Mohon tunggu...
Muhammad Kasim
Muhammad Kasim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa yang tak kunjung sarjana, suka nulis walaupun isinya lebih banyak omong kosong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Sebut Saudara Kita Non-Muslim

18 Oktober 2011   09:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:48 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat dengan diskusi dengan beberapa orang teman 2 minggu yang lalu. Diskusi kecil-kecilan yang menyorot tema budaya. Setelah pemaparan dari pemateri, berlangsunglah sesi diskusi panjang. Cukup hangat dan menarik. Saya sendiri terlibat aktif di dalamnya dengan mengajukan berbagai permasalahan yang mengganjal di kepala. Begitu juga dengan teman-teman yang lain, mereka cukup aktif menyimak selama sesi pemaparan maupun diskusi.

Dalam perjalanannya, kami mengerucut pada persoalan budaya khas Sulawesi Selatan. Saya semakin tergugah ketika pembahasan melebar ke masalah pergaulan antar-pemeluk agama. Saya pikir ini sangat penting mengingat di Sulawesi Selatan, keragaman umat beragama adalah keniscayaan. Karenanya perlu dibangun sikap positif guna sebagai pengejewantahan sikap toleran, hormat-menghormati, dan persamaan derajat. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil dan sederhana.

Saya beragama Islam. Agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Selain Islam, masih ada beberapa agama lain yang diakui negara misalnya, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Meski saya tidak pernah sepakat dengan aturan tersebut. Agama adalah persoalan pribadi dan tidak boleh diintervensi, termasuk oleh pemerintah. Tapi sudahlah, saya tidak mau berspekulasi sampai kesana.

Seperti disebutkan di atas, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia, sedangkan pemeluk agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu adalah pemeluk minoritas. Tidak jarang, kita yang muslim, menyebut saudara kita yang berkeyakinan lain dengan sebutannon-muslim. Awalnya saya sepakat saja dengan sebutan demikian. Namun, akhirnya saya sadar penyebutan non- sangat tidak etis. Seandainya, Islam adalah agama minoritas di indonesia, maukah kita disebut non-Kristen, non-Hindu, dan non- yang lain. Saya pikir tidak!

Penggunaan kata non- menunjukkan disparitas dan diskriminasi antar-pemeluk agama. Seolah saudara kita yang berbeda keyakinan memeluk agama yang "berbeda", atau "lain". Padahal agama diturunkan untuk manusia.Agama lahir bukan untuk mengkotak-kotakkan manusia. Jadi, apa sulitnya menyebut agama saudara kita. Tidaklah susah rasanya jika kita mengatakan, si A beragama Kristen, si B beragama Hindu, dan seterusnya.

Sekali lagi, keragaman umat beragama adalah keniscayaan. Derajat kita sama, apa pun keyakinannya...

Source: daulatkata.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun