Sepulang sekolah bersama keempat temanku aku putuskan cari jalan yang adem, karena jalan yang biasa kami lewati terasa terik, aspal separo sudah menyusahkan langkah, jika musim panas sebagian berubah debu dan jika musim hujan tiba berubah jadi kubangan kerbau, padahal desaku masih termasuk dalam Kota Madya Surabaya, desa pinggiran yang konon dulu adalah hamparan rawa mengering yang oleh pengembang di jadikan perumahan murah meriah merakyat bagi Pegawai Negeri Sipil seperti Bapakku. Air Desaku persis di gurun Afrika seperti yang di tayangkan di televisi kabel...padang rumput hijau jika musim semi datang. Dan jika musim kemarau datang mengering menguning, heeemm...namanya air itu jadi barang mahal, orang tuaku harus membeli air dalam jerigen kurang lebih isi per jerigen 5000lt, dengan harga seratus rupiah dibawa gerobak mas-mas yang dagang keliling, dalam satu gerobak berisi 6 jerigen, cukup buat mandi dua hari hehe...itu jika air PDAM tidak menyala atau tak segera mengirim tangki-tangkinya ke perumahan, kalau sudah kepepet nggak ada air kita menggunakan air sumur yang berwarna kuning dan asin rasanya, jika sedang hujan...cukup menadahkan drum besar di sudut rumah di bawah talang...biasanya pula di bawah talang aku mandi bramai-ramai dengan kedua saudara perempuanku, bercelana dalam dan berkaus singlet...hhiiiii..senangnya... Penduduk desa sekitar, diluar perumahan sudah bertahun-tahun menghadapi masalah ini...nunggu uluran tangan pemerintah melalui PDAM????, yahh..tapi programnya tidak menjangkau rakyat pinggir yang tidak bisa ngasih tips..makanya lebih diutamakan orang-orang perumahan...yang bisa ngasih tips.. Danau Makanya penduduk sekitar membuat danau-danau tadah air, tak heran jika ada puluhan jumlahnya danau tadah hujan di desa sekitar perumahanku... Jika panas terik menyengat oleh teman-teman sekolah dasarku diajaknya aku berenang ke danau, tapi karena aku phobia air setelah peristiwa terjugkirnya 'kepala di bawah kaki di atas' ban pelampungku, saat berenang di laut bersama bapak, jika melihat air kolam, laut atau danau dadaku tiba-tiba sesak. Maka aku memilih diam di pinggir danau sambil menunggui pakaian ganti teman-temanku..aku lebih menikmati dingin semilir angin di bawah pohon ketimbang ikutan nyebur atau sekedar main air di pinggir danau , karena aku juga takut mitos yang berkembang di desa tentang penunggu danau yang selalu minta korban anak setiap tahun, tak heran pula sering kejadian anak hilang di danau 'tenggelam'...selalu dengan versi sama kalau mayat anak-anak itu diangkat tubuh mereka terbelit gulma danau...rumput suluran danau..logikanya sih.. mereka cuma panik saja, kehabisan tenaga lalu tenggelam. Tapi menurut cerita penduduk penunggu danau mengirimkan tangan-tangan berupa rumput itu..hiii..jika sudah ditemukan mayat di danau, ibu selalu mewanti mengingatkan.."May jangan main ke danau ya"...tapi dasar akunya juga masih bocah ikut saja bersuka .. main kedanau. Mangga dimana-mana Pohon mangga ada dimana-mana, sudah menjadi pemandangan umum mendominasi tanaman petani dan tanaman yang paling cocok di tanam di tanah keras itu, macam dan bentuknya banyak. Senangnya jika musim mangga tiba, panen dimana-mana aku bisa ambil mangga yang sengaja tidak dipilih petani dibuang begitu saja, atau terjatuh dari bak truk...heemm lumayan, ada kepodang, manalagi, golek, arum manis...banyak deh..dari yang warnanya hijau, kuning, oranye, atau merah...wiiihhh.. Dan jalan aspal sempit yang sering aku lalui jika pergi sekolah berubah riuh hilir mudik mobil bak terbuka mengangkut hasil panenan memakan sebagian besar jalan yang aku lalui...aku dan teman-teman sudah kepinggir saja makin terpinggir, debu menimpa muka-mUka kami. makanya kami malas lewat jalan aspal siang itu, yang kebetulan musim panen tiba saat musim kemarau... "Eh ayo rek... liwat kebon ae yuk!!!" celetukku "Ayyyoookk"...sahut teman-temanku.. Menyusuri taman pemakaman, kami berpapasan dengan rombongan pengusung keranda yang akan memakamkan jenazah siang itu... Kalau aku ingat saat itu lucu sekali, kami berjalan setengah hati..berjalan bergidik, berpegangan erat satu sama lain, dan mencari-cari receh untuk di sebar di depan rombongan keranda, (yang konon katanya adalah syarat kelancaran perjalanan baik jenazahnya yang mau menuju ke alam baka, dan kami sekelompok kecil yang mau pulang dari sekolah menuju ke rumah) ...tapi tidak mengurungkan niat, mencari jalan tembus ke perumahan, keluar masuk kebon, keluar masuk rumah penduduk kampung. Tiba kami masuk perkebunan mangga, tinggi-tinggi pohonnya di atas menggelantung mangga golek, atau biasa kami sebut pelem golek, mangganya panjang-panjang, jika di biarkan sampai tua masak pohon harum baunya, ...mangga favorit jamanku dulu yang biasanya dijual mahal perkilonya di banding mangga-mangga lainnya...primadonanya mangga. "wah itu rek gede-gede"...kataku perjalanan kami terhenti, serentak kepala kami berlima mendongak ke atas... "Endi?...sebelah endi?"mana?..sebelah mana?...jawab temanku beramai-ramai. "yok opo iki carane?"... Tak berselang lama aku berinisiatif melepas sepatu, aku lempar jauh-jauh sambil setengah melompat..tentu saja sasarannya pelem golek yang menggoda. aaahhh...pelem golek tak bergeming, hanya bergoyang saja, tak jatuh mengikuti gravitasi bumi..lalu sepatu sebelahnya aku lempar juga. ..haaaiiiyyyaaahh!!!! teriakku, kali ini ...gedebug--gedebug!!!, pelem golek berguguran, tak cuma satu tapi dua, belum selesai aku punguti pelem golekku terdengar suara berteriak... "heh!!!hayooo lapo iku ??!!"he ngapain itu...??!!!terdengar suara berat setengah marah seorang bapak.. Kami berlima mengarahkan pandangan ke sumber suara, sambil bersiap-siap ambil ancang-ancang kabur, dan akhirnya kami benar-benar lari tunggang langgang, lintang pukang, menuju kedepan tak tentu arah, yang penting selamat. ...sedang satu sepatuku masih bergelantung menggantikan dua mangga golek yang sudah dalam dekapan rok merah seragam sekolahku. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H