Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kompetensi atau Kapasitas? Pilihan Kebijakan Pendidikan

10 Januari 2018   00:12 Diperbarui: 10 Januari 2018   03:45 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Fasilitas dan sumber dana juga bisa diberikan kepada kelas dan sekolah dengan nilai terbaik. Namun, tentu saja pengelompokan yang menciptakan kasta ini sangat banyak ditentang oleh para scholar di bidang pendidikan karena pengetahuan menjadi pemisah dan pencipta kasta baru bagi manusia.

Hal kedua yang sangat banyak dikritik adalah waktu sekolah yang panjang dan hampir pasti tidak memberikan kebahagiaan dalam belajar. Tekanan untuk mendapatkan nilai baik atau terbuang ke kasta yang lebih rendah secara konstan selalu dimunculkan. PR yang diberikan kepada murid sangat banyak. 

Tingkat bunuh diri pada anak dan remaja karena stress mengenai prestasi sekolah salah satu yang paling tinggi di dunia. Namun, dibalik itu, sistem sekolah dengan basis pemikiran kompetensi ini mampu menaikkan negara penganutnya menjadi negara Asia yang sukses menaklukkan dunia. Karakter manusia pada negara Singapura, Jepang, Korea Hong Kong dan Taiwan adalah pekerja keras. Latihan sejak muda dan tekanan persaingan membuat mereka menjadi individu yang tahan banting dan bisa bekerja keras tanpa henti. Soal kreativitas, maka kita bisa melihat industri kreatif berupa Manga, game, bahkan film dewasa buatan Jepang sangat mendunia. 

Film, serial televisi dan musik dari Korea Selatan tentu saja telah menjadi menu sehari-hari bagi banyak manusia sampai ke luar Asia. Hong Kong dan Singapura adalah kota pelabuhan dan surga belanja utama dan dikunjungi turis yang jauh lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sehingga jika ada yang mengatakan bahwa pendidikan keras dan penuh fokus pada nilai akademik mematikan kreativitas manusia bukan merupakan harga mati dan pasti. Selain itu, menerapkan pendidikan dengan basis kompetensi membutuhkan biaya lebih murah dan lebih pasti menghasilkan human capital yang sangat berguna bagi pembangunan negara.

Sebagian besar negara di dunia memakai kedua sistem secara bersamaan. Namun, pasti memiliki kecondongan pada salah satu sistem. Tetapi dari sisi prestasi terlihat makin murni penerapan salah satu sistem maka hasil pada kompetensi dan kapasitas yang dihasilkan lebih baik. Finlandia adalah negara yang mewakili penerapan sistem kapasitas dengan tingkat kemurnian paling tinggi. 

Sementara, Singapura, Jepang, Hong Kong dan Korea Selatan adalah negara yang menggunakan sistem kompetensi dengan tingkat kemurnian paling tinggi (khusus sekolah negerinya). Dari sisi hasil maka sistem kompetensi diakui lebih unggul dalam menciptakan manusia dengan produktivitas tinggi walau sangat rendah pada tingkat kebahagiaan hidup. Pada kapasitas diakui lebih sukses menciptakan manusia yang antusias dengan ilmu serta sistem kemasyarakatan yang sangat setara.

Banyak tulisan yang akan kita baca terutama jika berdasarkan literatur ilmu pendidikan akan memberikan rekomendasi pada pendidikan dengan basis kapasitas atau disebut karakter. Basis pendidikan karakter bukan dengan mengajarkan mata pendidikan yang mengajarkan karakter untuk sukses tapi dengan cara pengajarannya. Pembentukan karakter dilakukan dengan memberikan anak kepercayaan diri melalui beragam penghargaan yang diberikan. 

Semua anak pasti pernah mendapat penghargaan. Selain itu, setiap anak pasti pernah diberikan tanggung jawab besar atas sesuatu hal yang penting bagi kelas atau grup. Murid juga dilatih untuk berbagai role. Kemampuan daya pikir kritis dilatih dengan memberikan mereka banyak tugas baik di kelas atau untuk dibawa pulang (semacam PR) yang meningkatkan kreativitas. 

Namun, ada sesuatu hal yang harus diwaspadai orang tua untuk sistem ini. Gabungan antara daya kritis,  toleransi atas kesetaraan, kepercayaan diri yang tinggi serta didorong atas waktu luang yang lebih banyak akan membuat orang tua mendapatkan pertanyaan yang cukup berat dijawab terutama soal agama. Selain itu, jika anda memberikan pendidikan dengan sistem ini jangan berharap bahwa dia akan menuruti pilihan anda untuk bidang pekerjaan yang harus dipilih di masa depan. Selain itu, tentu saja sistem sekolah ini memaksakan peran serta dan waktu yang jauh lebih besar dari orang tua.

Banyak tulisan juga yang mengkritik bahwa Indonesia lebih fokus pada akademis atau ke arah kompetensi. Pada banyak sekolah elit baik negeri atau swasta betul ini telah terjadi  tapi pada sebagian besar sekolah maka hidup anak-anak lebih bahagia karena gurunya jarang ada. Yang sering menjadi kebingungan bagi saya adalah kritiknya pada masalah pendidikan tersebut adalah keyakinan sistem ini membuat anak menjadi tidak kreatif atau tidak mampu berpikir kritis. 

Secara bukti terlihat bahwa banyak negara yang menerapkan sistem kompetensi murni tetapi industri dengan basis kreatif mereka sangat berkembang. Jika melihat hasil tes dari PISA, maka anak-anak dari negara tersebut on average memiliki nilai tinggi terhadap kemampuan berpikir kritis mereka. Hal yang salah jika menganggap anak yang selalu diberikan PR dan tes banyak serta waktu sekolah panjang menjadi tidak kreatif atau memiliki kemampuan kritis rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun