Mohon tunggu...
Kartini Budi
Kartini Budi Mohon Tunggu... -

senang menulis, senang dunia PAUD, senang tanaman, senang berteman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kiamat Itu Serasa di depan Mata

23 Desember 2012   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jum'at 22 Desember, langit biasa saja ketika aku mengantar putriku ke jalan Sunda, tepatnya di Hongkong cafe, waktu itu sekitar jam satu siang. Dia saya drop di situ dimana teman temannya berkumpul untuk pesta ulang tahun. Saya kemudian memarkir mobil di area Sarinah, dan kembali menyeberang untuk makan di bakmi GM. Selesai makan saya turun ke bawah untuk berbelanja di Total Buah. Langit mulai terlihat gelap, dan ketika selesai belanja tiba tiba turun hujan deras beserta angin dan petir.

Anakku yang berada di gedung sebelah mengirim pesan pesta sudah selesai, tapi tidak bisa ke tempatku karena hujan, aku intruksikan untuk di situ saja dan menungguku menjemputnya.

Aku berpikir kalau semakin lama berada di tempat itu, akan terjebak kemacetan dan mungkin banjir, apalgi saya lihat langit putih merata, biasanya dengan kondisi langit seperti itu hujan akan berlangsung lama.

Dengan menggunakan ojeg payung, bersama anakku yang lain saya nekat mengambil mobil dann keluar dari area parkir. Namun apa yang terjadi ? Di jalanan air sudah mulai naik hampir setengah ban mobil, kendaraan sudah tidak mematuhi rambu rambu lalu lintas. Saya berjalan mengikuti arus, ternyata untuk menjemput anakku, harus jalan memutar, saya ikuti jalan memutar itu, tetapi tiba tiba hujan semakin deras, langit gelap, dan dari kaca mobil pemandangan menjadi buram, perlahan saya terus berjalan, tapi air semakin tinggi. Karena semakin buram saya putuskan berhenti di pinggir jalan, lampu tetap kunyalakan, dan anehnya jalan terlihat sepi....angin semakin kuat meniup pepohonan. Saya pejamkan mata , berdoa mohon perlindungan Tuhan, dan mohon segera dipertemukan dengan anakku.Saya sungguh takut dan dalam hati sempat bertanya " seperti inikah kiamat itu ? ".

Ketika hujan sedikit berkurang, aku mulai berjalan lagi menerobos air, karena panik mulai bingung dengan kondisi jalan, bingung menentukan belik kiri atau kanan, ketika belok kanan, terhadang pohon besar yang tumbang, belok kiri air semakin tinggi, kembali aku putuskan berhenti sejenak sampai ada mobil yang lewat. Dengan susah payah akhirnya aku sampai di  gedung terdekat dengan Hongkong cafe tempat anakku berada, aku segera parkir dan kujemput anakku dengan berjalan kaki. Setelah bertemu dan berada di mobil, segera kami menerobos banjir, tapi lagi lagi kami terjebak banjir dan hanya bisa mengikuti arus kendaraan, dan kami harus berhenti bersama puluhan mobil lainnya, tepatnya di perempatan arah Wahid Hasyim. Kami monitor radio,  ruas jalan di sekitar jalan itu sudah tinggi sekitar 40 centimeter, jadi mau tidak mau kami harus berhenti, dan hanya bisa menunggu.

Setelah sekitar satu jam kami menunggu, saya beranikan diri memutar arah dan menyusuri jalan ke arah patung tani dan diponegoro. Kami menarik nafas lega ketika keluar dari area banjir dan macet tersebut. Banjir yang selama ini saya lihat di televisi, ternyata mengerikan ketika ketika melihat dan mengalami secara langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun