Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 9

13 April 2022   18:44 Diperbarui: 13 April 2022   18:46 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman pertama naik pesawat terbang yang tak terlupakan. Ketiadaan penerbangan langsung ke Beijing dari Jakarta membuatku harus transit di Singapura untuk ganti pesawat. 

Aku terkagum-kagum melihat kemewahan, kerapian, kebersihan dan modernitas bandara Changi yang besar. Sungguh beda dengan Soekarno Hatta yang sangat tradisional. 

Meski ada waktu luang 4 jam menunggu untuk ganti pesawat, tapi aku tak diperbolehkan pergi keluar bandara. Seandainya bisa keluar, ingin sekali aku menemui bude Wulan dan Wibawa yang sudah 10 tahun lebih merantau di sini. 

Setelah menghabiskan 13 jam perjalanan, akhirnya aku sampai di bandara Beijing. Bandara tersibuk nomor 2 di dunia. Untuk menemukan pintu keluar imigrasi cukup merepotkan karena banyaknya lautan manusia yang hilir mudik tak beraturan.

Beijing terkenal dengan istilah Beijing Spring, yaitu musim semi Beijing. Istilah itu tidak ada kaitan sama sekali dengan bunga maupun daya pikat pariwisata Beijing di saat musim semi tiba.

Beijing Spring adalah istilah yang berkaitan dengan masalah politik dan ekonomi di Tiongkok. Beijing sebagai ibu kota negara mengalami berbagai pergolakan ekonomi dan politik.

Tahun 1978 dan 1979, terjadi reformasi ekonomi yaitu kebijakan pintu terbuka di Tiongkok. Tiongkok membuka diri untuk berdagang dengan dunia internasional. Lalu, 30 Juni 1997 tengah malam, Inggris mengembalikan Hongkong ke China. 

Begitu urusan imigrasi dan bea cukai selesai, aku kebingungan mencari Xu Shiyou, petugas dari pihak kampus yang diutus menjemput aku. Untuk mencari orang yang memegang papan berisi namaku, harus terdorong dan mendorong bahkan menyikut manusia yang berjalan tergesa-gesa. 

"Xu Shiyou?" tanyaku ketika menemukan papan bertuliskan namaku. "Bintang dari Indonesia?" balasnya. Aku mengangguk dan menjawab "iya".

Kami saling bersalaman. Xu adalah seorang pria kurus dengan tinggi badan 1,53 meter dan berusia sekitar 25. Kacamata bingkai bulat dengan lensa tebal menghiasi wajahnya. Tubuh dia tenggelam di antara penjemput lain yang rata-rata gemuk dan tinggi.

Menurut Xu, masih ada satu anak dari Bangladesh yang juga sampai hari ini. Aku diminta menunggu sebentar di sekitar taman yang ada kursi. 

Sekitar 1 jam menunggu muncul Shid, pria Bangladesh seusiaku berwajah bulat dengan tinggi sekitar 1,70 meter dan bertubuh sedang.

Kami bertiga berjalan menuju parkiran mobil. Xu dan Shid duduk di depan. Aku sendirian di belakang. Rasa letih dan lapar membuatku tertidur setelah mobil berjalan sekitar 10 menit. Aku akan berada setahun di kota ini sehingga tidak tertarik untuk segera menikmati pemandangan kota.

Saat tertidur lelap, terdengar suara Shid memanggil namaku. "Bintang! Bangun! Kita sudah sampai asrama." Aku segera bangun dan turun.

Di depanku berdiri gedung warna putih 3 lantai. Asrama universitas Peking. Menurut kabar yang kuterima, tiap kamar dihuni 2 orang. Aku penasaran dengan orang seperti apa aku akan tinggal.

Kang Xi Ka, seorang gadis imut periang berkaca mata dengan rambut kempang dua asal Shanghai menjadi teman sekamarku. Matanya bulat tidak kecil seperti kebanyakan penduduk asli. Sifat kami yang sama-sama periang dalam sekejap membuat kami akrab. 

Setelah kenalan dengan sebagian penghuni asrama dan melihat fasilitas, aku ke kamar untuk mandi dan istirahat. Jam di dinding menunjukkan waktu 16:15. Jam 18:00-19:30 di ruang makan tersedia makan malam. Kami bebas pilih waktu untuk makan di antara jam itu. "Kamu pasti lapar. Nanti jam 18:00, kita makan bareng," ajak Kang Xi Ka. 

Saat jam makan malam tiba, aku kagum melihat tumpukan sayur, daging, nasi serta buah. Kami bebas mengambil sesuka dan sekenyang kami. Buah dan sayur aku ambil terlebih dahulu.

"Bintang, diet?" tanya Kang Xi Ka bingung. "Tidak. Aku ini lebih suka sayur daripada daging.  Makanan pesawat sangat sedikit dan tidak enak. Selain itu hampir 16 jam waktuku habis untuk duduk. Makanya aku ingin makan sayur dan buah terlebih dahulu untuk memulihkan tenaga," jawabku.

Seminggu di Beijing ada hal yang membuatku terkejut luar biasa. Teman asrama dan kuliah asli Tiongkok semua anak tunggal tidak ada saudara. Aku tahu Tiongkok ada kebijakan 1 anak tapi, saat bertemu dan mendengar langsung bahwa temanku tidak punya saudara, entah kenapa hatiku terasa hampa dan sedih.

Indonesia lebih beruntung ada program keluarga berencana dengan slogan 2 anak cukup, tapi kenyataan banyak yang punya lebih dari 2 anak. Entah kenapa mendadak aku mengkhawatirkan kondisi menjadi tua di Tiongkok dengan 1 anak karena terpikir betapa berat beban yang harus ditanggung sendiri oleh 1 anak.

Setelah seminggu, aku berhenti bertanya jumlah saudara ke kenalan baru asli Tiongkok. Hingga 6 bulan kemudian saat sedang menikmati liburan musim dingin aku pergi ke Shanghai bersama Kang Xi Ka dan menginap di rumah orang tuanya. Kang Xi Ka mengajakku bermain ke rumah teman sekolah dia bernama Mao Hui seorang pria kulit kuning langsat bertubuh tinggi atletis.

Aku kaget melihat ada banyak anak kecil di rumah Mao Hui. Tak kusangka Mao Hui memiliki saudara kandung 4 orang. "Aku ini orang Uighur pemeluk islam. Ajaran agama mewajibkan kami memiliki banyak anak. Memang pemerintah keras menjalankan kebijaksanaan itu tapi kenyataan karena masalah kepercayaan, kami tetap diperbolehkan," jelasnya saat kutanya kenapa ada banyak anak kecil.

Aku teringat cerita ibu tentang laksamana Cheng Ho. Pelaut dan seorang diplomat hebat dari Tiongkok yang datang ke Nusantara abad 14 masehi. Laksamana Cheng Ho juga penganut agama islam. Kedatangan beliau ke Nusantara selain untuk masalah diplomasi juga menyebar luas ajaran agama islam. Anak buah beliau ada yang menetap di Nusantara dan terus mengajarkan agama islam hingga turun menurun. Wali Songo pun dipercayai ada yang merupakan keturunan itu. 

Tak berasa waktu berlalu. Tiba-tiba di pertengahan bulan Mei 1998, mendadak staf kedutaan RI di Beijing mencariku ke kampus. Hari itu tanggal 15 Mei 1998. Hari ulang tahun Kang Xi Ka.

Aku jarang nonton televisi saat di asrama sehingga tidak tahu persoalan dunia terutama, Indonesia. 

Pak Heri, staf kedutaan datang mencariku ke kampus untuk minta tolong menjembatani dan membantu masalah komunikasi korban kerusuhan Mei 1998. Di hari ketiga setelah kerusuhan itu aku baru tahu ada kerusuhan berbau etnis di Indonesia.

Pihak kampus memperbolehkan aku memakai telepon kampus untuk telepon orang tua. Ibu di telepon menangis. "Toko sudah 3 hari tutup. Kami satu desa ketakutan didatangi perusuh. Kondisi Solo luar biasa mengerikan. Ayah dan pria desa bergantian jaga 24 jam supaya desa kita tak seperti Solo," cerita ibu. 

Mendengar itu tubuh terkulai lemas. Mei adalah bulan musim semi di negara 4 musim. Bunga beraneka ragam satu persatu muncul bermekaran dengan indah, maka dari itu ada istilah Beijing Spring untuk masalah politik dan ekonomi. Ada perubahan dari musim dingin yang dingin beku menjadi cerah berwarna dan hangat.

Tetapi, Mei di Indonesia bagiku bagaikan musim dingin yang beku dan suram. Negeri yang terkenal ramah berubah berang dan beringas dengan satu tiupan tajam hawa dingin. 

Tiongkok tidak punya sejarah menjajah Indonesia, tetapi hak keturunan orang Tiongkok untuk hidup di Indonesia sungguh dipinggirkan. Sangat beda dengan keturunan Belanda, Inggris, Perancis, dan bahkan Jepang yang jelas tercatat di buku sejarah telah menjajah, mencuri hasil bumi, dan bertindak sangat kejam semena-mena terhadap manusia yang lahir,hidup dan besar di Indonesia.

Pertama kali dalam hidup aku mendengar istilah pribumi dan non pribumi. Aku pun menyesali kedatangan laksamana Cheng Ho ke Nusantara. Ajaran beliau tentang islam menyebar hingga menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi keturunannya tidak dianggap manusia yang bermartabat. 

Aku menutup gagang telepon dengan tangan gemetar. Air mata mengalir deras. Para dosen yang melihatku menangis membiarkan aku puas menangis hingga berhenti sendiri. 

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun