Mohon tunggu...
kartosar
kartosar Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi istimewa itu membebani

Menulis untuk menjaga kewarasan - Menulis untuk melatih otak - Menulis untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Memaksakan Diri untuk Membenci (Setahun Kasus George Floyd)

26 Mei 2021   11:24 Diperbarui: 26 Mei 2021   11:45 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Associated Press Photo

"Aku tak bisa bernapas, tolong," suaranya terengah-engah. Dia menahan sakit luar biasa di leher. "Mama," katanya lagi. Polisi yang menekan lehernya tak peduli. 

"Kamu bisa ngomong lancar, kok," semprot si polisi tanpa melihat. Selama hampir tiga menit lehernya berada di antara lutut polisi dengan aspal. Hampir tiga menit kemudian, si petugas lalu mengangkat lututnya. Dia tak berdaya. Tapi baru 8 menit kemudian dia dibawa ke ambulans.

Tepat setahun lalu George Floyd meninggal di tangan polisi. Beberapa hari kemudian, pecah kerusuhan di berbagai kota di Amerika. Floyd berkulit hitam, polisi berkulit putih.

Kasus Floyd menjadi percikan berkobarnya kembali gerakan Black Lives Matter yang sudah ada sejak 2013, dengan alasan yang mirip dengan Floyd. Kobaran kali ini mendunia. Di sepak bola Eropa, muncul gerakan take the knee yang masih berlangsung sampai sekarang. Kampanye ini ditujukan untuk melawan rasisme di sepak bola yang, ironisnya, masih sering terjadi.

Perseteruan kulit hitam dan putih bukan lagu baru. Dan, sayangnya rasisme seolah-olah hanya urusan kulit putih dan hitam. Mungkin karena mereka yang paling banyak muncul di media-media negara maju, khususnya Amerika. Orang tidak peduli, dan mungkin tidak tahu, kasus rasisme di Tiongkok, India, dan tentu saja Indonesia.

Di Amerika, negara yang mengusung land of free, rasisme muncul di dalam skala kecil sampai nasional. Setahun terakhir eskalasinya tinggi. Salah satu penyebabnya, bisa jadi, pembuat kebijakan berpihak. Donald Trump, presiden ketika itu, bersikap abu-abu dalam kasus rasisme ini.

Amerika Serikat negara imigran. Imigran kulit putih datang, berkelahi dengan penduduk pribumi, lalu perang antar-mereka sendiri. Berdirilah Amerika. Ratusan tahun kemudian jumlah penduduk kulit putih yang mayoritas terus dikejar imigran kulit hitam, hispanik, dan Asia. Non kulit putih diperkirakan akan menjadi mayoritas penduduk Amerika Serikat dalam beberapa dekade lagi.

Terpilihnya Barack Obama juga menjadi pemicu. Kelompok kulit hitam yang selama ini minder merasa mendapat angin. Setelah administrasi Obama selesai, muncul calon presiden perempuan, Hillary Clinton. Kekhawatiran dari kelompok konservatif dan supremasi kulit putih yang menjadi backbone Partai Republik semakin menguat. Setelah presiden berkulit hitam, kini presiden perempuan? Institusi sosial white supremacy semakin terusik. Konservatif melawan. Donald Trump jadi presiden.

Trump bukan orang politik, bukan politikus. Dia tidak suka istilah dekatilah musuhmu, dan yang terpenting dalam politik adalah konstituen. Dia justru melakukan sebaliknya. Dia memperbanyak musuh. Politik itu kepentingan, bukan masalah kawan atau lawan.

Trump kalah tipis dalam pemilihan presiden periode kedua. Terlepas dari tuduhan banyaknya kecurangan, Trump memang menempatkan dirinya di jurang kekalahan. Hanya dengan satu dorongan kecil, dia pun terjatuh.

Kekalahan Trump secara tak langsung mengukuhkan kemenangan BLM atas white supremacies. Tapi sepertinya pertarungan antara dua kubu ini masih panjang, bahkan mungkin tidak pernah selesai. Isu rasis setiap saat bisa menjadi bola api liar. Memercik kemana-mana.

Mungkin ada pihak atau kelompok yang menganggap ini saat yang tepat untuk meminta pertanggungjawaban institusi terbesar kulit putih, Kerajaan Inggris. Pertanggungjawaban atas penindasan selama masa kolonial.

Munculah wawancara Harry dan istrinya, Megan Markle. Mereka terang-terangan menyebut kerajaan Inggris rasis, meski tanpa menyebut nama. Muncul pro dan kontra. Warga Amerika yang baru saja dipimpin kembali oleh kelompok liberal seolah mendukung Megan, meski banyak yang tidak peduli atau bahkan mendukung kerajaan. Dari Floyd, lalu Megan, kemudian entah apa lagi. Masalah rasis masih akan panjang.

Ini menjadi pelajaran buat kita, bangsa Indonesia. Sekali kita memulai pertikaian antara kita sendiri, kita akan kesulitan berdamai kembali. Jangan terus memaksakan diri untuk membenci (ras, agama, suku) orang lain. Jika Anda menjadi hebat dan jago dalam hal itu (membenci), Anda tidak bisa akan berhenti membenci.

Selagi kita masih bisa bernapas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun