Mohon tunggu...
Dwi Kartika Sari
Dwi Kartika Sari Mohon Tunggu... -

Calon dokter, penyuka jurnalisme dan sastra, merasa ada yang aneh ketika lama tidak menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mufsidûn

12 Mei 2014   22:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mufsidûn

Mufsidûn ialah kata dalam bahasa Arab. Kata itu dapat dimaknai sebagai koruptor-koruptor kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan untuk melakukan korupsi bukan pemandangan baru lagi bagi bangsa ini. Berita tentang pejabat-pejabat yang terjerat kasus korupsi marak menghiasi media massa. Lebih ironis lagi, hukum di negara ini benar-benar serupa panggung sandiwara. Mufsidûntidak menerima hukuman yang semestinya. Banyak koruptor yang cepat bebas dari penjara karena ringannya vonis yang diberikan. Apalagi, tidak jarang mereka mendapat remisi.

Tak perlu dipungkiri lagi bahwa Islam menentang segala bentuk ketidakjujuran, termasuk korupsi. Kisah tentang Khalifah Umar yang mematikan lampu minyak ketika berbincang dengan anaknya adalah contoh nyata pemimpin yang menjaga diri dari tindakan korupsi. Umar sengaja mematikan lampu minyak di ruang kerjanya karena minyak dalam lampu dibeli dengan uang rakyat, sementara urusan dengan putranya bukanlah urusan negara. Walaupun Umar punya kuasa untuk menggunakan fasilitas-fasilitas sebagai khalifah, Umar tak ingin menyalahgunakan kekuasaannya. Umar tidak mau korupsi, sekalipun hanya korupsi kecil macam minyak di dalam lampu.

Ada teladan lain yang “lebih dekat” tentang bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Contoh teladan itu bernama Polisi Hoegeng. Hoegeng pernah menjabat sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI (kini Kapolri) pada 1968-1971. Ketika Hoegeng baru saja pindah ke rumah dinasnya yang baru, Hoegeng sudah mendapatkan kiriman barang-barang mewah dari para cukong. Cukong-cukong itu hendak menyuap Hoegeng. Namun, dengan tegas Hoegeng menolak semuanya. Sama seperti Umar, Hoegeng tidak menyalahgunakan kekuasaannya.

Sikap Hoegeng itu amat istimewa di mata mendiang Gus Dur. Sampai-sampai Gus Dur pernah berseloroh soal tiga polisi jujur. Kata Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Polisi Hoegeng.

Cerita tentang Khalifah Umar dan Polisi Hoegeng memang “hanya” sebuah kisah. Namun, kisah itu sejalan dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang yang dipimpinnya.” Umar dan Hoegeng adalah realitas yang perlu dimaknai lebih mendalam.

Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam. Begitu bunyi pernyataan Kuntowijoyo, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada cum intelektual muslim.Dalam buku Islam Sebagai Ilmu, Kuntowijoyo memaparkan tentang perlunya pengilmuan Islam. Pengilmuan Islam akan membuat orang Islam melihat realitas melalui Islam.

Orang Islam harus melihat realitas melalui Islam karena -menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan- realitas itu tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Tetapi realitas dilihat melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada manusia. Misalnya di daerah Kejawen (dulu), orang melihat raja melalui simbol-simbol: mitos Nyi Roro Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawi (raja adalah keturunan para nabi dan para dewa), tata cara sembah, warna paying, dan sebagainya.

Karena manusia tak dapat melihat realitas secara langsung, pengilmuan Islam menjadi amat diperlukan. Dalam pengilmuan Islam, Islam sebagai teks (Al-Quran dan As-Sunnah) dihadapkan kepada realitas (baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah). Dari teks ke konteks.

Hadis Rasulullah (teks) di atas sangat tepat dihadapkan pada realitas Umar dan Hoegeng (konteks). Ajaran Islam adalah nilai-nilai yang bersifat universal. Umar dan Hoegeng telah berhasil menentukan sikap berdasarkan salah satu nila universal dalam Islam.

Namun, nilai universal Islam tersebut belum menyentuh bangsa ini. Sebaliknya, korupsi merajalela dimana-mana. Apalagi sejak hubungan sentralistik pusat-daerah coba diredam lewat penerapan Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah lahir pasca tumbangnya Soeharto, sang penguasa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba yang sarat dominasi militer, dengan otoritarianismenya, telah menciptakan sentralisasi kekuasaan. Pemerintah pusat adalah segala-galanya. Wewenang pemerintah daerah amat terbatas untuk menentukan kebijakannya sendiri, untuk menetapkan kebijakan yang ia anggap paling baik bagi daerahnya. Setelah Orba runtuh, sentralisasi kekuasaan tersebut coba direduksi dengan kebijakan Otonomi Daerah.

Sayang, lahirnya Otonomi Daerah ikut melahrikan banyak Mufsidûn. Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi di pusat, pasca Otonomi, korupsi ikut tumbuh subur di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat.  

Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat berita seputar korupsi di daerah. Rubrik Politik majalah itu memberitakan korupsi yang dilakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Merujuk dari Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur dan 540 kabupaten dan kota.

Sudah pasti, banyaknya Mufsidûn berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat. Penguasa yang memanfaatkan kuasanya untuk korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada petani yang sejahtera ketika subsidi pengadaan benih dikorupsi. Gedung sekolah yang bobrok tidak mungkin diperbaiki ketika dana perbaikannya masuk ke kantong para koruptor. Kualitas pendidikan makin terpuruk sebab dana pengadaan buku dikorupsi oleh bupati. Pengusaha kecil sulit maju ketika bantuan modal yang sampai ke tangan mereka telah disunat. Buruh menderita Pneumonia sampai mati akibat tidak mampu berobat, karena jaminan kesehatan yang menjadi haknya tak kunjung ia dapatkan.

Kalau sudah begini, kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis. Selalu, selalu dan selalu rakyat yang jadi korban. Mufsidûn dan korupsinya ialah potret buram dari bahaya politik Otonomi Daerah!

* Pertama kali dimuat dalam editorial majalah mahasiswa HIMMAH (Universitas Islam Indonesia) Edisi No. 1/Thn. XLV/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun