Dengan jari telunjuk, kamu menggambar wajah tersenyum di permukaan air kolam. Tapi gambarmu segera hilang begitu kamu mengangkat jari dari kolam. Cipratan air mancur di tengah kolam menimbulkan riak-riak kecil. Kamu kecewa karena tidak berhasil menggambar wajah tersenyum. Padahal kamu ingin sekali ada sebentuk senyum yang menghiasi kolam.
Lalu kamu memutuskan menceburkan diri ke kolam. Kamu menyelam sampai dasar kolam. Sialnya, tubuh kurusmu membuat kamu tidak bisa menyentuh dasar kolam. Kamu menghadapkan tubuhmu ke atas. Sambil tersenyum, kamu memandang langit dari dasar kolam. Warna langit yang biru cerah membuatmu merasa senang. Awan-awan tampak selembut kapas.
Tapi bukan warna langit atau segarnya air kolam yang membuatmu bahagia. Kamu merasa sangat bahagia karena berhasil menghadirkan sebuah senyuman di kolam itu. Senyuman yang berasal dari bibirmu sendiri.
Kamu tetap tersenyum meski kepayahan menahan nafas. Kamu tidak takut mati kehabisan nafas. Mati adalah momen bagi manusia untuk bertemu Tuhan. “Dulu Tuhan sudah memilih momenNya untuk menciptakanku. Kini aku sendiri yang ingin menentukan kapan waktuku bertemu Dia lagi. Dan aku sudah memutuskan, sekaranglah waktunya,” katamu dalam hati. Bagimu sekaranglah waktu yang tepat untuk bertemu denganNya.
Kamu merasa sudah cukup untuk hidup. Bukan karena tak ada lagi yang mesti diperbuat. Kamu hanya merasa sudah cukup. Manusia sering terjebak dengan dunia karena tidak mengenal rasa cukup. Dan di dunia ini, kamu tidak ingin terjebak.
Rambutmu yang melayang-layang dalam air membuatmu terlihat makin cantik. Kamu nampak seperti putri dalam dongeng anak perempuan. Ah, tapi hidup tidak seperti kisah manis dalam dongeng para gadis kecil itu. Pada akhir cerita sang putri selalu hidup bahagia selama-lamanya. Bagimu menjadi bahagia atau tidak adalah sebuah pilihan. Pilihan itu lalu menuntut manusia untuk setia memperjuangkan apa yang telah dipilih.
Namun, sekarang kamu tidak perlu memperjuangkan apa-apa lagi. Perjuanganmu sudah cukup.
Orang-orang yang melihatmu dari atas kolam tidak berbuat sesuatu. Mereka yakin kamu baik-baik saja karena kamu terus tersenyum. Beberapa bahkan membalas senyummu. Bahkan ada yang melambaikan tangan padamu.
Kepalamu mulai pusing. Pandanganmu juga terasa kabur. Sayup-sayup kamu dengar ada orang baca puisi. Suara itu makin lama makin jelas. Dalam pandanganmu yang kabur, kamu melihat sesosok pria berpakaian serba putih. Ternyata ia yang sedang baca puisi. Tangan kanannya menggenggam secarik kertas bertuliskan sajak-sajak.
“…Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan...”
Senyummu makin mengembang dengar sajaknya Rendra itu. Kamu sepakat bahwa bibirmu yang tersenyum itu sedang menyatakan sikapmu. “Sikap kita untuk Tuhan. Ahai, aku makin tak sabar bertemu denganMu. Aku ingin memelukMu kalau kita bertemu nanti. Berterima kasih untuk semua yang telah Kau beri. Berterima kasih bahwa aku bisa merasa cukup,” batinmu.
Pria berpakaian serba putih itu membaca sajak lain :
“…ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu….
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!”
Kamu mengenali sajak itu sebagai milik Chairil Anwar. Kamu tertawa dalam hati. Tak lama lagi mungkin kamu juga akan bertemu Chairil. Mungkin sekarang ini ia sedang duduk di bawah pohon apel. Menghisap rokok sambil baca puisi. Dari tempat yang jauh, Tuhan mendengarkan Chairil.
Pria itu mulai membaca sajak yang lain lagi :
“…dan antara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
aku terima itu semua
melampaui batas-batas hutanmu,
melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup”
Itu sajak yang sudah sangat akrab di telingamu. Temanmu yang penyair sering bacakan sajak karya Soe Hok Gie itu untukmu. Setiap kali temanmu bacakan itu sajak, kamu selalu membayangkan Mandalawangi dan Pangrango. Pun kamu bayangkan bagaimana abu jenazah Soe Hok Gie pernah bertaburan diantara bunga edelweis di lembah Mandalawangi. “Gie pasti merasa beruntung karena ia mati muda. Sedangkan aku merasa beruntung karena aku bisa memilih menemui Tuhanku pada usia muda,” lagi-lagi kamu berkata dalam hati.
Sekarang kamu sudah benar-benar kehabisan nafas. Refleks, kamu menarik nafas. Tapi yang terjadi ialah kamu merasakan aliran air masuk ke saluran pernapasanmu. Sakitnya luar biasa! Paru-parumu mulai terisi air.
Hipoksia. Kuku dan sekitar bibirmu berwarna kebiruan. Pusing makin menghantam kepalamu. Kamu merasa kesadaranmu mulai menurun.
Akan tetapi kamu masih saja tersenyum. Tetap saja tersenyum.
Antara sadar dan tidak, kamu merasakan pria yang baca sajak tadi membelai rambutmu. Akhirnya kamu mengerti siapa pria itu. Dia malaikat yang akan mengantarkanmu bertemu Tuhan.
Kamu memejamkan mata. Kesadaranmu akhirnya lenyap.
Ketika membuka mata, kamu tidak lagi berada di kolam. Kamu berada di kebun apel. Tuhan telah menyiapkan kebun apel untukmu. Tuhan sudah lama berkebun untukmu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H