Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Langkah Kontekstual

21 Maret 2018   00:53 Diperbarui: 21 Maret 2018   01:09 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akupun melanjutkan penasaranku "loh wes enek buktine ta mbah? nopo tiang-tiang niku cuma ngiro-ngiro mawon?", mbahpun dengan seksama mendengarkan pertanyaanku kemudian menjawabnya "langgeh niku, lawong tiang-tiang tasek tirose mawon, tiang-tiang niku wedi ketular karo penyakite". Mendengar jawabannya aku tercengang hanya karena kabar yang tidak pasti sudah langsung main hakim sendiri. Akupun pamit setelah mengetahui alasan kenapa ditelanjangi oleh warga.

Catatan ketigaku ialah tragedi kupu-kupu malam seperti lagu yang pernah dinyanyikan oleh band ternama Indonesia "peterpan". Saat itu aku  melintasi rel kereta api di malam hari. Banyak wanita separuh baya yang duduk dipinggir rel dengan beralasan tikar plastik kantong permen. Karena   aku melihatnya merokok, maka aku menghampiri bermaksud untuk meminta sebatang rokok. 

Pelacur itupun mengira aku akan membelinya, dia langsung menyambut diriku dengan senyuman. Aku sebenarnya merasa canggung, karena dalam pengalaman hidup tidak pernah menyinggahi lokalisasi. Apalagi tempat lokalisasi ini terkesan kumuh, tidak layak untuk dibilang sebagai lokasi pelacuran. Sebab, ku lihat sekitar tidak ada pelacur yang masih muda belia. Akupun melontarkan maksud menghampirinya, "Bu, saya kesini cuma sebatas kebetulan melintasi tempat ini, saya juga bermaksud untuk meminta sebatang rokok itu". 

Mendengar lontaranku tersebut, ibu separuh baya itu tidak percaya "sudah lah mas, jangan pura-pura, semua yang datang kesini kebanyakan melontarkan alasan terlebih dahulu, padahal disini lo sudah jelas tempat mencari nafsu". 

Sambil bicara diapun meraih bagin tubuhku, akupun sedikit risih. Sehingga aku memperjelasnya lagi "bu, saya bukan orang sini, ini ktp saya. Saya kesini hanya minta rokok setelah itu pergi dari sini". Ibu itupun mulai melihat identitasku, setelah itu tanpa basa basi dia memberikan sebatang rokok diatas KTP-ku. "maaf ya dek, saya bisa memberi hanya sebatang rokok saja. 

Soalnya, kami dsini mengumpulkan uang Rp. 10.000 dari pelanggan jadi tidak bisa memberikan rokok lebih". Keterangannya mengenai uang itu, akupun kaget, ini pelacuran apa dagang sayuran. Merelakan tubuh hanya dengan uang 10.000 ribu. Miris aku mendengarnya, namun karena aku butuh rokok maka aku tetap menerimanya. Karena mustahil aku dapat membeli, uangpun sudah habis. Ku hisap rokok itu sambil berpamitan dengan Ibu pelacur. 

Dengan ras hormat, saya mengucapkan banyak terimakasih dan memohon maaf harus meminta kepadanya. Akupun meninggalkan tepat itu dengan sejuta pikiran, sungguh berat kehidupan ini. Banyak usaha demi kelangsungan hidup meski menaruhkan segala hal dan melewati strata sosial pada masyarakat.

Catatan keempatku tragedi hukum, kala itu aku melewati balaidesa. Tepak pukul 09.00 pagi. Disana ada keramaian seperti orang rapat. Ada yang menangis, ada yang marah-marah. Aku juga melihat beberapa perangkat desa yang nyaman melihat kejadian itu, mereka tidak ikut mengurusi, malah mereka asik menikmati makanan dengan menonton ketegangan di depan mata. Di bahu jalan warga melihatnya, akupun bertanya ke warga tersebut. 

Meski bapak itu sedikit takut denganku. "itu kenapa ya pak? kok ramai-ramai?", bapak itu tidak begitu menggubris pertanyaanku, mungkin karena penampilan gembelku, sehingga dia mengira aku tidak waras. Namun, aku tetap saja melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Kemudian dia menjawab dengan bentakan keras, "itu masalah anak dengan orang tua, karena sang anak menuntut orang tua". Ku lanjutkan pertanyaanku meski harus dibentak lagi "loh menuntut orang tua gimana pak?". 

Dia pun menjawab tanpa melihat lawan bicaranya dan dengan nada yang seperti meremehkan siapa yang bertanya "halah, dia menuntut hak warisnya". Setelah itu, aku mulai gemetar dengan sikap menajwabnya, namun aku tidak melanjutkan lagi. Aku takut, emosiku meninggi, maka aku pergi dengan jawaban dari beliau.

Perjalananku masih panjang, mungkin saja aku pulang dengan segudang catatan. Ini mengajarkanku poin tertentu, dari beberapa catatan yang bagiku bermutu. Meski perjalanan yang aneh ini harus mengorbankan segala hal, aku tetap melakuaknnya. Bagiku ini adalah perjalanan kisah yang mengajarkan apa yang dilihat oleh mata, yang di dengar telinga, dan yang dipikirkan oleh otak bukan kemutlakan makna. Karena, masih ada struktur lain yang melatar belakanginya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun