Mohon tunggu...
Karunia Sylviany Sambas
Karunia Sylviany Sambas Mohon Tunggu... Bidan - Bidan, Penulis, Blogger

Seorang tenaga kesehatan yang suka menulis dan belajar hal-hal baru. Rekam jejak di www.karuniasambas.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mariana Yunita Hendriyani Opat, Edukasi Isi Tabu Tak Lagi Abu-Abu

27 Agustus 2024   01:10 Diperbarui: 31 Agustus 2024   15:42 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama, Tata dan teman-temannya berharap semoga segera ada modul untuk pendidikan seksualitas komprehensif yang berbasis lokal konteks. Untuk sekarang, mereka masih menggunakan Technical Guideline dari WHO dan modul Kemenkes RI. Namun, ternyata standar umur yang diaplikasikan pada modul tidak sesuai dengan fakta yang ada di NTT (Nusa Tenggara Timur).

Menurut modul, pubertas terjadi pada rentang usia 6 -10 tahun, tetapi di Indonesia Timur pengetahuan pubertas bisa disampaikan pada rentang usia 7 hingga 15 tahun dikarenakan pendidikan dasar tentang kesehatan reproduksi tidak dibahas pada ranah keluarga dan sekolah.

Fakta lain mengungkapkan bahwa tidak semua sekolah di NTT memasukkan data tentang seksualitas ke dalam mata pelajaran. Pelajaran biologi dan pendidikan jasmani hanya membahas tentang organ reproduksi tanpa membahas perubahan, risiko dan cara perawatan organ reproduksi itu sendiri.

Kedua, pendidikan seksualitas bisa dimulai dari lingkungan keluarga. Komunikasi harus dibangun secara terbuka dengan anak, sehingga urusan penanaman pemahaman ini tidak hanya menjadi urusan pihak sekolah saja.

Lebih lanjut, Tata mengungkapkan bahwa tantangan memperjuangkan kesehatan mental di NTT masih cukup berat karena bicara tentang seksualitas saja sudah dianggap tabu apalagi mentalitas.

Jika ada anak remaja yang mengalami depresi, kecemasan dan perlu dibawa ke Rumah Sakit Jiwa, orang tua sangat tidak kooperatif. Mereka segera menyangkal bahwa anaknya tidak gila.

Bacarita Kespro teguh memperjuangkan fakta bahwa kesehatan reproduksi dan kesehatan mental itu memiliki hubungan erat yang saling mempengaruhi kesehatan fisik, emosional dan sosial.

Misalnya, remaja pubertas, hamil, mengalami kekerasan seksual, dan kebimbangan saat merasakan perubahan di tubuh rentan menimbulkan kecemasan, anoreksia, bulimia, hingga body shaming.

Lantas, jalan seperti apa yang harus ditempuh? Remaja membutuhkan ruang nyaman untuk berbagi perasaan terkait hal ini dan semakin memahami dengan baik tentang pentingnya kesehatan mental.

Tantangan lainnya, karena orang tua berpendapat bahwa sehat secara mental ini bisa tercipta hanya dengan proses pelarangan saja.
“Jika sudah dilarang, akan selamat dari kesehatan mental. Mereka tidak akan kepikiran. Bahkan sangat tidak mungkin melakukan percobaan bunuh diri.”

Fakta Terkini Isu Kesehatan Mental

Masih dilansir dari Katadata Media Network, survei Ipsos Global yang bertajuk Health Service Monitor 2023 menunjukkan sebanyak 44% responden dari 31 negara di dunia menilai bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun