Bagi netizen yang rajin  memantau twitter, ada yang menarik pada akun musisi Iwan Fals pada Rabu Pagi. Dia menanyakan kepada netizen lain penyebab artis dan musisi Ahmad Dani ditahan. Akun pribadinya diberi nama Ureq (Iwan Fals).
Pertanyaan itu lalu dijawab oleh netijen bahwa kasus Ahmad Dani Prasetyo (ADP) adalah menyangkut konten twitter (tiga twitter) yang dianggap menyebarkan kebencian ke pihak lain. Isi twitter itu kemudian dilaporkan seseorang ke pihak kepolisian. Dan polisi dan pihak berwenang memprosesnya. Setelah persidangan sekian lama, diputuskan penjara selama 1,5 tahun bagi ADP.
Salah satu netizen menjawab bahwa itu adalah akibat jarimu harimaumu. Sebaiknya jari untuk menulis (membuat) lagu karena lebih bermanfaat bagi banyak orang daripada mencaci melalui jari (twitter). Beberapa twitter malah menyangka Iwan Fals hanya pura-pura tak tahu saja.
Setelah beberapa netizen membalas dengan membela dan menyerang ADP. Dan Iwan Fals menjawab  Buseeet gara-gara ngetweet... wuih serem juga main-main  tweet ngawur, emang pengaruhnya besar ya...
Melihat hal ini, terlepas apakah Iwan Fals membela atau berada di seberang ADP (standing point) Â terlihat bahwa ada upaya edukasi kepada masyarakat untuk selalu waspada dalam berinteraksi melalui media sosial. Media sosial sering dianggap alat komunikasi paling aman untuk melontarkan sesuatu. Mulai dari mengkritik pemerintah, mencaci orang lain, memuja dan bahkan mempromosikan sesuatu. Singkatnya masyarakat amat mudah untuk melontarkan pendapatnya -- apapun itu.
Kasus ADP dan reaksi Iwan Fals (terlepas dari dia tahu atau pura-pura tidak tahu) memberi gambaran bahwa banyak masyarakat kita tidak tahu, bahwa ujaran-ujaran kebencian itu bisa dijerat dengan pasal-pasal di ITE. Dan mengantarkan seseorang ke penjara.
Fenomena ini memang banyak terjadi di Indonesia. Kita ingat beberawa waktu lalu seorang guru dan dokter juga melontarkan ujaran kebencian dan kemudian diproses oleh pihak berwenang. Terlihat jelas bahwa para netizen yang bermasalah dengan ujaran kebencian itu bukanlah berasal dari masyarakat brpndidikan rendah, tetapi terbukti seorang dokter, musisi bahkan guru bisa terjerat apsal itu. Padahal hakekatnya guru memberi suri teladan kepada muridnya.
Karena itu kita semua harus selalu hati-hati dalam menulis sesuatu di media sosial. Jangan karena tidak senang, lalu menulis hal-hal buruk tentang orang lain. Jika tidak tahu, bertanyalah setidaknya kepada diri sendiri apakah layak kita menulis A atau B kepada seseorang. Jika tak yakin, bertanyalah kepada orang lain yang dianggap bijak.
Sebaiknya orang yang lebih tahu juga harus mengingatkan teman-teman atau keluarganya agar menghindari menyebarkan ujaran-ujaran kebencian dan hoax melalui media sosial. Dengan begitu bisa terhindar dari jerat hukum, dan jagat informasi kita bisa lebih aman dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H