"Dasar gembel.."
akupun tertawa mendengarnya. Banyak orang mengatakan aku sebagai orang gila, karena selalu tertawa ketika ada yang mengolokku. Sudah 2 tahun aku berjalan tanpa arah tujuan. Dari hujan yang selalu mengguyur tubuhku, dari dingin selalu menusuk pori-pori kulitku, dan dari panasnya sengatan matahari selalu menggobyoskan keringat badanku.Â
Aku selalu berjalan mengikuti mata kaki serta alur jalan otak. Banyak orang yang mengawasi gerak-gerikku, mungkin mereka menganggap orang yang wajib diwaspadai karena dari penampilanku sudah tidak meyakinkan lagi. Jaket parka lusut tidak pernah dicuci, bolot kulit menebal, gigi kuning tidak bersih, rambutpun tidak rapi karena sudah panjang tak terurus lagi, dan yang paling miris adalah keadaan tubuh yang kurus kering. Aku seperti gembel namun memiliki identitas lengkap, mulai dari E-KTP, SIM, Paspor, Kartu Pegawai, BPJS, NPWP, serta Kartu Anggota Komunitas pada saat kuliah.Â
Aku melakukan perjalanan ini terkesan konyol, karena aku ingin berpetualang, dari kampung satu ke kampung lain, dari desa satu ke desa lain, dari kota satu ke kota lain. Tanpa ada alasan aku meninggalkan semua yang aku miliki di rumah, termasuk pekerjaanku sebagai pengacara. Ini bukan terinspirasi dari film Into The Wild, dimana film tersebut menceritakan tentang seorang tokoh idealisme yang memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarga dan gaya hidupnya demi kebebas yang menyatu dengan alam.Â
Atau film Wild yang hampir sama dengan Into The Wild, garis perbedaannya terletak pada penebusan kesalahan dimasa lalunya, kemudia memutuskan untuk melakukan perjalanan menyakitkan melintasi Gurun Mojave yang terkenal sebagai gurun beriklim gersang. Bayangkan saja gurun yang terletak di sekitar Las Vegas tersebut hanya mengalami musim panas dengan kisaran 300hari dalam satu tahun.Â
Perjalananku sangat berbeda, bahkan aku tidak memiliki misi seperti film-film yang aku sebutkan. Aku masih memperlengkapi bawaanku seperti kompas dan pisau, ini sebagai jaga-jaga jika aku tersesat atau kehabisan uang sehingga pisau itu sebagai alat pembantu demi kelangsungan hidup.
Perjalanan ini tidak jelas tujuannya, aku hanya ingin melihat kawasan sekitarku saja. Tidak ada misi apapun, tidak ada target apapun, ini merupakan naluriku sendiri yang ingin hidup berkelana. Aku membawa tas gunung yang sering dipakai saat masih gencar dengan pendakian. Aku lengkapi isinya mulai dari makanan ringan, makanan isntan, minuman instan, kompor gunung, dan uang 1 juta. Sedangkan untuk baju sengaja tidak membawa, peralatan mandipun membawa secukupnya, untuk identitas masih aku bawa kecuali ATM.Â
Tujuannya agar ketika aku mati ditengah perjalanan, warga dapat  mengantarkan mayatku ke orang tua. Itu prediksi terburuk pada  perjalananku. Tapi dalam tas gunungku juga tersedia alat tulis, 3 buku diary dan 3 pack bulpoint merk pilot. Ini aku gunakan untuk mencatat hal-hal unik yang aku lihat dalam perjalanan ini.Â
Dalam perjalananku ini selalu aku sempatkan menulis hal-hal yang aku lihat, yang bagiku sangat penting. Catatan pertamaku adalah tragedi olokan pada diri sendiri. Terkesan lucu jika aku menulis tragedi itu, karena yang aku tulis kisah atau kejadian yang aku alami sendiri. Status gembel sudah melekat saat perjalananku berusia 6 bulan, dari 6 bulan memang penampilanku sudah mulai berubah, dari bersih menjadi kumus, rambut panjang yang menyerupai gimbal karena lama tidak mandi dengan sampho, jaket parka yang sudah kusut dengan jamur keringat yang menempel serta campuran tanah bekas tidur yang beralasan dengan tanah.Â
Setiap kali aku melintasi keramaian, anak kecil akan mengolokiku "gemberl-gembel", pandangan mata orang dewasa yang terkesan jijik, ada juga yang memenggil orang gila. Awalnya aku ingin marah dan menunjukkan identitas yang aku bawa. Namun, aku mulai terbiasa karena mereka hanya mengira-ngira, jadi responku terhadap celotehan itu hanyalah tertawa.
Catatan keduaku yaitu tragedi warga yang menelanjangi seorang banci. Entah apa yang dipersoalkan, aku mulai mendekat saat melihat tubuhnya sudah ditelanjangi. Beberapa orang yang melihatku mendekat agak menjauh, namun aku tetap maju ingin melihat siapa yang ditelanjangi. Setelah aku sukses menembus kerumunan warga, mataku tercengang karena ada seorang laki-laki dengan wajah yang memakai alat kecantikan.Â
Aku mulai tidak tertarik setelah melihatnya. Karena pantaslah, dia banci akan dianggap remeh oleh warga dan mungkin dia juga melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Namun ketika aku ingin meninggalkan tempat itu, pikiranku mulai berputar dan penasaran apa yang menyebabkan dia ditelanjangi oleh warga. Dipojok rumah salah satu warga duduklah seorang nenek, akupun menghampirinya, nenekpun tidak merasa canggung melihat diriku. Dengan tenang dia menjawab penyebab kenapa dia ditelanjangi "iku di udani mergone due penyakit seng iso mateni nak" jawab nenek tersebut.Â