Mohon tunggu...
Karyantri Dewi
Karyantri Dewi Mohon Tunggu... -

Relawan LSM, peminat isu-isu sosial, budaya, kesehatan dan kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gigi

15 Juli 2010   02:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari masih pagi, namun jalanan telah dipadati bermacam kendaraan. Deru mesin ditingkah berbagai suara riuh rendah bersahutan. Matahari yang baru meninggi pun mulai terasa menyengat tak ramah. Tergesa, beberapa pengendara tampak kehilangan kesabaran, dan melontarkan sumpah serapah.

Mobil kami berada tepat di belakang sebuah truk sampah yang menebar bau busuk dan mengepulkan asap hitam. Sempurnalah koyaknya suasana hari yang semula cerah.

“Hhh.. Awal yang buruk,” keluh saya dalam hati.

Saya menebar pandangan dengan enggan. Tak sengaja, mata saya tertumbuk pada stiker kuning yang melekat pada spatbor sebuah motor keluaran 90an.
Lelaki sejati pasti oper gigi. Demikian pesannya.

Kalimat pendek itu langsung mengalihkan perhatian saya dari situasi sekitar yang makin menyesakkan. Terbit rasa penasaran saya ingin melihat sosok si pengendara. Seberapa ‘lelaki’kah ia? Sayang, kepadatan lalu lintas tak memungkinkan kendaraan kami bersisian.

Seperti telah diatur, tiba-tiba dari sebelah kiri muncul sebuah motor otomatik dengan stiker kuning yang sama pada spatbornya. Huruf-huruf hitam itu jelas terbaca:
Hare genee masih pake geegee?

Pecah tawa saya seketika. Sementara itu, kedua pengendara motor agaknya sama sekali tak menyadari kekontrasan yang terpampang di bagian belakang motor mereka.

“Kenapa mama ketawa?” tanya si bungsu heran.

Saya mengusap rambutnya seraya menggoyangkan kepala tanpa arti. Kalaupun bocah kecil itu sudah bisa membaca, ia mungkin tak akan mengerti di mana letak kelucuan kata-kata di stiker-stiker itu. Sedang bagi saya sendiri, sulit rasanya menemukan jawaban yang cukup sederhana bagi anak seumurnya.

Ketika motor otomatik pertama kali diluncurkan ke pasaran, salah satu strategi produsennya adalah membidik segmen komuter perempuan dengan kebutuhan sarana transportasi yang praktis, mudah, dan murah. Untuk itu, sebagian pesan dan kemasan iklan motor tanpa persneleng pun disesuaikan dengan pencitraan yang cenderung feminin. Jika iklan motor bertransmisi manual biasanya menampilkan perempuan sebagai ‘pemanis’, iklan motor otomatik banyak menampilkan perempuan sebagai tokoh sentral. Mungkin itu sebabnya motor otomatik dianggap sebagai 'motor perempuan', sehingga laki-laki yang mengendarainya dianggap kurang jantan.

Apa yang tertera pada stiker-stiker itu sebetulnya merupakan jejak konstruksi sosial tentang jender, yang membedakan lelaki dan perempuan berdasarkan ciri-ciri tertentu di luar sifat-sifat kodrati mereka. Ada hal-hal yang oleh masyarakat dianggap pantas atau tidak pantas ditampilkan oleh masing-masing jender dalam sikap dan perilaku mereka sehari-hari, seperti cara bicara, berjalan, hingga pilihan profesi. Dari situ, kelelakian dan keperempuanan seorang individu dinilai berdasarkan tingkat kesesuaian dengan standar yang ditetapkan oleh masyarakat secara kolektif. Ibarat semen dan batu, norma dan budaya selanjutnya menjadi faktor yang memperkokoh konstruksi sosial tersebut. Tanpa disadari, sedikit demi sedikit praktik-praktik semacam itu akhirnya menciptakan kesenjangan yang berujung pada diskriminasi jender.

Begitu banyak kasus dimana pembedaan berdasarkan jender menyebabkan hilangnya kesempatan seseorang untuk berkarya di bidang tertentu. Sebagai contoh, meski dalam ranah domestik dapur dianggap sebagai teritori perempuan, profesi chef atau juru masak di hotel berbintang dan restoran ternama sampai saat ini masih dikuasai kaum laki-laki. Sifat emosional dan kelemahlembutan yang dianggap sebagai ciri perempuan melahirkan kesimpulan bahwa tugas chef yang mesti bergelut dengan peralatan masak yang berat, disertai tekanan untuk menghasilkan masakan dengan standar rasa tertentu secara konstan, tidak sesuai untuk perempuan. Di sisi lain, profesi yang menuntut perhatian dan kesabaran seperti perawat misalnya, dianggap tidak cocok dilakukan oleh laki-laki.

Konstruksi sosial juga menentukan standar tentang peran ayah dan ibu dalam pengasuhan anak. Saya ingat seorang pembicara dari badan PBB untuk kependudukan berkata dalam sebuah seminar, “Jika seorang ayah meminta izin untuk meninggalkan rapat karena ingin mendampingi anaknya bertanding, ia adalah ayah yang hebat. Tapi jika seorang ibu melakukan hal yang sama, ia mungkin dianggap sekedar mencari alasan untuk menghindari rapat itu, dan akan dicatat sebagai pegawai yang kurang produktif dibanding sejawatnya yang laki-laki. Kelak, asumsi-asumsi itu turut menentukan jenjang karir serta imbalan yang dianggap layak bagi yang bersangkutan.”

...“Ma, jalan ma!”
Suara si bungsu membangunkan saya dari lamunan. Hati-hati, saya menginjak pedal gas untuk meneruskan perjalanan. Tak jauh dari situ, motor manual yang dari tadi saya amati menepi. Pengendaranya merogoh sesuatu - agaknya handphone - dari saku jaketnya. Saat itulah saya melihat ujung kerudung si pngendara mnjuntai di bawah helm yang dikenakannya. “Hmm.. Ternyata seorang perempuan!”

Bibir saya masih membentuk garis senyum ketika saya menemukan stiker hitam dengan pesan serupa, kali ini menempel pada helm seorang pengendara skuter. Tulisannya berbunyi:
Hari gini ga punya gigi? OMPONG dong!!

Saya tertawa lebih keras. Tak dapat saya jelaskan mengapa, tapi pesan terakhir itu membuat saya lega. Apapun yang terjadi, hari itu tidaklah berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Karena itu, saya yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun