bagian 1.
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, aku terkurung, terperangkap, mati kutu.
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat-jingkat di atas batuan runcing seumpama mata paku, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari kotak-kotak lapuk sampan, di pinggir lautan asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.
Aprina yang jangkung dan kurus terengah-engah di belakangku. Wajahnya pias. Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilat-kilat. Di sampingnya, Juli, salah satu anggota populasi pulau yang suka bergoyang ini, justru terlihat lebih menyedihkan. Sudah dua kali dia menangis. Ia yang paling menyedihkan walaupun seumur hidupnya dia sudah tinggal di daratan kecil ini dan mengalami kejutan-kejutan serupa berulangkali. Kami bertiga dan ratusan orang lainnya baru saja berlari semburat, potang-panting lupa diri karena kejutan yang dikirimkan jauh dari bawah permukaan, - gempa bumi.
Semuanya memang serba menegangkan. Hari baru saja menjelang sore, pukul empat lewat dua belas menit saat kulirik arlojiku. Tapi kekacauan yang terjadi akibat derap langkah-langkah ratusan atau mungkin ribuan manusia dan suara yang ditimbulkannya membuat suasana jadi gelap. Gelap, karena kebanyakan dari kami berlari tak tentu arah, berlari kemana saja rombongan yang paling ramai berlari, asal berlari saja. Porak – poranda. Aku berlari sekuat tenaga, tanpa merasakan kakiku menyentuh bumi,-melayang. Kemana lebih banyak orang – orang berlari, kesanalah kami bertiga terbawa arus, melesat-lesat menerobos kerumunan histeris itu.
Aku tercekat menahan nafas. Sebelah punggungku basah oleh keringat dingin. Setelah berlari-larian tak jelas arah, akhirnya kami memilih untuk meringkuk di tumpukan batu-batu tajam di sudut dermaga yang letaknya sedikit lebih tinggi dari pinggir laut, yang disebut mereka-orang suku sebagai “gunung”. Di sinilah kami berkumpul. Ada yang berteriak-teriak berdoa sambil menangis, ada yang hanya berteriak berdoa, ada yang hanya menangis, ada yang berbisik – bisik tak jelas apakah dia sedang berdoa atau menangis, bahkan ada yang hanya diam meringkuk vacum, aku.
Sekilas ingatanku berkelebat ketika memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku yang nyaman nun jauh di kota metropolitan, di seberang samudra.
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H