Beberapa saat lalu, seorang cendekiawan muslim Indonesia yang mengajar dan bermukim di Mesir berusaha untuk mencari tahu arti dan perbedaan antara kata ustaz, dai dan mubaligh. Karena ketiga profesi agama itu di Indonesia bercampur baur sehingga orang tidak mengerti peruntukannya.
Dalam akun media sosial cendekiawan muslim itu terungkap bahwa ustaz dalam bahasa aslinya merujuk pada orang yang dianggap ahli dan kompeten dalam bidang yang ditekuninya. Ustaz dalam konteks ini bukan hanya dipakai untuk orang yang kompeten dalam hal agama saja, tetapi juga bidang lainnnya. Orang juga sering menyamakan ustaz dengan sebutan professor.
Sementara dai adalah seorang penceramah agama, bisa di masjid atau di area lainnya. Seorang dai biasanya punya cara untuk membuat orang lain tertarik (pada ceramahnya) dan kemudian mendengarnya lalu cenderung mengikuti apa yang diutarakan pada ceramah tersebut.
Sedangkan istilah mubaligh, sebenarnya di timur tengah sudah jarang sekali digunakan. Mubaligh sebenarnya juga merujuk pada ulama yang dalam arti sederhana adalah orang yang mengetahui atau memiliki ilmu. Seiring perkembangan pengetahuan agama Islam khususnya syariah atau fikih, ulama mengerucut menjadi orang yang punya pengetahuan dalam bidang fikih.
Namun di Indonesia seorang ulama keahlian dalam hal fikih saja belum cukup bagi seseorang untuk diakui sebagai ulama oleh masyarakat. Sebagian dari mereka dikenal sebagai cendikiawan muslim saja dan bukan ulama.
Ulama-ulama di Indonesia secara historis lumayan banyak. Di antaranya adalah Sayyid 'Abd al-Rahman 'Abd al-Shamad al-Palimbani (dari Palembang), Syaikh Mahfudz al-Termasi (dari Termas Jawa Timur), Syaikh Nawawi al-Banteni (dari Banten) sampai pada Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al-Padani (dari Padang Sumatera Barat). Mereka semua memutuskan bermukim di Arab.
Secara kontemporer, ulama yang kemudian muncul dan bermukim di Indonesia diantaranyaNawawi (al-Bantani), Marzuqi, Isma'il, Abd al-Karim, Arsyad bin 'Alwan, dan Arsyad bin As'ad. Juga ada ulama asal Priangan yaitu Hasan Mustafa dan Mahmud. Kemudian tiga ulama dari Batavia yaitu Junayd, Mujitaba, dan 'Aydarus dan dua ulama asal Sumbawa yaitu Zainuddin dan Umar. Mereka ini, seperti dapat diduga belajar dengan sejumlah ulama mukimin di Makkah, khususnya yang berasal dari Nusantara, yakni Syaikh Isma'il al-Minangkabawi dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas.
Namun dari sekian ulama yang dikenal dan terkenal dalam sejarah Indonesia adalah Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Hal penting dari Wali Songo yang nyaris semuanya berasal dari Yaman itu adalah bagaimana mereka sangat toleran terhadap budaya lokal karena pendekatan mereka melalui budaya dan bukan kekerasan yang membuat masyarakat lokal yang saat itu banyak menganut Hindu, Budha serta animism dan dinamisme tidak merasa diserang (kepercayaannya). Para Wali itu yakin, jika banyak umat yakin akan agama islam maka kebiasaan lama akan hilang dengan sendirinya.
Dalam dakwahnya Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang dan gamelan. Cara tersebut ternyata sangat efektif dan diterima masyarakat luas pada saat itu. Pendekatan tyang dilakukan oleh Wali Songo adalah pendekatan yang merangkut bukan memukul.
Karena itu, mungkin sebagai cendikiawan muslim, ustaz, dai, mubaligh, atau ulama sekalipun, harus belajar dari cara Wali Songo dalam merangkul hati rakyat dan bukan menyerangnya, karena Islam sejatinya adalah agama damai. Mungkin tantangan dan kondisinya berbeda, namun esensinya sebenarnya sama yaitu melakukan pendekatan dan bukan menyerangnya. Ini juga berlaku  bagi ulama untuk kaum muslim itu sendiri, maupun kaum non-muslim.
Caci maki, mengolok-olok, tidak menghormati pihak lain atau pemerintah bukanlah cerminan ajaran Islam itu sendiri. Cendikiawan muslim, ustaz, dai, mubaligh atau ulama adalah garda terdepan dalam memperlihatkan keagungan Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H