Perdagangan internasional di dalam ranah hubungan internasional merupakan sebuah hal yang wajar terjadi, salah satunya adalah perdagangan yang terjadi antara Malaysia dan juga Uni Eropa. Malaysia merupakan sebuah negara yang merdeka pada tahun 1957 sementara Uni Eropa merupakan sebuah organisasi kawasan yang didirikan pada tahun 1993 dengan 27 negara yang terdaftar sebagai bagian dari Uni Eropa per tahun 2022 ini. Dilansir dari laman resmi Uni Eropa, Malaysia merupakan mitra penting bagi Uni Eropa.Â
Malaysia sendiri adalah mitra dagang terbesar kedua Uni Eropa di kawasan Asia Tenggara, sementara Uni Eropa merupakan mitra dagang terbesar ketiga Malaysia. Pada tahun 2020, Uni Eropa mengimpor 24,7 miliar (RM116 miliar) dari Malaysia dan mengekspor 10,5 miliar (RM49,35 miliar) ke Malaysia.Â
Hubungan UE-Malaysia melampaui perdagangan. UE mendukung berbagai proyek kerja sama yang menguntungkan Malaysia di bidang-bidang seperti pendidikan tinggi, hak asasi manusia, dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Otoritas Malaysia dan organisasi masyarakat sipil menerima dana kerja sama Uni Eropa di bawah program yang berbeda (EEAS, 2021).
Salah satu komoditas yang diperlukan oleh Uni Eropa adalah biodiesel, dan Uni Eropa memiliki tiga negara utama yang menjadi pengimpor biodiesel berbasis CPO, salah satunya adalah biodiesel yang berasal dari Malaysia dan dua negara lainnya adalah Indonesia dan Thailand. Dapat dikatakan bahwa Indonesia, Malaysia, dan Thailand merupakan sumber utama impor minyak sawit Uni Eropa, terhitung sebagai bagian gabungan dari 74 persen dari total impor produk minyak sawit Uni Eropa.Â
74% biodiesel yang di impor oleh Uni Eropa berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, yang kemudian membuat ketiga negara ini menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu pangsa pasar terbesar mereka di dalam memasarkan biodiesel berbasis CPO. Bagi Malaysia sendiri, Uni Eropa merupakan mitra yang sangat penting karena Uni Eropa merupakan pasar potensial untuk memasarkan CPO yang dihasilkan oleh Malaysia.
Jika membicarakan Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit, maka pembahasan yang harus diulas adalah bahwa Malaysia merupakan produsen CPO terbesar kedua setelah Indonesia. Malaysia merupakan produsen kelapa sawit yang menempati urutan kedua dimana jumlah produksi sebesar 19.2 juta ton atau 18.9 persen. Sektor pertanian di Malaysia terbukti mampu menyelamatkan perekonomian negara.Â
Malaysia adalah salah satu produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, menyumbang 11% dari produksi minyak & lemak dunia dan 27% dari perdagangan ekspor minyak & lemak (Copenhagen Economics, 2018).Â
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa Malaysia mengandalkan CPO sebagai komoditas utama di dalam membangun negaranya serta memandang Uni Eropa sebagai pasar potensial di dalam mengekspor produk CPOnya karena Uni Eropa merupakan salah satu konsumer terbesar CPO. Namun, Malaysia kemudian menghadapi sebuah kenyataan bahwa Malaysia kemungkinan akan mengalami penurunan permintaan CPO di pasar Eropa karena adanya arahan RED II yang dikeluarkan oleh Uni Eropa.
Tak bisa dipungkiri bahwa meningkatnya pemanasan global serta terbatasnya sumber daya tak terbaharukan membuat negara-negara di seluruh dunia berusaha untuk mencari alternatif lain untuk mengurangi emisi karbon sekaligus mencari sumber daya yang dapat menggantikan sumber daya tak terbaharukan ini, tak terkecuali dengan Uni Eropa.Â
Uni Eropa sendiri kemudian mencetuskan sebuah arahan yang dikenal sebagai Renewable Energy Directive, di mana ini merupakan sebuah arahan kebijakan terkait dengan pengurangan ketergantungan terhadap konsumsi dan impor terkait dengan fosil fuel dan di sisi lain juga memiliki tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan serta berpartisipasi di dalam pengurangan emisi global (The Oil Palm, n.d.).
Terkait dengan energi terbaharukan ini, bukan hanya persoalan penggunaan biodiesel atau biofuel sebagai bahan bakar pengganti guna mengurangi emisi karbon global, melainkan juga sebagai sebuah bentuk proteksi yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui arahan RED, sehingga banyak negara yang menganggap bahwa Uni Eropa telah menciptakan sebuah bentuk hambatan baru yaitu hambatan dagang non-tariff terkait dengan proteksi biofuel dari negara lain, karena Uni Eropa merupakan penghasil utama biodiesel. Salah satu negara yang kemudian mempersoalkan proteksi yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui arahan RED nya ini adalah Malaysia karena Malaysia dianggap belum memenuhi standarisasi lingkungan yang tertuang dalam REDÂ (Dewi, 2013).