Terkadang bingung ketika banyak penulis protes bahwa negara menelantarkan pendidikan tinggi jika universitas dijadikan PTN-BH. Kebingungan yang muncul karena banyaknya yang protes pembentukan PTN menjadi berbadan hukum(BH) adalah cara pemerintah mencari uang dari pendidikan. Padahal yang sebaliknya terjadi adalah jika PTN menjadi PTNBH otomatis mengurangi pendapatan negara.
Ketika PTN masih menjadi satuan kerja biasa maka mereka harus menyetorkan seluruh pendapatannya ke negara dan diakui sebagai pendapatan negara bukan pajak. Ketika meminta kembali uang setoran itu untuk dipakai maka PTN hanya boleh memakai pendapatan yang bersumber dari kegiatan pokok dan fungsi mereka seperti uang kuliah. Pendapatan yang tidak sesuai fungsi seperti biaya sewa kantin,bunga rekening, uang tiket penggunaan fasilitas olahraga dan lainnya tidak boleh diambil kembali.
Yang lebih menarik, ada PTN biasa pernah menarik uang asuransi kecelakaan ke mahasiswa karena prakteknya yang berhubungan dengan bekerja menggunakan alat berat cukup berbahaya. Uang tersebut langsung dibayarkan ke perusahaan asuransi karena PTN merasa hanya jadi perantara, namun dijadikan temuan oleh BPK sebagai pelanggaran karena tidak disetorkan terlebih dahulu ke kas negara. Tetapi jika disetorkan maka KPPN tidak memperbolehkan uang tersebut diambil kembali, jawabannya tidak boleh karena pendapatan asuransi bukan merupakan pendapatan yang boleh dipakai kembali oleh PTN. Jadi, PTN tersebut akhirnya tidak memberikan asuransi kepada seluruh mahasiswanya padahal kerja praktek di tempat yang seluruh pekerjanya diasuransikan (jika tidak maka melanggar hukum).
Hal yang lebih berat bagi PTN adalah ketika uang setoran itu tidak habis. Misalnya tahun ini pendapatan sebuah Universitas sekitar 20 Milliar rupiah. Yang dihabiskan hanya 16 Milliar rupiah. Uang 4 Milliar boleh ditambahkan untuk dipakai di tahun depan. Jadi jika tahun depan ada pendapatan sebesar 21 Milliar rupiah maka yang bisa dipakai adalah 25 Milliar rupiah. Tetapi jika yang terpakai sebesar 21 Milliar rupiah di tahun berikutnya maka yang 4 Milliar rupiah tidak akan bisa ditambahkan ke tahun berikutnya.
Negara akan menganggap seluruh pendapatan tahun ini telah habis digunakan. Yang 4 Milliar menjadi milik negara dan tidak boleh diambil lagi karena kelebihan tidak berlaku multi years. Kelebihan bisa selalu terjadi besar karena banyak mahasiswa yang setor uang kuliah bukan di bulan September tapi melunasi di November atau awal Desember sehingga sering tidak terpakai dan dimiliki oleh negara. Jadi jika kuliah di PTN biasa maka sebagian pendapatan menjadi keuntungan negara dan tidak seluruhnya digunakan bagi biaya operasional PTN.
Hal yang banyak membuat orang salah paham karena universitas yang berbentuk PTNBH selalu biaya kuliahnya lebih mahal daripada PTN dengan bentuk satker biasa bahkan PTN swasta top. Penyebab utamanya bisa dibagi dua. Pertama,adanya subsidi silang. PTN besar memberikan subsidi yang besar kepada banyak siswa miskin dan juga pada program studi yang tidak menghasilkan uang. Jika anda melakukan perbandingan maka jumlah mahasiswa dengan biaya gratis untuk kuliah di univesitas top akan lebih banyak daripada universitas kecil padahal biaya yang dikeluarkan per mahasiswa jauh lebih besar dari universitas kecil. Selain itu, universitas top akan memiliki banyak program studi miskin.
Program studi  ilmu budaya dan sastra daerah merupakan contoh program yang merupakan penyerap uang karena biaya kuliahnya tidak akan bisa ditarik besar. Namun ilmu itu sangat berguna secara kemanusiaan dan tidak boleh ditutup. Hal yang lebih makin memberatkan adalah universitas top tersebut membiayai banyak penelitian bagi dosen. Biaya penelitian tidak pernah murah. Menyediakan fasilitas bagi pendukung penelitian membutuhkan biaya yang besar. Pada universitas di luar negeri bahkan normalnya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk mendidik mahasiswa. Universitas swasta dan negeri yang kecil tidak memiliki fasilitas yang lengkap bahkan sering tidak memiliki fasilitas bagi penelitian.
Kedua,biaya yang dikeluarkan per mahasiswa jauh lebih besar. Universitas top memberikan fasilitas yang lebih lengkap kepada mahasiswa dan dosennya. Semua Universita top berlangganan jurnal ilmiah yang biaya tahunannya bisa mencapai puluhan milliar rupiah. Selain itu tentu saja pembaruan koleksi perpustakaan akan lebih sering daripada universitas negeri kecil. Harga buku bisa dibilang mahal apalagi terbitan luar negeri yang bahkan bisa mencapai belasan juta rupiah per buku. Walaupun, tidak selengkap jika kuliah di luar negeri tetapi jika dibandingkan maka fasilitas perpustakaan di Universitas top akan jauh lebih baik dari universitas negeri kecil.
Namun, biaya terbesar adalah gaji kepada pegawai. Bahkan, seorang staff laboratorium di universitas top bisa memiliki gelas master dan merupakan lulusan terbaik dengan IPK diatas 3.5. Apalagi untuk dosen yang mereka pekerjakan. Hal yang membuat pendapatan rata-rata dosen dan tenaga kependidikan di universitas top bisa dua sampai tiga kali lipat dari universitas kecil. Selain itu rasio dosen dibandingkan mahasiswa serta tenaga kependidikan dibandingkan mahasiswa akan jauh lebih tinggi dari PTN kecil.
Bahkan ada program studi yang biaya dosennya bisa lebih dari 1 juta rupiah per mahasiswa per bulan. Jika ditambah dengan banyaknya fasilitas, maka bisa dipastikan biaya per mahasiswa di PTN top bisa beberapa kali lipat dari universitas kecil. PTN dengan bentuk PTN BH bisa mendapatkan subsidi sampai 4 kali lipat dari PTN biasa per mahasiswa, tetapi subsidi pada PTN BH hanya mensubsidi 20-30 % dari total biaya PTN BH tersebut sedangkan bagi PTN biasa jumlah itu mewakili 70%-90% dari total biaya.
PTNBH memiliki banyak sumber pendapatan selain uang kuliah, seperti penjualan hasil produksi/pelayanan praktek kerja, Â penyewaan lahan, pemakaian fasilitas, bunga uang dan hasil investasi yang seluruhnya menjadi milik PTN untuk dimanfaatkan sepenuhnya bagi pembiayaan tanpa perlu setor ke negara. Sementara PTN biasa hanya memiliki pendapatan yang menopang biaya mereka dari uang kuliah mahasiswa dan subsidi pemerintah. Selain uang kuliah, maka pendapatan itu adalah keuntungan negara yang harus disetor. Â Â
Kerumitan pada penggunaan dana dan pemborosan pembiayaan karena birokrasi yang terlalu berbelit sehingga kita tidak menemukan di negara maju dimana perguruan tinggi masih tidak diberikan otonomi dalam mengelola keuangannya. Bahkan negara yang menggratiskan pendidikan tingginya juga ada yang memberikan otonomi pengelolaan uang dari negara dan terpisah dari birokrasi pemerintah yang normal. Namun, jika bisa dibuat sulit, masyarakat Indonesia tentu tidak suka dipermudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H