Lebaran sebentar lagi, beragam pertanyaan itu akan kembali. Sebenarnya momen lebaran itu untuk menghangatkan kembali silaturahmi setelah beberapa lama tak ketemu atau sebaliknya? Justru memanaskan suasana, membuat malas berjumpa, hingga akhirnya tak ada kehangatan yang diharapkan.
Momen lebaran itu nggak mungkin mau terlewatkan hanya untuk hal-hal nggak penting, kan? Jadi, ya, jangan selalu berada pada posisi sekadar ingin tahu, eh tahu-tahu malah bikin silaturahmi beku dan sulit mencair lagi.
Karena dalam beberapa artikel, saya pernah mengetahui bahwa pertanyaan kapan diharapkan sebagai pembuka jalan sebuah percakapan. Apakah demikian? Duh, sepertinya banyak hal lain, deh. Mungkin boleh juga kapan yang menyasar objek, misal, kapan ya kita bisa kayak orang-orang itu? Pertanyaan ini kita lontarkan saat melihat sekelompok orang. Nah, kita jadi sibuk membicarakan orang itu sebelum beralih pada percakapan lainnya, kan?
Nggak banget mau nyambung silaturahmi malah memberikan kesan yang kena mental banget bagi sang objek percakapan.
Jawaban Lucu Pertanyaan Lebaran, Malah Jadi Bumerang
Terus, jawaban lucu pertanyaan lebaran apa yang pernah saya berikan atau dapatkan, ya? Untuk menjawab hal ini saya mesti membuka kembali kenangan, memutar kembali kaset kenangan, dan memikirkan apakah mungkin akan terulang?
Pertanyaan kapan nikah sepertinya sudah menjadi rahasia umum. Jadi tidak perlu merasa kita unik-unik banget saat mendapat pertanyaan ini. Banyak lajang lainnya yang mendapat pertanyaan serupa, kok. Tak semua juga kena mental karena masing-masing punya jawaban.
Saya pernah mengetahui ada teman yang menjawab pertanyaan kapan nikah dengan cara seperti ini.
"Jodoh itu rahasia Allah swt. Sama seperti ajal. Kalau kamu wafatnya, kapan?"
Kalau yang nanya masih teman sebaya kayaknya ini nggak masalah, ya. Beda cerita kalau yang nanya orang tua.
"Insyaallah disegerakan, Tan. ada calonnya, nggak, nih?"