Mohon tunggu...
Dwi Kartika Sari
Dwi Kartika Sari Mohon Tunggu... -

Calon dokter, penyuka jurnalisme dan sastra, merasa ada yang aneh ketika lama tidak menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mufsidûn

12 Mei 2014   22:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Otonomi Daerah lahir pasca tumbangnya Soeharto, sang penguasa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba yang sarat dominasi militer, dengan otoritarianismenya, telah menciptakan sentralisasi kekuasaan. Pemerintah pusat adalah segala-galanya. Wewenang pemerintah daerah amat terbatas untuk menentukan kebijakannya sendiri, untuk menetapkan kebijakan yang ia anggap paling baik bagi daerahnya. Setelah Orba runtuh, sentralisasi kekuasaan tersebut coba direduksi dengan kebijakan Otonomi Daerah.

Sayang, lahirnya Otonomi Daerah ikut melahrikan banyak Mufsidûn. Jika beberapa tahun lalu korupsi hampir seluruhnya terjadi di pusat, pasca Otonomi, korupsi ikut tumbuh subur di daerah. Apa lacur? Ternyata biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi di daerah. Ketika mengikuti pemilihan kepala daerah, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat.  

Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat berita seputar korupsi di daerah. Rubrik Politik majalah itu memberitakan korupsi yang dilakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Merujuk dari Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur dan 540 kabupaten dan kota.

Sudah pasti, banyaknya Mufsidûn berbanding terbalik dengan kesejahteraan rakyat. Penguasa yang memanfaatkan kuasanya untuk korupsi menjadi penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada petani yang sejahtera ketika subsidi pengadaan benih dikorupsi. Gedung sekolah yang bobrok tidak mungkin diperbaiki ketika dana perbaikannya masuk ke kantong para koruptor. Kualitas pendidikan makin terpuruk sebab dana pengadaan buku dikorupsi oleh bupati. Pengusaha kecil sulit maju ketika bantuan modal yang sampai ke tangan mereka telah disunat. Buruh menderita Pneumonia sampai mati akibat tidak mampu berobat, karena jaminan kesehatan yang menjadi haknya tak kunjung ia dapatkan.

Kalau sudah begini, kesejahteraan menjadi sesuatu yang utopis. Selalu, selalu dan selalu rakyat yang jadi korban. Mufsidûn dan korupsinya ialah potret buram dari bahaya politik Otonomi Daerah!

* Pertama kali dimuat dalam editorial majalah mahasiswa HIMMAH (Universitas Islam Indonesia) Edisi No. 1/Thn. XLV/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun