[caption caption="PLTMH Kali Maron ubah air jadi listrik"][/caption]
Malam kian larut, tetapi Annisa masih terpaku menatap layar komputer. Siswi kelas II SMA yang menghuni desa terpencil di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur itu tengah mengerjakan tugas akuntansi dari sekolah. Ia dapat mengakses komputer setelah listrik dari pembangkit mikro hidro menerangi desanya.
Listrik yang menjadi sumber energi bagi komputer dan lampu memang berasal dari pembangkit listrik mikrohidro. Listrik bersumber dari 2 pembangkit, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Kali Maron berkapasitas 35 kW dan PLTMH Wot Lemah kapasitas 15 kW dari 20 kW yang direncanakan. PLTMH adalah suatu pembangkit energi terbarukan berskala kecil yang menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan (head) dan jumlah debit air. [Warga desa memanfaatkan listrik mikrohidro itu untuk penerangan, televisi, setrika, dan komputer. “Saya banyak memanfaatkan komputer untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah,” ujar Annisa yang bercita-cita menjadi pegawai bank itu.
Tanpa Listrik
“Annisa beruntung bisa sekolah tinggi. Dulu, di Dusun Janjing, anak-anak paling hanya lulus sekolah dasar. Seperti saya,” ujar Ma’sum. Harap mahfum, 25 tahun lalu listrik belum menjangkau Dusun Janjing, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Saat malam tiba, tak banyak aktivitas yang dilakukan Ma’sum. “Waktu itu sulit untuk belajar karena penerangan terbatas,” kata Ma’sum.
Ketiadaan listrik diperparah dengan lokasi dusun yang terisolir. Desa Seloliman terdiri dari 4 (empat) dusun, yaitu Biting, Sempur, Balekambang dan Janjing. Posisi dusun Janjing memang agak terpencil dan terpisah dari 3 dusun lainnya. Pasalnya, jalan menuju dusun Janjing menuruni lembah dan menyeberangi sungai kecil yang arusnya deras. Satu-satunya akses menuju Dusun Janjing adalah jembatan bambu yang berulangkali hancur diterjang aliran deras sungai ketika musim penghujan. “Dulu pernah seorang anak tersapu air ketika menyeberang saat hendak berangkat sekolah,” kenang Ma’sum. Berbagai keterbatasan itulah yang membuat sebagian besar anak-anak Dusun Janjing enggan menempuh bangku sekolah.
[caption caption="Selain sebagai irigasi, warga memanfaatkan air sebagai sumber listrik"]
Secercah harapan datang tatkala tahun 1993 PT PLN akhirnya masuk ke wilayah Desa Seloliman. Sayangnya, jaringan listrik hanya mencakup Dusun Balekambang, Biting, dan sebagian Sempur. ”Dusun Janjing sama sekali tak terlistriki sehingga warga merasa ditinggalkan,” ujar Ma’sum. Dengan kondisi tersebut, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman tergerak untuk memfasilitasi masyarakat dusun Janjing, untuk mendapat aliran listrik.
Proses mewujudkan gagasan membangun PLTMH dimulai sejak tahun 1993. Seluruh komponen PLTMH dan kelengkapan infrastruktur untuk mengalirkan listrik ke rumah-rumah penduduk dibangun dengan dana PPLH, swadaya masyarakat, dan sokongan program small project fund Kedutaan Besar Jerman. Pada Agustus 1994 PLTMH Kali Maron diresmikan untuk mengaliri Dusun Janjing.
Dari 300 liter per detik air yang masuk, PLTMH itu mampu membangkitkan energi listrik sebesar 12 kW. Energi sebesar itu disalurkan kepada masyarakat Dusun Janjing, Sempur, pesantren di dekat Jolotundo, dan digunakan oleh PPLH Seloliman sendiri sebagai media pendidikan lingkungan bagi peserta program yang belajar tentang energi alternatif. Setiap rumah mendapat jatah listrik dengan pembatas arus sebesar 2 ampere (440 watt) dengan tegangan 220 volt, sama seperti tegangan listrik PLN.
