Teringat dengan diskusi dengan beberapa orang teman 2 minggu yang lalu. Diskusi kecil-kecilan yang menyorot tema budaya. Setelah pemaparan dari pemateri, berlangsunglah sesi diskusi panjang. Cukup hangat dan menarik. Saya sendiri terlibat aktif di dalamnya dengan mengajukan berbagai permasalahan yang mengganjal di kepala. Begitu juga dengan teman-teman yang lain, mereka cukup aktif menyimak selama sesi pemaparan maupun diskusi.
Dalam perjalanannya, kami mengerucut pada persoalan budaya khas Sulawesi Selatan. Saya semakin tergugah ketika pembahasan melebar ke masalah pergaulan antar-pemeluk agama. Saya pikir ini sangat penting mengingat di Sulawesi Selatan, keragaman umat beragama adalah keniscayaan. Karenanya perlu dibangun sikap positif guna sebagai pengejewantahan sikap toleran, hormat-menghormati, dan persamaan derajat. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil dan sederhana.
Saya beragama Islam. Agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Selain Islam, masih ada beberapa agama lain yang diakui negara misalnya, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Meski saya tidak pernah sepakat dengan aturan tersebut. Agama adalah persoalan pribadi dan tidak boleh diintervensi, termasuk oleh pemerintah. Tapi sudahlah, saya tidak mau berspekulasi sampai kesana.
Seperti disebutkan di atas, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, sedangkan pemeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu adalah pemeluk minoritas. Tidak jarang, kita yang muslim, menyebut saudara kita yang berkeyakinan lain dengan sebutannon-muslim. Awalnya saya sepakat saja dengan sebutan demikian. Namun, akhirnya saya sadar penyebutan non- sangat tidak etis. Seandainya, Islam adalah agama minoritas di indonesia, maukah kita disebut non-Kristen, non-Hindu, dan non- yang lain. Saya pikir tidak!
Penggunaan kata non- menunjukkan disparitas dan diskriminasi antar-pemeluk agama. Seolah saudara kita yang berbeda keyakinan memeluk agama yang "berbeda", atau "lain". Padahal agama diturunkan untuk manusia.Agama lahir bukan untuk mengkotak-kotakkan manusia. Jadi, apa sulitnya menyebut agama saudara kita. Tidaklah susah rasanya jika kita mengatakan, si A beragama Kristen, si B beragama Hindu, dan seterusnya.
Sekali lagi, keragaman umat beragama adalah keniscayaan. Derajat kita sama, apa pun keyakinannya...
Source: daulatkata.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H