Ketika Osama bin Laden tewas dalam satu penyerbuan oleh tim kecil militer Amerika Serikat, banyak yang menyakini bahwa kekuatan Al Qaeda akan alami kekosongan atau paling tidak akan alami banyak kemunduran. Atau ketika ISIS berhasil dilumpuhkan di desa pertahanan mereka di Suriah banyak yang menyakini kekuatan kelompok teroris itu akan surut.
Tapi banyak pengamat yang menyakini sebaliknya, yaitu para teroris akan tetap hidup dalam sel-sel tidur yang diciptakan oleh mereka. Sel tidur itu diyakini oleh para radikalis adalah cara yang paling aman untuk tetap bertahan dengan tidak terlalu terlihat di permukaan. Karena jika terlihat akan membahayakan para teroris itu sehingga perjuangan yang mereka yakini untuk kebesaran agama Islam akan terganggu.
Para pengamat mengemukakan bahwa sel-sel tidur itu adalah fenomena yang terlihat aman tapi dalam beberapa tahun ke depan akan  jauh lebih berbahaya dan lebih banyak.  Generasi masa mendatang akan berhadapan dengan kaum teroris yang mungkin saja lebih berbahaya dan menyebar lebih luas dibanding sekarang. Mereka mungkin punya strategi dan dalam kondisi yang berbeda dengan masa sekarang.
Pendapat ini didasarkan pada fenomena perkembangan terorisme yang diamati sejak tahun 1998 sampai 2014. Apalagi teknologi amat berkembang dengan sangat cepat dan memungkinkan para teroris itu berkembang dalam sel-sel tidur tapi tetap menyebarkan ajaran mereka melalui media sosial.
Ahli komunikasi  yaitu Gabriel Weimann sejak tahun 1998 meneliti perkembangan website teroris / radikal. Tahun itu dia menemukan website yang berkonten terorisme hanya berjumlah 12 saja di seluruh dunia. Pada tahun 2014 dia mendapati lebih dari 10 ribu website berkonten radikal / terorisme plus akun-akun mereka di media sosial.
Hal yang menguntungkan para teroris adalah sifat media sosial yang anonimitas (anonym). Seseorang bisa saja tidak mengenal si A sebagai teroris padahal dia adalah tetangga sebelah rumah karena kegiatan A seringkali hanya berkutat di laptop dan jarang bergaul sehingga orang lain tidak mengetahui kegiatannya. Yang tidak bisa dikelabuhi mungkin otoritas intelejen dan informasi yang punya akses terhadap jaringan dan akun-akun medsos mereka.
Dari situ bisaa disimpulkan bahwa kelompok-kelompok teroris itu ada di dunia online dan mereka menggunakan berbagai platform mulai dari facebook, twitter, instagram, whatsapp, telegram, maupun youtube. Platform-platform itulah media mereka untuk menyebarkan ajaran-ajaran radikal.
Karena itu kita punya banyak kewajiban atau paling tidak tanggung jawab moral untuk mengenali kelompok-kelompok itu. Jika mungkin hindari untuk mengakses mereka karena dalam medsos berlaku bubble effect, yaitu jika kita mengklik maka kita berada dalam lingkaran mereka. Semakin sering ingin tahu dan mengklik, maka  akan lebih banyak akun radikal yang kita temukan, dan mungkin kita akan kesulitan keluar dari situ.
Cara lain yaitu membuat narasi-narasi yang bisa 'menenggelamkan' narasi-narasi radikal itu yaitu narasi-narasi kedamaian, persaudaraan dan anti radikalisme. Dengan memperbanyak narasi damai dan anti radikal, maka kita akan berada dalam lingkungan digital yang jauh lebih sehat dari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H