Keterlibatan masyarakat
Pada mulanya, sistem manajemen dikendalikan oleh PPLH Seloliman, dan masyarakat hanya menjadi penikmat saja. Masyarakat desa hanya tahu bahwa listrik harus tersedia sepanjang waktu. Mereka enggan menoleransi adanya gangguan yang menyebabkan pasokan lkistrik tersendat. Misalnya terjadi kerusakan pada salah satu komponen atau penyumbatan aliran air yang menyebabkan debit air berkurang.
Oleh karena itu, sejak tahun 2000, PPLH dan masyarakat sepakat untuk membentuk organisasi swadaya masyarakat bernama Paguyuban Kali Maron (PKM) sebagai pengelola. Sedangkan PPLH hanya menjadi pendamping saja. Menurut Muzzaki, Manajer Operasional PPLH, pengelolaan PLTMH saat ini bersifat dari dan untuk masyarakat. “Adanya PKM membuat warga desa merasa memiliki kepentingan terhadap PLTMH itu, sehingga mereka peduli dan mau merawat pembangkit listrik,” kata Muzakki.
Untuk mengelola PLTMH, Paguyuban Kali Maron menetapkan biaya beban listrik melalui musyawarah bersama warga. Harga per watt menyesuaikan harga listrik dari PT PLN sehingga berfluktuasi setiap tahun. Pada 2015, harga yang ditetapkan sebesar Rp600 per kW. petugas yang ditunjuk akan memungut biaya setiap bulan. Pungutan itu dipergunakan untuk membiayai operasional PKM dan perawatan mesin PLTMH.
Selain dari pungutan warga, PKM juga mendapat pemasukan dari kelebihan listrik yang dijual ke PT PLN. Pasalnya, sebagian besar atau 80% konsumen PLTMH Kali Maron adalah sektor rumah tangga yang kurang membutuhan listrik saat siang hari. Listrik yang tidak terpakai inilah yang masuk ke jaringan terintegrasi milik PT PLN.
Pembangkit Kedua
[caption caption="PLTMH Wot Lemah berkapasitas 15 kW"]
Pengadaan PLTMH kali ini merupakan kerjasama antara PPLH Seloliman, pengurus Paguyuban Kali Maron (PKM), Pemkab Mojokerto, PT PLN, dan beberapa lembaga donor. Pembangunan PLTMH yang kedua ini menghabiskan biaya sekitar Rp450 juta. Sebagian besar skema pembiayaan dibebankan pada calon konsumen pemakai listrik yaitu masyarakat Dusun Biting dan Dusun Balekambang. Walaupun mereka dikenakan biaya pembayaran awal tetapi semangat gotong royong untuk kerja bakti bersama pengurus PKM sangat tinggi.
Pada 7 Mei 2009 pembangkit kedua itu diresmikan penggunaannya dan diberi nama PLTMH Wot Lemah. Kini giliran 25 KK warga Dusun Biting dan 25 KK warga Dusun Balekambang yang menikmati listrik murah dan ramah lingkungan. Pembangkit berkapasitas 15 KW itu mampu memenuhi kebutuhan warga seperti penerangan, memasak, dan hiburan. “Mereka tinggal membayar iuran sekitar Rp20.000—30.000 per bulan,” kata Muzakki. PLTMH Wot Lemah juga diinterkoneksikan dengan jaringan listrik PT PLN, sama dengan pendahulunya.
Begitu listrik murah dan ramah lingkungan menerangi Dusun Biting dan Balekambang, aktivitas ekonomi mulai bergeliat. Ibu-ibu di Dusun Balekambang memanfaatkan listrik untuk memproduksi makanan ringan seperti keripik tempe dan ketela. “Kami berharap potensi industri rumahan seperti bisa berkembang dan menjadi ciri khas Desa Seloliman,” kata Muzakki. (Kartika Restu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H