Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gila

9 April 2018   22:35 Diperbarui: 9 April 2018   22:43 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

28 tahun sudah ku lalui dengan kegilaan ini. Merasakan getir gila, dari tertawa, mengamuk, dan menangis sudah pernah aku rasakan. Waktu tidak begitu meluruskan jalan, sebab setiap kehidupan selalu memberikan beban. Beban hidup sesuai kemampuan. Namun, dalam persoalan gila, bagiku ini beban terberat. Mereka juga pasti merasakannya. Keluarga kecilku-pun juga merasakan kegilaan. 

Baik istriku atau kedua anakku. Pegawaiku juga merasakan kegilaan. Tetangga rumah begitu pula. Persoalan ini seperti bom atum yang pernah mengguncangkan Hirosima, Jepang. Efeknya juga tidak main-main. Banyak yang risau dengan keadaan ini. Gila ini memberikan situasi yang menggelegar, karena orang biasa, orang bodoh, dan orang paling kolot sekalipun dapat diserang dengan senang hati.

Pernah studi dilakukan oleh Profesor, Dosen, dan Mahasiswa tetap hasilnya adalah mereka terjangkit juga. Mereka lepas tangan dengan gila ini. Sebab mereka juga merasakan kegilaannya. Meski terkadang virus ini menyadarkan orang yang terjangkit, mungkin hanya beberapa menit saja. Jika di ibaratkan, ini seperti kentut yang bau. Bau sebentar kemudian netral sampai kentut berikutnya. 

Tidak ada yang dapat menghentikan fenomena ini. Ini terus berangsur-angsur lama. Bukan hanya orang tua dan remaja saja yang diserang, tetapi anak-anak mulai merasakannya. Bahkan orang tua juga sengaja memberikan gila ini.

Di sudut rumah kerap kali aku memikirkan ini, bagaimana cara menghilangkannya atau cara menanggulangi agar penyebarannya sedikit diredahkan. Banyak sudah korban dari kegilaan ini, mulai dari hal-hal kecil seperti tertawa, menangis, gantung diri, pemerkosaan, membunuh, premanisme, pencurian, perampokan, dll. Sudah ribuan kali peneliti tetap saja hasilnya sama. Mengadu saja bagiku   tidak akan terkendali, sebab aduan sama dengan omongan, dimana sebagai manusia hanyalah dapat mengeluh. Ini juga disebabkan karena keinginan yang tinggi. Dan untuk menunjang harus melibatkan hal-hal yang membuat gila diri sendiri.

***

Malam datang bersama lampu yang menerangi sudut jalan depan rumahku. Kala itu aku duduk sendiri dihalaman rumah, anak dan istriku sudah tertidur, mungkin mereka lelah karena seharian mereka mondar-mandir. Di kursi taman yang tersinari salah satu lampu hias sebagai interior taman rumah. Aku melihat dari kejauhan semilir kendaraan, banyak dari mereka menerjang malam dengan kegilaan. Bicara sendiri kadang juga bicara mesrah dengan pasangannya. Anehnya meski dalam kondisi bersama pasangan, mereka tetap saja gila sendiri. Padahal, ketika bersama pasangan bisa saja melupakan hal-hal lain. Anggapan dunia milik berdua sudah berubah dunia jadi gila.

Tidak sampai hanya itu saja, saat aku berjalan menuju minimarket tak jauh dari lokasi rumah. Aku berniat membeli rokok, untuk melanjutkan ratapan malam di halaman rumah. Mulai dari tukang parkir, kasir, dan pelayan mini market semua gila. Tukang parkir mengatur kondisi dan letak parkiran dengan tertawa sambil tangannya mengarahkan maju mundur terhadap pengendara. 

Sedangkan pengendara juga mematuhi perintah dengan berbicara sendiri. Kebetulan aku sekarang dalam kondisi sadar. Sehingga aku dapat memperhatikan sekitarku. Apalagi ketika seorang pelayan mini market menyambutku tanpa memandang lawan bicaranya. Seanaknya saja dia memberikan salam hormat dan selamat berbelanja tanpa memperhatikan diriku. Aku langsung menuju kasir karena tujuan utamaku adalah rokok. Kasir yang siap melayani ternyata juga terjangkit, sesekali dia menanyakanku "selamat malam, mau cari apa?" kadang juga dia berbicara sendiri padahal sela-sela telinganya terpasang earphone di telinga.

Malam ini terasa semakin aneh, niatku untuk menikmati malam dengan menikmati bintang dan bulan, buyar seketika. Aku harus melihat kenyataan sekitar rumah. Meski aku harus menghabiskan 1 pack rokok tetap saja pikiranku tidak fokus. Ini seperti menelan ludah berasa duri, sebab telanannya sangat sakit atau meneteskan darah pada mata karena penglihatanku yang menyesatkan. 

Sudah 2 jam aku duduk sendiri, meski dingin kerapkali menusuk jantung, meski bintang kerapkali menunjukkan kemolekan sinarnya, dan meski awan menampakkan beberapa fatamorgana ilusinya. Aku masih tidak tenang. Namun aku masih percaya akan ada waktu yang dapat menghentikan ini semua meski harus menaruhkan segala upaya. Tapi entah kapan.

***

Mata masih terpejam, namun telinga tetap mendengar beberapa suara genting dari luar rumah dan beberapa kelontengan piring di dapur. Mungkin ini sudah pagi, tapi aku masih tak bisa membuka mata, sebab aku sudah menghabiskan waktu malam hingga menjelang subuh. Sesekali aku mengingat kejadian tadi malam, meski pandanganku tertutup namun hawa pagi menyadarkan otakku yang sengaja aku diamkan sejenak meskti tidak bisa. 

Kejadian tadi malam masih membekas jelas, ini juga kesempatan bagiku sebelum aku membuka mata yang bisa saja kegilaan menyerangku. Sebelum itu semua terjadi aku merenungkan persoalan tadi malam. Namun, renungan ini seperti tidak ada gunanya, setiap kali memikirkan persoalan yang aku lihat tadi malam, otakku selalu buntu untuk memberikan win solusi. Tapi rasa ingin memecahkan teka-teki ini masih terus bergelora dalam diri.

Ada suara pintu terbuka, mungkin dari arah pintu kamarku, mungkin juga istriku akan membangunkan diriku. Jika anak-anak, pasti tidak mungkin. Karena secara situasi yang aku rasakan meski dengan mata tertutup, waktu sudah menunjukkn sekitar pukul 07.00 lewat. Jadi kemungkinan besar yang membuka pintu kamar adalah istriku. Telapak kaki mulai mendekatiku, nafas lembut yang biasa ku dengar semakin mendekat. Tetapi, mataku masih saja menginginkan terpejam dengan otak yang berkeliaran mengira-ngira kajadian sekitar tubuhku. 

Tangannya mengagapai kepalaku, dengan kelembutan suaranya dia mengatakan "Ayah, sudah jam 07.15, waktunya ke kantor. Sudah seminggu Ayah tidak pernah menjenguk kantor yang kamu banggakan". Rasanya aku tidak ingin merespon, namun aku juga sadar bahwa satu minggu karyawan kantor, aku biarkan leha-leha. Mungkin juga mereka memanfaatkan waktu ini. Tapi aku juga tidak mau ke kantor, setiap kali datang kesana, pemandangan orang gila selalu tersuguhi ke indra mataku.

Aku menjawab dengan mata terpejam "Iya, Ma, bentar lagi, tadi malam, Ayah tidur subuh". Dalam pikirku, meski tidak berangkat ngantor, tidak akan ada yang memecatku, sebab itu adalah perusahaanku sendiri. Mendengar jawabanku, istri memutuskan keluar kamar. Dengan tidak nyaman, aku bergegas membuka mata, lalu membuka pintu kamar dan mencari dimana istri tercintaku. 

Aku tidak mau istriku marah karena persoalan membangunkan tidur. Sehingga aku lihat setiap celah rumah, ku dengar suara tertawa istriku. Aku pikir hanya melihat kartun pagi yang membuatnya terbawa hingga selepas itu. Rupanya, kegilaan itu mulai kambuh, tertawa memandang sorotan cahaya yang dipegangnya. Aku sudah mulai tidak nyaman dengan suguhan pagi ini. Sebelum mandi aku berniat sarapan. Ku buka penutup lauk berwarna merah, bukan lauk yang aku lihat, melainkan sebuah handphone, dengan cepat aku menutupnya dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap serta mencari makan di luar rumah.

***

Tepat jam menunjukkan pukul 08.00 aku sudah di atas mobil, mesin sudah hidup, meski belum sepenuhnya panas. Langsung saja, aku berangkat tanpa memikirkan keadaan mesin yang dingin. Perjalanan ini akan memakan waktu cukup lama karena sebelum ke kantor aku berencana mencari sarapan terlebih dahulu. Tidak lama berselang, ku belokkan roda mobil. Lagi-lagi aku di arahan oleh tukang parkir yang gila. Tetap saja, aku menuruti intruksinya dan cepat-cepat pergi meninggalkan si gila yang selalu menganggukan kepala dengan kabel putih yang bergelantungan dari telinganya. 

Kebetulan pagi ini aku menginginkan makanan khas desa. Karena sudah lama, aku tidak pergi ke kampungku di desa. Hampir 10 tahun meninggalkan kedua orang tuaku demi menghindari gila yang menyebar ke desaku. Hijrahku ini juga terbilang sukses dengan keadaan finansialku sangat tercukupi tetapi tujuan menghindari fenomena gila terus menghantui. Malah, semakin parah pada orang-orang kota.

Makanan sudah tersedia di atas meja. Aku memesan sayur kelor (moringa) dengan lauk bergedel kentang, ikan asin, dan nasi glepung jagung, serta sambal terasi. Ini makanan khas desaku, biasanya di makan saat panen tiba ketika Emak mengirim makanan ke sawah. Aku menikmati sambil memperhatikan pemilik warung yang duduk di kasir sambil tertawa, menganggukkan kepala, hingga bicara sendiri. Kegilaan ini sudah sangat meluas, sampai warung makananpun juga dihuni dengan orang-orang gila.

Usai membayar, aku segera menuju ke mobil dan menginjak gas mobil. Aku sudah mulai arogan melihat fenomena ini, anehnya hampir 15 jam, Aku tidak gila, entah kenapa. Jika di ingat keadaan normal ini aku rasakan sejak duduk di taman halaman rumah. Padahal sebelumnya aku selalu bicara sendiri setiap menit, kadang marah, terkadang tersenyum, dan kadang semengat membludak. 

Rasanya aneh jika aku sadar sendiri, sedangkan sekelilingku masih berkutat dengan kegilaan. Jikalau saja aku adalah seorang psikiater, mungkin dapat membantu. Namun mengingat beberapa bulan yang lalu, banyak peneliti berdatangan malah membuat semakin parah keadaan. Entahlah, aku harus menunggu malam berhianat kepada siang atau menunggu matahari tak lagi menampakkan wajah panasnya agar fenomena ini berakhir.

***

Sepanjang jalan yang aku rayapi, selalu memberikan tontonan yang tidak nyaman pada mata. Kemanapun melangkah aku selalu dihantui dengan gila. Banyak rekan bisnisku selalu mengalami hal tersebut, dalam pendidikanpun juga mengalami hal tersebut, hingga pusat keramaian baik pasar, mall, wisata dipenuhi oleh orang gila. Lantas, bagaiman nasib penerus berikutnya? Entah hal apa yang dapat menghentikannya? Ini sudah tidak dapat dikendalikan, banyak etika diganti dengan tertawa, banyak aturan di ganti dengan kejahatan, dan banyak berita di ganti isu tak bermoral. Aku, kamu, dan kalian dihantui robot-robot genggam, demi keinginan maka tercipta kerakusan dan dari kecanggihan maka tercipta kesempatan. Kesempatan yang mengubah spiritual, etika moral, dan aturan-aturan sebagai bukti bahwa aku adalah eksistensi fenomena kecanggihan.

Salam

Rizki Subbeh

09-04-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun