Penulis : Aulia Widiastuti (151220059) & Karunya Saka Listianto (151220060)
Ashley dan Miller (dikutip dalam Thompson, 199) menyatakan bahwa kedaulatan diberikan kepada negara oleh penguasa dan negara lainnya, dan bukan menjadi atribut negara melalui pengakuan. Fakta bahwa negara-negara saling mengakui satu sama lain sebagai otoritas yang sama adalah yang membuat sistem negara modern menjadi unik, meskipun mereka berbeda dalam ukuran, kemampuan kekuatan, dan status keberadaan negara (Thomson, 1995). Kedaulatan adalah hak eksklusif untuk melaksanakan kekuasaan politik tertinggi (legislatif, yudikatif, eksekutif) atas suatu wilayah geografis, sekelompok orang, atau atas diri sendiri.
Konsep kedaulatan berada pada persimpangan beberapa cabang hukum, seperti hukum konstitusi, hukum internasional publik, dan hukum komunitas (TTAR & MOII, 2022). Menurut ensiklopedia Britannica, kedaulatan, dalam teori politik, adalah pengawas tertinggi atau otoritas dalam proses pengambilan keputusan negara dan dalam menjaga ketertiban.
Konsep kedaulatan, salah satu ide paling kontroversial dalam ilmu politik dan hukum internasional, erat kaitannya dengan konsep sulit negara dan pemerintah, serta kemerdekaan dan demokrasi. Berasal dari bahasa Latin "superanus" melalui bahasa Prancis "souverainet", istilah ini awalnya dipahami sebagai kekuasaan tertinggi. Namun, penerapannya dalam praktik sering kali menyimpang dari makna tradisional tersebut (Britannica, 2023).
Kedaulatan memiliki tiga perspektif utama yaitu realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Pandangan mengenai dasar moral kedaulatan sangat beragam. Terdapat polaritas fundamental antara teori yang menyatakan bahwa kedaulatan diberikan langsung kepada penguasa oleh hak ilahi atau alamiah, dan teori yang menyatakan bahwa kedaulatan berasal dari rakyat. Dalam kasus terakhir, terdapat pembagian lebih lanjut antara yang mengatakan bahwa rakyat mentransfer kedaulatan mereka kepada penguasa, dan yang mengatakan bahwa rakyat mempertahankan kedaulatan mereka (Onwe, & Nwogbaga, , 2015).
Pandangan realisme yang berasal dari tulisan Thomas Hobbes berdasarkan teori kontrak sosial di mana Ia membela kedaulatan mutlak. Mereka mempertahankan bahwa kedaulatan tidak dapat diganggu gugat dan hanya diberikan kepada negara-negara yang sah. Hobbes memperkenalkan versi modern teori kontrak sosial, dengan mengajukan argumen bahwa manusia harus membentuk sebuah negara dan mematuhi kekuasaan tertinggi yang memaksa mereka bertindak untuk kebaikan bersama.
Realisme berpendapat bahwa kedaulatan termanifestasi dimana kekuasaan berada pada negara-negara yang memiliki kemampuan paling besar untuk memaksakan kehendak negara tersebut, dengan kekuatan atau ancaman kekerasan, atas rakyat atau negara lain yang memiliki kemauan politik atau militer yang lebih lemah (Thomson, 1995).
Realisme memandang kedaulatan negara sebagai hak eksklusif untuk melakukan kekuasaan politik tertinggi atas wilayah geografis, sekelompok orang, atau atas diri sendiri, dan bahwa kedaulatan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Kaum realis percaya bahwa kedaulatan hanya diberikan kepada negara-negara yang sah, atau negara-negara yang memiliki kemampuan paling besar untuk memaksakan kehendak negara tersebut atas rakyat atau negara lain yang memiliki kemauan politik atau militer yang lebih lemah.
Dalam pandangan realis, negara-negara bersaing satu sama lain untuk mempertahankan kedaulatan mereka dan mencapai kekuasaan dan keuntungan bagi negara mereka sendiri. Pandangan realis ini menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan global atau kemanusiaan (Mearsheimer, 2014).
Salah satu contoh kasus dimana kedaulatan negara tidak dapat diintervensi oleh negara lain adalah kebijakan "Satu China" terkait Taiwan. Taiwan secara de facto merupakan negara yang berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Namun, Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok) mengklaim Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dan menegaskan kebijakan "Satu China", yang menganggap bahwa Taiwan sebagai provinsi yang memberontak dan harus kembali di bawah kekuasaan Tiongkok.
Dalam upaya mengembalikan Taiwan dalam kekuasaannya, Tiongkok menggunakan berbagai alat diplomasi, ekonomi, dan pengaruh politik untuk mendorong negara-negara lain agar tidak menjalin hubungan resmi atau mengakui kedaulatan Taiwan. Meskipun beberapa negara menjalin hubungan tidak resmi atau menjaga hubungan dagang dengan Taiwan, upaya-upaya untuk secara resmi mengakui kedaulatan Taiwan terbatas karena risiko memicu reaksi negatif dari Tiongkok, termasuk sanksi ekonomi dan penurunan hubungan bilateral (Chen & Lim, 2018).
Dalam kasus ini, padangan realisme memandang bahwa negara-negara cenderung memprioritaskan kepentingan nasional dan menjaga hubungan dengan negara yang dianggap lebih kuat dan berpengaruh, seperti Tiongkok, daripada memperjuangkan kedaulatan Taiwan. Ini menunjukkan bagaimana realitas geopolitik dan persaingan kekuatan dapat mempengaruhi kemampuan sebuah negara untuk terhindar dari intervensi oleh negara lain terhadap kedaulatannya (Mearsheimer, 2014).
Meskipun kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari sebuah negara, dalam beberapa situasi kedaulatan juga dapat diintervensi oleh negara lain ketika terdapat argumen kemanusiaan, perlindungan terhadap hak asasi, atau alasan-alasan geopolitik tertentu yang dianggap penting oleh negara-negara yang melakukan intervensi (Power, 2002).
Salah satu contoh kasus dimana kedaulatan sebuah negara dapat diintervensi oleh negara lain adalah intervensi militer yang terjadi di Libya pada tahun 2011. Pada saat itu, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris, bersama dengan negara lainnya, melakukan intervensi militer di Libya untuk mendukung pemberontakan melawan rezim pemerintahan Muammar Gaddafi.
Negara-negara yang melakukan intervensi berargumen bahwa tindakan intervensi tersebut untuk melindungi rakyat Libya dan memperjuangkan hak asasi manusia, serta menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh rezim Gaddafi terhadap warga sipil, mereka juga mengklaim bahwa intervensi tersebut bertujuan membangun demokrasi dan stabilitas di Libya. Intervensi ini mencakup serangan udara, operasi militer, dan dukungan langsung kepada kelompok pemberontak. Hal ini mengubah dinamika konflik di Libya yang berpengaruh terhadap perubahan rezim di negara tersebut (Lvy, 2011)
KESIMPULAN
Ketika berbicara mengenai kedaulatan negara, terdapat beberapa perspektif yang dapat dianalisis, termasuk pandangan realisme. Realisme menekankan bahwa kedaulatan negara diakui sebagai prinsip dasar dalam hubungan internasional yang memberikan negara kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak di dalam wilayahnya tanpa campur tangan dari negara atau organisasi internasional lainnya, dan mereka bersaing untuk mempertahankan kedaulatan mereka dna mencapai keuntungan nasional (Mearsheimer, 2014).
Contoh kasus "Satu China" terkait Taiwan menunjukkan bagaimana negara-negara dapat berupaya mempengaruhi pengakuan internasional terhadap kedaulatan suatu negara. Tiongkok mengklaim Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dna melakukan berbagai upaya untuk mencegah pengakuan internasional terhadap kedaulatan Taiwan. Dalam hal ini, kekuatan politik dan ekonomi Tiongkok memainkan peran penting dalam mempengaruhi negara-negara lain untuk tidak mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat (Chen & Lim, 2018).
Meskipun begitu, dalam beberapa situasi tertentu, masyarakat internasional dapat melakukan intervensi dalam kedaulatan suatu negara, seperti dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan internasional, atau alas dan geopolitik tertentu yang dianggap penting.
Contohnya adalah kasus intervensi militer di Libya pada tahun 2011 yang menunjukkan bagaimana negara-negara Barat melakukan intervensi untuk melindungi rakyat Libya dari kekerasan yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Gaddafi. Meskipun intervensi tersebut didasarkan pada argument perlindungan hak asasi manusia dan pembangunan demokrasi, intervensi tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan atas dasar yang kuat dalam hukum internasional karena dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut (Lvy, 2011).
Konsep kedaulatan negara merupakan isu yang kompleks dan kontroversial dalam ilmu politik dan hukum internasional. Pandangan realisme menekankan kekuasaan dna persaingan antar negara untuk mempertahankan kedaulatan mereka, Namun, kedaulatan negara juga dapat diintervensi oleh negara lain dalam situasi-situasi yang dianggap penting. Pengakuan internasional, kekuatan politik dan ekonomi, serta pertimbangan kemanusaian dapat memperngaruhi intervensi terahdap kedaulatan suatu negara (Slaughter, 2012).
Sejauh mana intervensi dapat dilakukan bergantung pada norma-norma internasional yang ditetapkan oleh masyarakat internasional. Menurut buku "International Law" karya Malcolm Shaw, intervensi dapat dilakukan dalam situasi pelanggaran hak asasi manusia, ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional, atau krisis kemanusiaan. Namun, intervensi harus memenuhi prinsip-prinsip hukum internasional, seperti prinsip non-intervensi, yang melarang negara untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain tanpa persetujuan atau otorisasi dari negara tersebut atau Dewan Keamanan PBB (Malcolm, 2017).
Penulis : Aulia Widiastuti (151220059) & Karunya Saka Listianto (151220060)
Penulis adalah mahasiswa semester 2 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta
SUMBER
Krisna, Y. A. (2017). Kedaulatan dan Intervensi Kemanusiaan dalam Hubungan Internasional. Jurnal Global & Strategis, 11(2), 159-169.
Thomson, J. E. (1995). State Sovereignty in International Relations: Bridging the gap between theory and empirical research. International Studies Quarterly, 39(2), 213. https://doi.org/10.2307/2600847
Mearsheimer, J. J. (2014). The tragedy of great power politics. W. W. Norton & Company.
Onwe, , Dr. S. O., & Nwogbaga, , D. M. E. (2015). Conceptual Issues and Theoretical Analysis of Sovereignty. Research on Humanities and Social Sciences, 5, 19–24. https://core.ac.uk/download/pdf/234674366.pdf
TĂTAR, R. G., & MOIȘI, A. (2022). The concept of sovereignty. Journal of Public Administration, Finance and Law, (24), 292–303. https://doi.org/10.47743/jopafl-2022-24-27
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2023, April 3). sovereignty. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/sovereignty
Chen,J.,&Lim,W.(2018).China’s “One China” Policy and Its Relations with Taiwan, The Pacific review, 31)1), 81-99.
Siutz,J.,&Atzori,D.(2019). The Role of Intervention in the International Criminal Cort’s Preliminary Examination of the Situation in Libya. Journal of Intervention and Statebuilding, 13(3), 275-293
Maulana, M. F., Roisah, K., & Susetyorini, P. (2016). IMPLIKASI ONE CHINA POLICY TERHADAP HUBUNGAN LUAR NEGERI INDONESIA DAN TAIWAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1–18. https://doi.org/10.14710/dlj.2016.12583
Rosyidin, M. (2017). Intervensi Kemanusiaan dalam Studi Hubungan Internasional: Perdebatan Realis Versus Konstruktivis. Jurnal Global & Strategis, 10(1), 55. https://doi.org/10.20473/jgs.10.1.2016.55-73
Slaughter, A.-M.(1012). Governing the World: The History of an Idea. Oxford University Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H