Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Langkah Kontekstual

21 Maret 2018   00:53 Diperbarui: 21 Maret 2018   01:09 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dasar gembel.."
akupun tertawa mendengarnya. Banyak orang mengatakan aku sebagai orang gila, karena selalu tertawa ketika ada yang mengolokku. Sudah 2 tahun aku berjalan tanpa arah tujuan. Dari hujan yang selalu mengguyur tubuhku, dari dingin selalu menusuk pori-pori kulitku, dan dari panasnya sengatan matahari selalu menggobyoskan keringat badanku. 

Aku selalu berjalan mengikuti mata kaki serta alur jalan otak. Banyak orang yang mengawasi gerak-gerikku, mungkin mereka menganggap orang yang wajib diwaspadai karena dari penampilanku sudah tidak meyakinkan lagi. Jaket parka lusut tidak pernah dicuci, bolot kulit menebal, gigi kuning tidak bersih, rambutpun tidak rapi karena sudah panjang tak terurus lagi, dan yang paling miris adalah keadaan tubuh yang kurus kering. Aku seperti gembel namun memiliki identitas lengkap, mulai dari E-KTP, SIM, Paspor, Kartu Pegawai, BPJS, NPWP, serta Kartu Anggota Komunitas pada saat kuliah. 

Aku melakukan perjalanan ini terkesan konyol, karena aku ingin berpetualang, dari kampung satu ke kampung lain, dari desa satu ke desa lain, dari kota satu ke kota lain. Tanpa ada alasan aku meninggalkan semua yang aku miliki di rumah, termasuk pekerjaanku sebagai pengacara. Ini bukan terinspirasi dari film Into The Wild, dimana film tersebut menceritakan tentang seorang tokoh idealisme yang memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarga dan gaya hidupnya demi kebebas yang menyatu dengan alam. 

Atau film Wild yang hampir sama dengan Into The Wild, garis perbedaannya terletak pada penebusan kesalahan dimasa lalunya, kemudia memutuskan untuk melakukan perjalanan menyakitkan melintasi Gurun Mojave yang terkenal sebagai gurun beriklim gersang. Bayangkan saja gurun yang terletak di sekitar Las Vegas tersebut hanya mengalami musim panas dengan kisaran 300hari dalam satu tahun. 

Perjalananku sangat berbeda, bahkan aku tidak memiliki misi seperti film-film yang aku sebutkan. Aku masih memperlengkapi bawaanku seperti kompas dan pisau, ini sebagai jaga-jaga jika aku tersesat atau kehabisan uang sehingga pisau itu sebagai alat pembantu demi kelangsungan hidup.

Perjalanan ini tidak jelas tujuannya, aku hanya ingin melihat kawasan sekitarku saja. Tidak ada misi apapun, tidak ada target apapun, ini merupakan naluriku sendiri yang ingin hidup berkelana. Aku membawa tas gunung yang sering dipakai saat masih gencar dengan pendakian. Aku lengkapi isinya mulai dari makanan ringan, makanan isntan, minuman instan, kompor gunung, dan uang 1 juta. Sedangkan untuk baju sengaja tidak membawa, peralatan mandipun membawa secukupnya, untuk identitas masih aku bawa kecuali ATM. 

Tujuannya agar ketika aku mati ditengah perjalanan, warga dapat  mengantarkan mayatku ke orang tua. Itu prediksi terburuk pada  perjalananku. Tapi dalam tas gunungku juga tersedia alat tulis, 3 buku diary dan 3 pack bulpoint merk pilot. Ini aku gunakan untuk mencatat hal-hal unik yang aku lihat dalam perjalanan ini. 

Dalam perjalananku ini selalu aku sempatkan menulis hal-hal yang aku lihat, yang bagiku sangat penting. Catatan pertamaku adalah tragedi olokan pada diri sendiri. Terkesan lucu jika aku menulis tragedi itu, karena yang aku tulis kisah atau kejadian yang aku alami sendiri. Status gembel sudah melekat saat perjalananku berusia 6 bulan, dari 6 bulan memang penampilanku sudah mulai berubah, dari bersih menjadi kumus, rambut panjang yang menyerupai gimbal karena lama tidak mandi dengan sampho, jaket parka yang sudah kusut dengan jamur keringat yang menempel serta campuran tanah bekas tidur yang beralasan dengan tanah. 

Setiap kali aku melintasi keramaian, anak kecil akan mengolokiku "gemberl-gembel", pandangan mata orang dewasa yang terkesan jijik, ada juga yang memenggil orang gila. Awalnya aku ingin marah dan menunjukkan identitas yang aku bawa. Namun, aku mulai terbiasa karena mereka hanya mengira-ngira, jadi responku terhadap celotehan itu hanyalah tertawa.

Catatan keduaku yaitu tragedi warga yang menelanjangi seorang banci. Entah apa yang dipersoalkan, aku mulai mendekat saat melihat tubuhnya sudah ditelanjangi. Beberapa orang yang melihatku mendekat agak menjauh, namun aku tetap maju ingin melihat siapa yang ditelanjangi. Setelah aku sukses menembus kerumunan warga, mataku tercengang karena ada seorang laki-laki dengan wajah yang memakai alat kecantikan. 

Aku mulai tidak tertarik setelah melihatnya. Karena pantaslah, dia banci akan dianggap remeh oleh warga dan mungkin dia juga melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Namun ketika aku ingin meninggalkan tempat itu, pikiranku mulai berputar dan penasaran apa yang menyebabkan dia ditelanjangi oleh warga. Dipojok rumah salah satu warga duduklah seorang nenek, akupun menghampirinya, nenekpun tidak merasa canggung melihat diriku. Dengan tenang dia menjawab penyebab kenapa dia ditelanjangi "iku di udani mergone due penyakit seng iso mateni nak" jawab nenek tersebut. 

Akupun melanjutkan penasaranku "loh wes enek buktine ta mbah? nopo tiang-tiang niku cuma ngiro-ngiro mawon?", mbahpun dengan seksama mendengarkan pertanyaanku kemudian menjawabnya "langgeh niku, lawong tiang-tiang tasek tirose mawon, tiang-tiang niku wedi ketular karo penyakite". Mendengar jawabannya aku tercengang hanya karena kabar yang tidak pasti sudah langsung main hakim sendiri. Akupun pamit setelah mengetahui alasan kenapa ditelanjangi oleh warga.

Catatan ketigaku ialah tragedi kupu-kupu malam seperti lagu yang pernah dinyanyikan oleh band ternama Indonesia "peterpan". Saat itu aku  melintasi rel kereta api di malam hari. Banyak wanita separuh baya yang duduk dipinggir rel dengan beralasan tikar plastik kantong permen. Karena   aku melihatnya merokok, maka aku menghampiri bermaksud untuk meminta sebatang rokok. 

Pelacur itupun mengira aku akan membelinya, dia langsung menyambut diriku dengan senyuman. Aku sebenarnya merasa canggung, karena dalam pengalaman hidup tidak pernah menyinggahi lokalisasi. Apalagi tempat lokalisasi ini terkesan kumuh, tidak layak untuk dibilang sebagai lokasi pelacuran. Sebab, ku lihat sekitar tidak ada pelacur yang masih muda belia. Akupun melontarkan maksud menghampirinya, "Bu, saya kesini cuma sebatas kebetulan melintasi tempat ini, saya juga bermaksud untuk meminta sebatang rokok itu". 

Mendengar lontaranku tersebut, ibu separuh baya itu tidak percaya "sudah lah mas, jangan pura-pura, semua yang datang kesini kebanyakan melontarkan alasan terlebih dahulu, padahal disini lo sudah jelas tempat mencari nafsu". 

Sambil bicara diapun meraih bagin tubuhku, akupun sedikit risih. Sehingga aku memperjelasnya lagi "bu, saya bukan orang sini, ini ktp saya. Saya kesini hanya minta rokok setelah itu pergi dari sini". Ibu itupun mulai melihat identitasku, setelah itu tanpa basa basi dia memberikan sebatang rokok diatas KTP-ku. "maaf ya dek, saya bisa memberi hanya sebatang rokok saja. 

Soalnya, kami dsini mengumpulkan uang Rp. 10.000 dari pelanggan jadi tidak bisa memberikan rokok lebih". Keterangannya mengenai uang itu, akupun kaget, ini pelacuran apa dagang sayuran. Merelakan tubuh hanya dengan uang 10.000 ribu. Miris aku mendengarnya, namun karena aku butuh rokok maka aku tetap menerimanya. Karena mustahil aku dapat membeli, uangpun sudah habis. Ku hisap rokok itu sambil berpamitan dengan Ibu pelacur. 

Dengan ras hormat, saya mengucapkan banyak terimakasih dan memohon maaf harus meminta kepadanya. Akupun meninggalkan tepat itu dengan sejuta pikiran, sungguh berat kehidupan ini. Banyak usaha demi kelangsungan hidup meski menaruhkan segala hal dan melewati strata sosial pada masyarakat.

Catatan keempatku tragedi hukum, kala itu aku melewati balaidesa. Tepak pukul 09.00 pagi. Disana ada keramaian seperti orang rapat. Ada yang menangis, ada yang marah-marah. Aku juga melihat beberapa perangkat desa yang nyaman melihat kejadian itu, mereka tidak ikut mengurusi, malah mereka asik menikmati makanan dengan menonton ketegangan di depan mata. Di bahu jalan warga melihatnya, akupun bertanya ke warga tersebut. 

Meski bapak itu sedikit takut denganku. "itu kenapa ya pak? kok ramai-ramai?", bapak itu tidak begitu menggubris pertanyaanku, mungkin karena penampilan gembelku, sehingga dia mengira aku tidak waras. Namun, aku tetap saja melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Kemudian dia menjawab dengan bentakan keras, "itu masalah anak dengan orang tua, karena sang anak menuntut orang tua". Ku lanjutkan pertanyaanku meski harus dibentak lagi "loh menuntut orang tua gimana pak?". 

Dia pun menjawab tanpa melihat lawan bicaranya dan dengan nada yang seperti meremehkan siapa yang bertanya "halah, dia menuntut hak warisnya". Setelah itu, aku mulai gemetar dengan sikap menajwabnya, namun aku tidak melanjutkan lagi. Aku takut, emosiku meninggi, maka aku pergi dengan jawaban dari beliau.

Perjalananku masih panjang, mungkin saja aku pulang dengan segudang catatan. Ini mengajarkanku poin tertentu, dari beberapa catatan yang bagiku bermutu. Meski perjalanan yang aneh ini harus mengorbankan segala hal, aku tetap melakuaknnya. Bagiku ini adalah perjalanan kisah yang mengajarkan apa yang dilihat oleh mata, yang di dengar telinga, dan yang dipikirkan oleh otak bukan kemutlakan makna. Karena, masih ada struktur lain yang melatar belakanginya. 

Hidup itu bukan anggapan absolut melainkan konstekstual karena anggap yang hadir sebagai kontruksi sosial yang menyejarah artinya keputusan pemikiran bukanlah hasil makna final. Aku gembel berjalan di mata sosial.

Salam

Rizki Subbeh

 Jember, 21-03-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun