Beberapa waktu lalu, public terkejut dengan kehadiran seorang kepala daerah menghadiri acara organisasi massa yang bersifat intoleran dan radikal.Â
Sikap kepala daerah itu kurang tepat karena sebagai kepala daerah dia harus menghargai keputusan pemerintah di atasnya, yaitu tidak mentolerir ormas yang bersifat radikal. Pada akhirnya, pemerintah pusat memang mengeluarkan larangan permanen bagi ormas tersebut di Indonesia.
Kepala Daerah adalah satu figure yang menjadi panutan banyak orang. Dipilih karena diharapkan dapat menjadi teledan dan dapat mengatur warganya dengan baik. Jika ada yang salah pada masyarakat, kepala daerah juga harus bisa memberikan masukan dan meluruskan yang mungkin belum dimengerti rakyatnya.
Yang menarik apabila wilayah yang dipimpin oleh kepala daerah itu sarat dengan lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi bergengsi. Tempat para intelektual digodok.Â
Saat seseorang belajar di Perguruan Tinggi , seseorang biasanya mematangkan idealisme yang mungkin sudah tertanam sejak lama. Atau bisa juga menggantinya dengan idealisme baru, jika lingkungannya mendukung.
Bisa dibayangkan jika kepala daerah itu permisif soal intoleransi dan radikalisme maka banyak pihak dan personal yang seakan mendapat kan kunci untuk menyebarkan faham itu, termasuk kalangan perguruan tinggi.Â
Apalagi jika mahasiswa itu kelihatan tertarik soal purifikasi (pemurnian) agama yang menjadi pintu masuk faham-faham radikal. Â Dengan kondisi yang mendukung, maka mahasiswa akan masuk faham intoleransi tinggal selangkah lagi.
Kita mengetahui dari perguruan tinggi sejumlah institusi melakukan survey dan mendapati bahwa saat mahasiswa baru masuk dan terjadi perploncoan, itulah para penganut faham intoleransi menjaring mahasiswa untuk masuk dalam jaringan mereka.Â
Saat mahasiswa itu masuk dalam ekstra kulikuler agama misalnya, disitulah faham intoleransi dan radikalisme menyebar.
Pada level mahasiswa, kegiatan ekstra kurikuler cenderung dilepas dan tidak mendapat pengawasan ketat dari pihak dekanat atau universitas. Sehingga kegiatan penyebaran faham intoleransi biasanya tidak diketahui oleh pihak berwenang dengan baik.
Hanya saja ketika seseorang lulus seringkali kita mendapati bahwa seseorang itu mempunyai sikap yang tidak mentolerir perbedaan; entah itu suku, agama maupun yang lain. Seseorang yang sudah terpapar intoleransi dan radikalisme biasanya merasa eksklusif dan tak jarang menjuluki seseorang yang berbeda keyakinan sebagai kafir (takfiri)
Tak hanya terhadap yang berbeda keyakinan saja, tetapi bisa juga mereka memusuhi orang yang agamanya sama tetapi mahzab berbeda. Misalnya antara Sunni dan Syi'ah. Kita bisa melihat hal itu dengan kasus pengusiran kaum Syiah di Madura. Sampai sekarang mereka terlunta-lunta tinggal di penggungsian.
Karena itu, Perguruan tinggi dan kota, idealnya harus bersih dari faham intoleransi dan radikalisme. Perguruan tinggi adalah tempat dimana semua pihak yang berbeda belajar bersama-sama , dan tidak menonjolkan eksklusifitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H