Mungkin sebagian dari kita tahu bahwa presiden Amerika Serikat (Donald Trump) sangat sering menggunakan media sosial dalam hal ini twitter dalam kesehariannya. Malah beberapa kali, Trump menunjukkan pendapatnya sebagai kepala negara melalui akun twitternya. Misalnya ketika mantan pengacaranya diserang masyarakat karena berperan melindungi Trump dari kasus dengan seorang perempuan. Atau ketika akan mengganti staf kepresidenannya.
Begitu juga ketika Trump dituduh memperoleh kemenangan atas Hillary Clinton karena melakukan intervensi tertentu (jika tidak boleh disebut rekayasa informasi) pada kampanye-kampanye digitalnya, masyarakatnya tetap menerima Trump sebagai presiden terpilih. Mereka tetap menghargainya. Mereka juga sarat perbedaan meski tak sekompleks Indonesia. Kita tahu bahwa AS juga penuh dengan pendatang dari berbagai sudut dunia dan suku Indian sebagai suku asli AS.
Atmosfer demokrasi yang terbangun di AS sudah taraf  cukup dewasa sehingga meskipun terjadi banyak goncangan tetapi mereka lebih siap menerima berbagai kondisi yang mungkin tidak menyenangkan. Kita tahu bahwa Amerika sudah merdeka selama ratusan tahun dan melampaui banyak hal.
Kita bandingkan dengan Indonesia. Sebagai negara kesatuan, Indonesia punya perbedaan yang lebih kaya dan kompleks dari AS. Kita terdiri banyak suku bangsa , banyak kepercayaan dan banyak bahasa. Terlebih lagi kita punya wilayah yang sangat kaya, membentang dari Sabang sampai Merauke, satu sisi merupakan kesulitan tersendiri, di sisi lain hal itu adalah kekayaan yang mungkin tak dimiliki negara lain, semisal AS atau negara lain di Dunia.
Hanya saja kita pernah dipimpin oleh Soeharto - Orde Baru selama 32 tahun. Masa itu kebebasan kita dikekang dan banyak sekali cita-cita dan beberapa pihak yang dikerdilkan. Tentu saja kita sadar bahwa 32 tahun bukan waktu yang sebentar bagi pertumbuhan negara dan bangsa. Beberapa potensi masyarakat hilang atau menyusut karena hal itu. Beberapa pelajar cerdas yang dikirim ke Tiongkok misalnya. Mereka terlipat zaman dan banyak diantara mereka yang tidak bisa kembai lagi ke Indonesia.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 adalah babak pembuka bagi demokrasi Indonesia. Banyak perkembangan baru terbantu karena iklim demokrasi itu. Misalnya kemajuan di bidang informasi, teknologi, politik, komunikasi dll. Kran informasi dibuka, rakyat jauh lebih ekspresif dibanding masa Orde Baru.
Namun ada konsekwensi dari keterbukaan itu, yaitu masyarakat kita terlalu euphoria (gembira) karena kebebasan berpendapat yang kini mereka nikmati. Akibatnya kini banyak sekali pendapat-pendapat masyarakat khususnya melalui media sosial yang tidak selayaknya diucapkan. Bahkan mereka banyak menghujat pemerintah, pihak lain yang berbeda dan beberapa narasi yang destruktif ainnya.
Padahal seperti halnya AS yang sudah melampaui proses demokrasi amat panjang, punya ukuran-ukuran tertentu dalam menyuarakan pendapatnya. Tidak serta merta pendapat yang berbeda itu bisa dilontarkan tanpa rem.
Sehingga bisa kita lihat kerusakan yang terjadi karena narasi digital (virtual) yang disampaikan oleh masyarakat di media sosial, dimana masyakat saling hujat. Hal itu adalah benih bagi perpecahan kia sebagai bangsa. Mungkin sudah saatnya kita untuk menyatukan diri dan menyikirkan ego kita atau kelompok sendiri bagi persatuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H