuntansi yang bahkan tidak paham menghitung biaya dasar produksi. Efek samping lainnya adalah universitas lebih besar menawarkan program studi di bidang sosial yang notabene biaya serta pendiriannya lebih mudah. Sekali lagi, mengakibatkan jumlah tenga kerja berpendidikan tinggi dengan kualifikasi ilmu sosial melebihi pasokan serta dengan kualitas yang tidak sesuai permintaan pasar dunia kerja.Â
Hal yang tentu saja berdampak pada tingginya pengangguran lulusan pendidikan tinggi namun di saat bersamaan jumlah permintaan juga tinggi. Hal yang mendorong permintaan atas tenaga kerja asing tinggi. Kita hanya bisa berlapang dada menjadi para buruh yang tentu saja menjadi tenaga perahan karena memang faktor produksi makin dimurahkan sementara pada sisi lain tenaga knowledge yang mahal tidak Indonesia miliki.
Hal yang menjadi permasalahan besar adalah kita harus memiliki pendidikan tinggi berkualitas tetapi berharga murah. Konsep yang bisa dimanfaatkan adalah sistem pendidikan digital seperti Coursera serta EdX. Kuliah sistem jarak jauh. Tetapi sistemnya harus digabungkan dengan juga praktek yang tentubsaja tidak digital tetapi di lab sebenarnya. Lab yang sebaiknya disediakan oleh pemda di SMK negeri yang bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa setelah jam pelajaran usai danbtidak terpakai. Tetapi satu hal yang paling sulit untuk menerapkan pendidikan model ini adalah kesediaan mahasiswa untuk susah lulus.Â
Hal yang menjadi perbedaan terbesar dari diajar oleh seorang professor atau dosen kualitas pas-pasan bukan pada pengajarannya. Seorang dosen dengan ilmu pas pasan bisa memberikan kualitas pendidikan pengajaran yang lebih baik dari professor yang pintar. Perbedaan utamanya terletak pada kualitas ujiannya. Seorang professor dengan ilmu yang baik akan memberi standar lebih tinggi pada kelulusan.Â
Sehingga hasil lulusan pengajarannya akan selalu lebih baik dari pengajar ilmu pas pasan. Tetapi mahasiswa secara umum tidak akan menyukai kuliah dengan kelulusan sesulit ini. Pada sisi lain dunia kerja serta dunia nyata tempat para lulusan itu berkarya akan lebih menyukai lulusan sang professor. Dan jika menginginkan kualitas pendidikan jarak jauh berkualitas maka harus memiliki kelulusan dimana setiap ujiannya dibuat oleh standar para professor.Â
Namun, pendidikan tinggi model ini kemungkinan besar tidak akan diminati di negeri dimana ujian yang sebenarnya diujikan untuk anak SD di negeri maju tetapi ketika diujikan di SMA, dianggap terlalu sulit dan memberi stress pada anak. Tanpa menyadari bahwa dunia persaingan dengan basis neoliberal sebagai mainstream memang mengutamakan "the fittest".Â
Suatu hal yang sangat menyedihkan tetapi di dunia dimana pendidikan adalah pembentuk human capital, kita tidak punya pilihan. Hakikat pendidikan adalah industri penghasil modal "knowledge container".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H